Mendengar kata ‘autisme’ saja, kebanyakan kita langsung terpikirkan betapa rentannya kaum ini. Apalagi kalau dipadukan dengan kata ‘perempuan’, lebih tidak terbayang lagi rentannya seperti apa. Pasti akan kesusahan dalam menjalani hidup dan menyusahkan orang-orang di sekitarnya, barangkali begitulah pemikiran kita.
Namun, bagaimana jadinya jika kukatakan kalau pemikiran tersebut tidak sepenuhnya tepat? Bahwa perempuan autistik juga bisa berdaya sebagaimana perempuan pada umumnya? Melebihi apa yang kita bayangkan mengenai mereka?
Barangkali kamu enggan mengamini perkataanku ini, dan mengatakannya sebagai suatu hal yang mustahil. Karena, seingatmu pun, autisme adalah disabilitas saraf yang membuat individunya kesulitan dalam menjalani hidup karena keterbatasan dalam bersosialisasi, berkomunikasi, dan bahkan beraktivitas sehari-hari. Sehingga tidak mungkin mereka bisa seperti kita yang memiliki badan dan mental dalam kondisi sempurna.
Aku tidak bisa menyalahkanmu jika kamu masih memiliki pemikiran seperti ini. Sebab, aku sendiri pun awalnya melihat orang yang kondisi fisik atau mentalnya kurang sebagai orang yang lebih lemah dariku. Apalagi kalau dia perempuan, yang notabenenya memiliki kondisi fisik atau mental lebih rentan daripada laki-laki.
Namun, pandanganku berubah semenjak bertemu dengan sosok perempuan autistik yang luar biasa. Walau mungkin bagimu ini hal yang sederhana, aku memandangnya sebagai sesuatu yang mendobrak batasan keyakinan kita selama ini. Sungguh menakjubkan apa yang dilakukan olehnya!
Autisme & lika-liku perjuangan
Fairuz Nurul Izzah (22), namanya. Perempuan autistik yang akrab disapa Fai ini tengah menempuh pendidikan tinggi di Universitas Terbuka (UT), ia mengambil program studi penerjemahan. Kisah dirinya mengikuti program magang cukup mengesankan bagiku, karena membuktikan kepada dunia bahwa perempuan autistik juga bisa berdaya.
Cerita dimulai dari pengalaman magang Fai sebagai asisten guru pengajar murid-murid autistik. Fai bertugas membantu dua guru mendidik murid-murid autistik, baik di dalam maupun di luar kelas, seperti mendampingi mereka berkunjung ke tempat kerja hingga mengajarkan tentang ‘magic words’ (maaf, tolong, dan terima kasih).
Di sinilah letak luar biasanya sosok Fai menurut saya: ia berani mengajari murid-murid autistik meskipun dirinya sendiri juga autistik. Sungguh luar biasa sekali perjuangannya ini, padahal menjadi individu autistik saja pasti rasanya tidak mudah. Terlebih yang diajarnya adalah anak-anak autistik, yang tentu tidak semudah mengajari anak-anak lain!
Saya jadi ingat perkataan saya tentang autisme tadi, bahwa autisme menghambat individu autistik dalam berkegiatan. Bukan bermaksud merendahkan, tetapi memang benar adanya bahwa autisme membuat individunya kesulitan dalam beraktivitas sehari-hari. Dalam konteks pembelajaran, kesulitannya mencakup mengikuti instruksi guru, menyesuaikan diri dengan kondisi ruang kelas, membangun interaksi dengan teman-teman sebaya, dan sebagainya.
Terlebih lagi, tingkat kesulitan individu autistik dalam menyerap materi pelajaran bergantung pada kondisi spektrumnya. Jika kondisi spektrumnya kurang mendukung, maka seorang individu akan kesulitan dalam mengikuti kegiatan pembelajaran. Namun, jika kondisi spektrumnya tidak seperti itu, mungkin hambatannya hanya sedikit saja.
Bisa dibayangkan seperti apa perjuangan Fai dalam mengajari murid-murid autistik tersebut. Ia harus berpikir berulang kali agar metode pembelajaran dan penyampaian materinya tepat sasaran. Di samping, mungkin, ia memiliki kesulitan dalam menyerap materi pelajaran yang harus disampaikan kepada murid-murid autistik.
“Waktu pertama kali mengajar, saya pernah melakukan kesalahan yang menurut saya cukup fatal. Bukannya paham, mereka (murid-murid autistik) malah jadi tambah bingung karena penjelasan saya,” jelas Fai, ketika saya tanyakan soal pengalamannya mengajari murid-murid autistik.
Namun, apakah itu membuat Fai menyerah? Jawabannya tidak, saudara-saudara! Ia malah melaju terus seolah tidak mengenali keberadaan rintangan. Fai terus saja meramu rumus agar murid-murid autistiknya bisa paham dengan penjelasannya—benar-benar membuktikan betapa berdaya dirinya sebagai perempuan autistik!
Hasilnya, Fai menemukan suatu pendekatan di mana murid-murid autistik bisa belajar dengan nyaman dan produktif. Temuan itu antara lain memberikan kuis, tontonan yang menghibur dan edukatif, serta mengadakan role play pada mereka. Sementara, mungkin, sekolah atau bahkan pengajar khusus autisme masih berkutat dengan metode pengajaran lama, Fai sudah membuat terobosan baru!
Masih tersimpan harapan
Ketika saya tanya kepadanya kenapa berbuat sejauh itu, Fai menjawab bahwa dirinya ingin membuka mata masyarakat agar mulai menerima keberadaan orang-orang autistik. “Sampai sekarang, banyak orang meremehkan para individu autistik. Mereka berkata, ‘autisme itu penyakit!’ Padahal autisme itu kondisi perkembangan yang berbeda, bukan penyakit,” kata Fai.
Kekhawatiran Fai merupakan hal yang lumrah. Saat ini, perempuan difabel, termasuk dalam hal ini perempuan autistik, kerap mengalami diskriminasi ganda, mencakup diskriminasi gender dan diskriminasi autisme, di mana perempuan autistik dianggap tidak memiliki kapasitas sehingga suaranya tidak dianggap. Dengan demikian, apa yang dilakukan Fai sebenarnya merupakan gebrakan baru yang membantu menyuarakan hak-hak orang autistik, khususnya perempuan autistik.
Apa yang dilakukan Fai patutlah diberi apresiasi. Sungguh luar biasa dirinya mau memberanikan diri mengikuti program magang yang luar biasa seperti ini. Terlebih, dari sisi Fai sendiri mengaku dirinya sempat terserang rasa grogi begitu tahu dirinya harus mulai mengajari murid-murid autistik.
Fai mengaku bahwa dirinya melakukan itu sebagai bentuk pertanggungjawaban moral sebagai perempuan autistik yang istilahnya sudah maju beberapa langkah lebih dulu. “Sebagai individu autistik milenial, saya memiliki tanggung jawab untuk menjadi ‘role model’ bagi para pelajar autistik dan membagikan apa yang telah saya pelajari kepada mereka. Supaya kami bisa sama-sama maju. Membuktikan kepada publik bahwa autisme bukanlah ‘penyakit’,” kata Fai.
Fai adalah salah satu bukti bahwa perempuan autistik bisa berdaya dan bahkan memberi dampak yang besar bagi sekitar. Keberadaan Fai mematahkan keyakinan lama bahwa perempuan autistik merupakan objek yang lemah. Bahkan, dirinya memberikan peluang besar bagi perempuan autistik untuk maju, berdaya, dan berkarya. Semoga semangat Fai bisa menular kepada kita agar tidak mudah menyerah dalam memperjuangkan hak perempuan yang rentan!
—
*) Habibah Auni merupakan perempuan autistik dewasa di Indonesia, saat ini tergabung dalam komunitas Pemuda Autisme Indonesia. Ia memiliki minat untuk mendalami isu autisme dan jurnalisme. Habibah bisa dihubungi melalui akun Facebook-nya Habibah Ahni Auni.