Tuesday, 04 July 2017 14:37

“Saat suami saya nyapu, dikomentarin tetangga, ‘Wah, kok, rajin bener.’ Terus suami saya jawab, ‘Lha wong laki-laki peduli, kok.’ Saya senang sekali dengar jawaban itu.” Kegembiraan bu Winarni tersebut disampaikan pada FGD evaluasi kelas ibu Kulon Progo, 12 Desember 2015. Selama ini, bu Wiwin, demikian dia akrab disapa, menganggap pekerjaan rumah tangga adalah tugas istri. Rutinitasnya mengerjakan tugas-tugas domestik ia lakukan tanpa bantuan suami. Pekerjaan yang ia rasa cukup berat itu masih ditambah mengurus dua anak laki-laki yang masih kecil.

Kesibukan suami mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga membuat bu Wiwin tidak berani meminta bantuannya dalam mengurus rumah tangga. Pikirnya, bukankah sudah demikian tugas istri dan suami dalam keluarga? Kebiasaan masyarakat dan tafsir Al-Quran yang ia pahami juga menyatakan bahwa tugas istri adalah mengurus rumah tangga, sedangkan tugas suami mencari nafkah. Tidak berbeda dengan Wiwin, Abdillah, sang suami, juga berpendapat demikian. Menurutnya, sebagai pemimpin rumah tangga, dia hanya bertugas mencari nafkah agar kebutuhan keluarga tercukupi.

Pandangan bu Wiwin dan pak Abdi adalah pandangan yang lazim berkembang di masyarakat dan itu diyakini sebagai kodrat Tuhan sehingga tidak bisa diganggu gugat. Lewat obrolan dan diskusi, kami mulai membahas apakah ini kodrat Tuhan atau bukan. Sebagai community organizer (CO) atau pendamping masyarakat dan fasilitator diskusi, saya mengajak para peserta membedakan mana yang kodrat, mana yang bukan. Mulai dari sana, peserta memahami bahwa kodrat adalah suatu hal yang diberikan Tuhan dan tidak bisa diubah, sifatnya universal, tak terbatas ruang dan waktu, misalnya laki-laki memiliki penis dan perempuan memiliki vagina. Selain kodrat, ada juga yang disebut gender, yaitu pandangan atau konstruksi masyarakat yang menempatkan laki-laki dan perempuan pada posisi tertentu, misalnya laki-laki pemimpin, sedangkan perempuan orang yang dipimpin. Perempuan lemah dan laki-laki kuat. Padahal, kondisi tersebut belum tentu benar. Pola pengasuhan, kebiasaan, atau wilayah geografis bisa membuat posisi laki-laki dan perempuan berubah. Tidak selamanya laki-laki memimpin atau kuat, demikian juga tidak selamanya perempuan lemah dan tidak bisa memimpin.

Kami berdiskusi sebulan sekali. Biasanya diadakan di balai desa. Malam hari untuk kelas ayah, menyesuaikan dengan jadwal mereka yang mayoritas bekerja pada siang hari. Kelas ibu biasanya dilakukan pada siang hari ketika para ibu sudah lebih selo[1] dalam menjalankan aktivitas mereka.

Pada setiap diskusi, pak Abdi terlihat menyimak dengan tekun. Beliau selalu mencatat dan mengerjakan pekerjaan rumah (PR) yang diberikan pada akhir sesi. PR yang diberikan, misalnya, mempraktikkan hal-hal yang belum pernah dilakukan sebelumnya terkait dengan materi yang dibahas. Banyak pengalaman menarik yang didapat oleh peserta saat mengerjakan PR, termasuk pak Abdi. Pada sesi Manajemen Marah, beliau menceritakan kesulitannya mengendalikan kemarahan, terutama kepada anak. “Biasanya saya marah jika anak tidak mau mandi dan mengaji. Saya memang tidak memukul tapi suara saya selalu tinggi kalau nyuruh anak sehingga anak-anak takut pada saya. Setelah tahu materi ini, saya mencoba mendekati anak. Saya ajak mereka mandi tetapi mereka tidak mau. Bahkan ketika saya berusaha membujuk, mereka langsung lari ke umi-nya. Begitu juga kalau belajar.” Ini juga berkaitan dengan materi pengasuhan, banyak keluarga yang membebankan soal pengasuhan hanya kepada ibu, sehingga tidak ada kedekatan antara ayah dan anak. Padahal di lain sisi, ibu sangat menginginkan anak-anak dekat dengan ayahnya sehingga mereka bisa berbagi peran.

Materi lain yang sangat menarik bagi bu Wiwin dan pak Abdi adalah komunikasi. “Suami saya itu dulunya pendiam. Sekarang, kalau ada sesuatu, dia mulai berkomunikasi, banyak ngobrol,” ungkap bu Wiwin.

           “Dulu, kalau pergi, saya nggak pernah bilang. Ketika ditanya istri, nggak bisa jawab. Dulu, saya berpikir pergi untuk berbuat baik, jadi nggak perlu pamit dan itu nggak disukai oleh istri. Sekarang saya usahakan pamit kalau ke mana-mana,” curhat pak Abdi.

Peserta-peserta lain juga mengatakan bahwa komunikasi yang mereka lakukan selama ini adalah bicara seperlunya. Komunikasi tidak dimaknai sebagai sebuah hal yang penting dalam membangun keluarga. Yang penting sudah bicara. Kalau marah atau jika tidak suka dengan sesuatu, diekspresikan dengan nada tinggi atau kata-kata kasar, atau kadang hanya diam. Masing-masing beranggapan, dengan demikian pasangan sudah tahu apa yang dimaksud. Saya jelaskan, ada beberapa macam komunikasi: komunikasi pasif, ketika kita lebih banyak diam dalam merespons sesuatu; komunikasi agresif, sikap ataupun ucapan yang bisa memunculkan kekerasan; terakhir, komunikasi yang paling disarankan, yaitu komunikasi asertif, komunikasi dua arah sehingga kedua belah pihak bisa mengutarakan dan memahami pesan dan perasaan satu sama lain.

Pak Abdi dan bu Wiwin mempraktikkan komunikasi asertif. Bu Wiwin mencoba menyampaikan perasaan dan keinginannya. Misal, ketika pak Abdi mengajak berhubungan seksual. “Ketika dia pegang kaki saya panas, saya bilang, ‘Saya capek, Bi, kalau pekerjaan rumah tangga mbok bantu, mungkin jadi nggak akan terlalu capek.’ Saya mengungkapkan sejujurnya. Dan, dia tidak tersinggung.”

“Suami mulai mendekati anak, anak dipangku saat diajari membaca. Ketika sudah mulai dekat dengan sang abi, anak juga mulai bisa mengungkapkan keinginannya, ‘Mbok Abi belajar bikin susu yang enak.’ Setelah belajar membuat susu yang enak dan rasanya sama dengan buatan saya, anak jadi suka. Setelah itu, saya merasa pekerjaan saya lebih ringan,” ungkap bu Wiwin.

Dengan metode reflektif, peserta merefleksikan apa yang terjadi dalam kehidupan mereka. Pola pengasuhan yang mereka terapkan dalam keluarga tidak terlepas dari pola pengasuhan yang mereka dapatkan dari orang tua. Cara lama mendidik anak seperti memukul dan memarahi, membuat anak jauh dari ayah mereka. Sosok ayah hanya menjadi “monster” bagi anak. Tidak hanya itu, dalam hal pekerjaan domestik, mereka juga mencontoh dari para pendahulu. Jika ada pekerjaan domestik yang dianggap sebagai pekerjaan istri, kemudian dilakukan oleh suami, sang suami dinilai layak mendapat celaan atau hinaan.

Sebagai keluarga dengan latar belakang agama yang sangat kuat dan pemahaman yang kaku, perubahan yang terjadi menjadi tidak mudah karena masih adanya nilai-nilai lama yang masih tetap diyakini. Belum lagi kondisi masyarakat yang belum memiliki pemahaman yang sama sehingga tekanan sosialnya tinggi. Laki-laki yang melakukan pekerjaan rumah tangga akan dianggap suami takut istri atau bahkan bukan laki-laki.

Di lain pihak, banyak istri yang ingin melakukan pekerjaan rumah tangga bersama-sama. Pekerjaan rumah tangga memang tidak menghasilkan uang seperti bekerja di pabrik atau kantor. Akan tetapi, jika dihitung jumlah jam dan jenis pekerjaannya, penghasilan istri akan jauh lebih banyak dibandingkan dengan hasil pekerjaan suami. Hal ini diamini oleh semua peserta diskusi. Pada diskusi dengan materi Gender, mereka diminta menghitung jumlah pekerjaan yang dilakukan suami dan istri dalam sehari. Sebelum matahari terbit, istri sudah bangun dan mulai menyiapkan segala kebutuhan anak dan suami. Setelah anak berangkat sekolah dan suami pergi bekerja, istri lanjut mencuci piring dan pakaian, menyapu, kemudian belanja. Setelah itu memasak, menjemput anak sekolah, menemani bermain dan belajar sampai malam. Hampir seluruh waktunya dihabiskan untuk mengurusi rumah sehingga ia tidak memiliki kesempatan untuk merawat atau mengembangkan diri, berbeda dengan para suami yang sedari bangun tidur segala kebutuhannya sudah disiapkan oleh sang istri. Ketika bekerja, mereka masih punya kesempatan untuk mencari hiburan, bahkan mengembangkan diri. Saat pulang ke rumah, mereka masih punya kesempatan untuk bersosialisasi atau melakukan aktivitas lainnya.

Menyadari banyaknya beban istri, pak Abdi mulai melakukan pekerjaan rumah tangga. Beliau membantu memasakkan air untuk mandi anak-anak, menemani mereka belajar, juga menyapu halaman.

Sesuk nek kalian nduwe anak, aku arep ndelok piye carane mendidik anak.”[2] Candaan itu disampaikan para peserta di akhir sebuah diskusi. Sebagai pendamping masyarakat, saya dinilai sudah “selesai” dengan semua persoalan yang menjadi topik dalam diskusi sehingga mereka ingin melihat contoh langsung bagaimana menerapkannya dalam rumah tangga. Saya dan suami selalu berbagi tugas pekerjaan rumah tangga. Mencuci piring, menyapu, dan menjemur pakaian itu tugas suami saya. Saya lebih sering memasak dan mencuci pakaian. Karena belum memiliki anak, kami belum memiliki pengalaman dalam mendidik anak.

“Nah, itu yang susah, Mbak. Niatnya nggak marah atau pukul anak tapi pas anak rewel, kita dalam posisi capek, ada masalah, kadang-kadang nggak sadar membentak. Setelah itu menyesal.” Saya selalu memposisikan diri sejajar dengan peserta. Ketika mereka diminta merefleksikan kehidupan mereka, saya pun melakukannya sehingga tidak ada jarak antara kami. Karena itu pula peserta lebih terbuka dan mempercayakan hal-hal yang dianggap rahasia dalam kehidupan mereka untuk diceritakan dalam forum. Kepercayaan tersebut disepakati sejak awal pertemuan, ada aturan di mana semua peserta bisa menceritakan semua pengalamannya dan pembahasannya cukup dalam forum diskusi saja sehingga tidak menjadi gosip di luar forum.

Latar belakang peserta diskusi sangat beragam, baik dari sisi pendidikan, ekonomi, ataupun pengasuhan. Semua itu memperkaya dinamika forum. Tidak semua peserta bisa menceritakan pengalamannya secara mendalam, tetapi pak Abdi dan bu Wiwin selalu antusias menceritakan pengalaman dan perubahan yang mereka alami pada setiap sesi. Ini di luar dugaan saya. Awal bertemu dengan pasangan ini saya mengira mereka akan sulit menerima materi-materi yang akan dibahas di kelas diskusi. Kenyataannya, mereka cukup aktif dan mau mencoba melakukan hal-hal yang ditawarkan.

           Diskusi dua jam di komunitas hanyalah salah satu cara untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa membangun keluarga tanpa kekerasan bisa diciptakan. Lewat tema-tema diskusi, masyarakat diajak untuk mengubah cara pandang dan menciptakan nilai baru. Pembagian kerja dan komunikasi yang baik dalam keluarga akan meminimalisasi terjadinya kekerasan. Setidaknya itu yang dirasakan oleh pak Abdi dan bu Wiwin. Kini mereka bisa membahas banyak hal terkait perasaan sampai perencanaan keluarga. Anak-anak juga memiliki kedekatan emosional, tidak hanya pada umi tetapi juga pada abi. Mungkin masih terlalu dini untuk mengatakan bahwa pasangan ini telah sukses membangun keluarga tanpa kekerasan, tapi setidaknya mereka mau mengupayakan agar situasi seperti ini bisa terus terjaga selamanya.


[1] longgar waktunya

[2]Besok jika kalian punya anak, saya mau lihat caranya mendidik.”

Friday, 09 June 2017 12:39

Pagi itu, Minggu, 27 Februari 2016, saya menuju Desa Ngalang, salah satu desa yang tiga tahun ini menjadi tempat saya belajar tentang keluarga dan masyarakat, desa di mana kebersamaan di komunitas masih sangat lekat dengan nilai-nilai sosial dan kebudayaan. Tradisi gotong royong dan tradisi rasulan[1] berjalan setiap tahun. Tidak hanya itu, masyarakat yang terbuka mempermudah saya berkenalan dan masuk dalam kelompok-kelompok sosial, baik kelompok ibu maupun ayah. Dari sinilah saya kenal warga-warga yang ada di desa ini, salah satunya ibu Tukinah.

Ibu Tukinah adalah perempuan yang saya kenal pada tahun kedua tinggal di Ngalang. Ia memiliki dua anak yang duduk di bangku TK dan SMP. Dua anak bersekolah membuat dia memutuskan untuk bekerja di salah satu perusahaan wig yang ada di Piyungan, Bantul. Ia bekerja mulai pukul 05.30 WIB hingga pukul 18.30 WIB. Situasi ini membuat ia tidak punya banyak waktu untuk keluarga. “Saya melakukan itu demi anak-anak dan untuk ekonomi keluarga,” ungkapnya. Hal ini pun tak menyulutkan ibu Tukinah untuk selalu datang pada pertemuan kelompok ibu-ibu. Ia juga mengusulkan kepada fasilitator agar diskusi dilakukan pada hari Minggu agar dia bisa sharing dan bertemu dengan kawan-kawan yang berasal dari desa yang sama. Motivasi ini berangkat dari situasi keluarga yang, menurutnya, sering cekcok.

Ibu Tukinah lahir di Jambi, Sumatra. Pernikahannya dengan Maryanto membuat ia tak lagi tinggal bersama kakak-kakaknya di sana. Sebagai anak terakhir dari 10 bersaudara, ia lebih banyak bersama kakak-kakanya. Menurut cerita yang didapat Tukinah dari kakak-kakaknya, bapak mereka berprinsip, “Apa yang dikasihkan Tuhan dan dititipkan di perut keluarkan saja semua.” Ibu mereka meninggal pada usia 50 tahun saat melahirkan anak ke-11. Kondisi ini yang membuat ibu Tukinah juga tak ingin punya banyak anak sehingga dia ikut program keluarga berencana.

Selama di Jambi, ia diasuh kakak-kakaknya. Ayahnya menikah lagi dan memutuskan untuk tinggal bersama istri barunya. Tukinah kecil tidak lama tinggal bersama ayahnya. Karena itu pula ia tak mendapatkan kasih sayang dari ayahnya. Bekal perkebunan sawit dari sang ayah membuat hidup mereka tidak begitu mudah dijalani. Mereka makan dan sekolah dari hasil kebun. Mereka hanya mengandalkan sawit untuk hidup. “Berat, Mbak, saat itu saya masih kecil dan tidak ada yang ngajari kita. Jadi, kita mau makan dan sekolah, ya, harus jual kelapa dulu agar bisa jadi duit,” tegasnya. Tak ada yang mendampingi mereka dan memberi kasih sayang. Ibu Tukinah merasa bapaknya tak hadir langsung dalam pengasuhannya.

Saat dewasa, ibu Tukinah bekerja di sebuah pabrik di Jambi. Di sinilah ia mengenal Maryanto dan memutuskan untuk menikah dengannya. Pernikahannya dengan Maryanto membuat ia meninggalkan kota kelahirannya. Hal ini bukan hal yang mudah baginya. Karena tak ingin jauh dari Tukinah, bapaknya sempat tidak setuju. Dibandingkan dengan saudara-saudaranya yang lain, ibu Tukinah memang cukup dekat dengan bapaknya.

Ibu Tukinah memilih untuk hidup bersama keluarga barunya, yakni pasangan yang ia nikahi di Jambi, 15 tahun yang lalu. Empat bulan setelah menikah, ibu Tukinah diboyong suaminya ke Jawa, tepatnya di Dusun Manggung, Ngalang, Gedangsari. Tak mudah baginya untuk beradaptasi di Jawa. Lama hidup di Sumatra membuatnya lebih banyak memegang budaya di sana. Keputusannya menikah dengan Maryanto membuatnya perlu belajar banyak tentang budaya Jawa. Tukinah lebih mudah beradaptasi dengan budayanya dibandingkan dengan bahasanya. “Saya tak bisa bahasa Jawa tapi mengerti jika orang ngomong (bahasa) Jawa,” jelas Tukinah.

Nilai-nilai Jawa tidak jauh berbeda dengan nilai yang dipegang masyarakat Jambi. “Perempuan, ya, di dapur, Mbak, pokoknya yang di belakang, neng mburi. Urusan macak, masak, manak[2]. Itu yang orang-orang bilang. Saya melihat masyarakat sini tak jauh beda dengan (masyarakat) Sumatra.” Pandangan ini membuat Tukinah menurut pada kata bapak, juga suaminya.

Sebagai seorang perempuan yang memutuskan untuk menikah, ia mempunyai harapan yang tinggi terhadap pernikahan itu, yakni hidup bahagia bersama pasangan yang telah dipilihnya. Ia membayangkan keluarga yang indah dan hidup bersama anak-anak yang didambakan, menjadi keluarga sakinah mawaddah wa rahmah seperti janji yang mereka ucapkan di pelaminan kala itu. Namun, kenyataan tak selalu seindah mimpinya. Dalam membangun bahtera keluarga, perjalanan ibu Tukinah penuh liku dan tantangan. Akhirnya, bagi ibu Tukinah, pernikahan adalah belajar tentang kehidupan.

“Plak! Plak! Tangan itu tiba-tiba terhempas di hadapanku. Itu yang pernah terjadi saat kami sedang cekcok, Mbak,” kata ibu Tukinah. Tamparan ini adalah salah satu kekerasan yang didapat Tukinah dari pasangannya. Menurutnya, sang suami berwatak keras, temperamental, dan mudah marah. “Nek marahan kita adu cangkem[3], habis itu barang-barang dibantingi bojoku,” tegasnya. Hal ini juga diungkapkan bapak Maryanto, “Saya orangnya egois, Mbak, temperamental. Nek pas lagi ngamuk, ya, apa yang ada di sekelilingku habis.” Sifatnya yang egois dan mudah marah terhadap masalah tertentu membuat dia biasa melakukan kekerasan terhadap istri. “Tujuh HP habis di tangan pas kalau bertengkar dengan istri,” jelas Maryanto. Ketika anak rewel, ia marah-marah. Sifat itu membuat anak pertamanya tidak begitu dekat dengannya.

Kondisi ini semakin rumit saat Maryanto mempunyai selingkuhan. “Ya, saya marah, Mbak. Perempuan mana yang mau digitukan?” ungkap ibu Tukinah saat kami bertemu di rumahnya, “Sejak saat itu saya tidak pernah mau diajak ngobrol, perilaku suami yang keras dan sering bentak-bentak membuat saya semakin menderita sebagai perempuan. Sekarang, kalau dia marah, ya, saya ikut marah. Kalau dia mukul, ya, saya ikut mukul. Saya tak mau direndahkan. 12 tahun saya menurut dan patuh padanya, tapi apa yang saya dapat? Saya kecewa dan belum bisa memaafkan, Mbak,” cerita Tukinah. Hal ini yang membuat ibu Tukinah ingin memperbaiki keluarga, demi anak-anaknya, “Sebagai bapak dari anak-anakku, saya ingin suami saya berubah.” Makanya ia senang bisa sharing dan terlibat dalam pertemuan ibu-ibu. Ia bisa cerita dan berbagi pengalaman, sekaligus mendapatkan solusi tentang persoalan keluarganya.

Bagi saya, harapan ibu Tukinah adalah harapan seorang perempuan, istri, sekaligus ibu yang menginginkan pasangannya menjadi orang yang lebih baik. Pikirku, “berat mungkin, program yang berjalan kurang lebih setahun bisa mengubah perilaku kekerasan.” Obrolan-obrolan ini menjadi beban sekaligus tantangan bagiku. Saya pun teringat ibu saya yang juga mengalami kekerasan dari bapak. Hal ini yang membuat saya terpanggil menolong perempuan-perempuan yang pernah mengalami kekerasan.

Keinginan ini mungkin bukan hanya keinginan Tukinah tapi juga keinginan banyak perempuan lain yang mengalami hal yang sama. Banyak perempuan yang tidak bisa bercerita, bahkan tidak tahu, bahwa dirinya sedang mengalami kekerasan. Banyak perempuan yang belajar tentang tafsir agama—bahwa laki-laki harus dipatuhi, laki-laki adalah pemimpin utama—sehingga mempengaruhi relasi dengan pasangannya. Hanya sedikit perempuan yang melaporkan kekerasan yang ia alami karena tidak tahu melapor ke mana atau bercerita kepada siapa. Juga anggapan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah urusan ruang privat yang tak patut melibatkan orang lain. Banyak perempuan yang tidak berdaya dan hanya bisa menggantungkan harapan bahwa suatu saat suaminya akan berubah.

Data Rifka Annisa membuktikannya, 90 persen perempuan yang mengalami KDRT kembali kepada pasangannya dengan harapan pasangannya berubah. Kenapa ini bisa terjadi? Karena banyak perempuan yang bergantung secara emosional pada pasangannya. Anggapan bahwa laki-laki adalah pencari nafkah utama, juga mempengaruhi situasi ini. Karena perempuan tidak bekerja, ia tidak bisa hidup tanpa suaminya. Alasan lainnya adalah anak-anak. Ia tak rela anaknya diejek dan ditanya teman-temannya, “Bapakmu mana?” Selain itu, ia tak mau menjadi janda karena stigma negatif terhadap janda. Janda sering dianggap sebagai perempuan penggoda, perempuan yang gagal rumah tangganya. Ia memilih bersama pasangannya meskipun hidup dalam hubungan yang penuh kekerasan.

Berbeda dengan ibu Tukinah, ia mempunyai kesempatan untuk bekerja dan memperkuat ekonomi keluarga. Setelah beberapa kali terlibat dalam kegiatan Rifka Annisa, pandangannya tentang perempuan berubah. Saat ini ia menyadari bahwa perempuan tidak hanya mengurus pekerjaan rumah, ia juga bisa bekerja dan mencari uang untuk meningkatkan ekonomi keluarga. Perempuan sama-sama punya kesempatan untuk mengembangkan diri. “Sebagai perempuan, saya tak mau direndahkan lagi,” tegasnya.

Seperti halnya ibu Tukinah, pak Maryanto juga selalu mengikuti diskusi, bahkan ia datang paling awal. Ia menyadari bahwa ia adalah pelaku kekerasan. Ia ingin mengubah perilaku tersebut sedikit demi sedikit. Kesadaran ini yang menyulut semangatnya untuk belajar dan tak pernah absen mengikuti kegiatan Rifka Annisa.

Awalnya, sebelum mengikuti diskusi, ia merasa tidak ada masalah dengan kekerasan yang ia lakukan. Hal itu wajar ketika terjadi konflik keluarga. Ia pun mempunyai pandangan bahwa sudah menjadi tugas istri untuk melakukan pekerjaan rumah tangga seperti memasak, menyapu, dan mengasuh anak. “Saya tidak pernah membantu istri di dapur,” paparnya, “Ketika istri berangkat bekerja atau sibuk dengan aktivitas di dapur, saya masih di tempat tidur.” Ia beranggapan tugas laki-laki hanya mencari uang.

Kini, ia mulai menyadari bahwa pekerjaan domestik tidak semata-mata tugas istri. “Itu merupakan pekerjaan bersama,” jelas pak Maryanto saat diskusi. Ia sekarang juga lebih dekat dengan anaknya. Kalau dulu ia lebih banyak menolak ketika istri memintanya untuk menjaga anak-anak, sekarang ia sering mengajak mereka bermain dan jalan-jalan. Ibu Tukinah mempertegas hal itu. “Bapaknya sekarang lebih dekat dengan anak-anak,” tegasnya.

Bagi Maryanto, kesadaran ini tidak datang dengan sendirinya. Banyak faktor yang membuat ia berubah, antara lain pasangan yang mau terbuka dan komunikasi yang lebih efektif. Sekarang mereka lebih sering mengkomunikasikan apa pun yang mereka rasakan, baik hal-hal yang disukai maupun tidak disukai pasangan. Ia merasa bahwa hubungan dengan pasangannya kini lebih dekat dan tumbuh rasa saling menghargai untuk membangun relasi yang sehat. Selain oleh pasangannya, Maryanto merasa bahwa perubahan ini juga didorong teman-teman Rifka Annisa, salah satunya Thonthowi selaku fasilitator diskusi kelas ayah di Desa Ngalang. Baginya, proses menyadari perilaku kekerasan berangkat dari proses refleksi yang dilakukan terus-menerus saat diskusi. Menurutnya, Thonthowi sangat berperan dalam proses perubahannya. Untuk mewujudkan itu mereka sama-sama membangun kepercayaan lagi. Meski agak berat bagi ibu Tukinah, ia melakukan ini demi anak-anaknya. Kisah keluarga ini menjadi pembelajaran bagi saya, bahwa seseorang belajar dari orang terdekatnya, belajar menjadi laki-laki dan perempuan dari keluarga, ayah-ibu, tetangga, dan masyarakat di sekitarnya. Akhirnya saya memahami, seseorang bisa menjadi korban sekaligus pelaku kekerasan. Proses ini tidak berdiri sendiri. Demikian yang terjadi pada pasangan Tukinah dan Maryanto, mereka memulai perubahan ini bersama, juga dengan teman, keluarga, dan lingkungan sekitar.


[1] Tradisi perayaan gugur gunung yang dilakukan setiap tahun.

[2] berdandan, memasak, beranak

[3] Kalau lagi marahan, kita beradu mulut

Wednesday, 08 March 2017 13:43

Tiada henti, badai derita menimpa rumah tanggaku hingga aku jungkir balik menyelesaikannya. Aku menikah dengannya pada tahun 2001. Sejak awal menikah, suamiku adalah seorang pecandu narkoba. Namun aku tetap mencintainya walau ia sempat masuk jeruji besi.

Selepas ia keluar dari penjara, ia sudah tidak menafkahiku dan anak-anaknya secara layak sehingga aku nekad berdagang. Bahkan ia membatasiku dalam bergaul terutama setelah aku mempunyai handphone Android. Ia selalu cemburu padaku karena aku telah memiliki akun facebook dan aku suka aktif like-comment status fb teman-temanku. Dan suamiku menuduhku berselingkuh dengan teman-teman lamaku.

Aku selalu berusaha coba jelaskan fakta sesungguhnya pada suami. Tapi ia tetap tidak percaya. Tiba-tiba, ia mau memaafkanku asal aku mau tidur bersamanya. Memang sudah kewajibanku untuk melayani suami dalam segala hal sepanjang itu adalah baik. Namun, dua hari setelah aku tidur bersamanya tiba-tiba keponakanku dari Jakarta mengirim pesan via WA kepadaku dan menyuruhku untuk melihat facebook suamiku. “Astaga”, aku shok. Aku tak percaya. Aku tak menyangka akan perbuatan suamiku itu. Aku lihat ada beberapa foto telanjangku di facebook-nya yang ia lengkapi dengan kata-kata “tante-tante pelacur dan penipu”. Aku gak bisa bayangin berapa ribu orang yang melihat foto tersebut termasuk keluarga besarku.

Tak hanya di akun fb, bahkan ada nomor tak dikenal yang masuk ke WA-ku dan mengecamku sebagai perempuan tak punya malu. Aku tak mau orang lain berpikir miring tentang aku. Aku pun jelaskan semua itu pada mereka karena aku tak mau hal itu berlanjut. Aku kembali berdialog dengan suamiku di fb dan aku share foto keluargaku di akun fb suamiku. Harapanku, semoga orang lain yang melihat foto-foto itu tahu bahwa aku adalah istri suamiku.

Masalah baru pun datang. Anakku memarahiku karena ada wajahnya di foto keluarga itu. Keluarga besarku semua pun menelponku dan menanyakan apa yang terjadi. Aku sampaikan bahwa aku ingin berpisah dengan suami dan aku ingin melaporkannya ke polisi. Namun, bercerai bukan solusi utama untuk menyelesaikan masalah ini karena pernikahan kami tidak dicatatkan di kantor catatan sipil dan kami hanya menikah di gereja. Aku pun memilih melaporkannya ke POLDA DIY dengan alasan pencemaran nama baik atas cyber crime. Sementara itu, kakak iparku terus menerus membujukku untuk mencabut laporan tersebut. Dan akhirnya, aku pun mencabut laporan itu demi anak dan keluarga. * Sebagaimana diceritakan kepada Purnawati, Relawan Divisi Pendampigan Rifka Annisa.

Dari cerita tersebut kita dapat pembelajaran bahwa kekerasan itu seperti siklus yang berputar. Dan kekerasan ini akan terjadi secara terus menerus ketika siklus atau rantai kekerasan tersebut tidak diputus. []

46780333
Today
This Week
This Month
Last Month
All
3655
14990
288700
343878
46780333