Saya Tina (bukan nama sebenarnya), saya lahir tahun 1962, saya menikah pada tanggal 2 Maret 1984, kami sudah dikaruniai 2 orang anak, sampai 12 tahun usia pernikahan saya, keluarga kami harmonis dan bahagia kalaupun ada konflik kami selalu mampu menyelesaikan dengan baik.
Namun pada bulan April 1997 tiba-tiba suami saya selalu mencari masalah, walaupun demikian saya menanggapinya dengan santai dan tidak terlalu serius, seringkali sambil senda gurau saya berkata “Pak! Keluarga sudah tentrem, kok suka cari-cari” (mencari masalah, red.). Namun sampai bulan Mei tidak ada perubahan kok malah semakin parah, dia semakin membenci saya. Dalam keadaan seperti ini saya kerapkali merenung, barangkali saya yang salah, tapi toh saya tidak menemukan kesalahan yang saya perbuat, hingga suatu ketika saya sakit dan tentu saja fisik saya lemah, saya pesen sama anak-anak dan suami kalau hari ini saya tidak bisa diganggu karena mau istirahat, dan semua keperluan agar dikerjakan sendiri.
Situasi ini justru dimanfaatkan suami saya untuk memvonis bahwa saya adalah istri yang tidak baik, karena tidak mau disuruh, tidak setia, disamping itu suami saya juga menganggap saya suka mendikte. Hal ini disebabkan karena di keluarga kami saya lah yang mencari uang sehingga saya tidak akan memberi suami uang kalau tidak untuk keperluan penting.
Situasi ini terus berlangsung hingga saya merasa perlu untuk mencari sebab-sebabnya. Ternyata suami saya memiliki WIL (wanita idaman lain, red.), sebut saja Dewi (juga bukan nama sebenarnya). Maka saya segera membicarakan hal ini dengan keluarga saya dan keluarga suami saya. Dan, kepada keluarga Dewi, saya berusaha untuk njlentrehke (menjelaskan) bahwa laki-laki yang dicintainya itu sudah punya istri.
Tampaknya keluarga Dewi sepakat untuk memutuskan hubungan anaknya dengan suami saya. Tapi ternyata yang terjadi sebaliknya keluarga justru mempercepat kelangsungan pernikahan mereka.
Dalam kasus ini 90% tetangga-tetangga saya mendukung saya. Demikian juga halnya kakak dan keluarga saya bahkan mertua saya. Bentuk dukungan yang diberikan lebih bersifat Rohani, agar saya berserah kepada Tuhan. Namun dalam benak saya dukungan rohani memang penting tapi harus dibarengi ikhtiar atau usaha. Atas pertimbangan kakak saya akhirnya saya bisa berhubungan dengan Rifka Annisa Women’s Crisis Center. Setelah berkonsultasi dengan Rifka Annisa saya menemukan alternatif pemecahannya. Salah satunya adalah mengambil upaya hukum untuk memisahkan suami saya dengan Dewi, yang sudah menjadi istrinya. Tindakan ini saya ambil atas dasar keyakinan bahwa suami saya itu masih mencintai saya dan anak-anak.
Akhirnya dengan dukungan Rifka Annisa WCC saya mengajukan gugatan untuk membatalkan pernikahan suami saya. Karena pernikahan itu dilangsungkan tanpa persetujuan saya. Setelah gugatan saya diproses dan dimenangkan pengadilan ternyata belum dapat memisahkan suami saya dengan Dewi, justru suami saya dibawa ke rumah keluarga Dewi tersebut.
Melihat keadaan seperti ini saya berniat akan melaporkan hal ini ke kepolisian bahwa suami saya telah memalsukan KTP dan akte Nikah. Mendengar ancaman saya, suami saya malah mengejek kalau laporan saya itu tidak laku. Mendengar ejekan itu tentu hati saya menjadi panas. Maka tidak ada pilihan lain kecuali melaporkan suami saya. Dan akhirnya suami saya diproses di pengadilan dengan tuduhan memalsukan KTP dan Akte nikah. Akhirnya suami saya dipenjara 7 bulan.
Dengan dipenjarakannya suami saya, saya berharap mereka dapat terpisah dan selama dalam penjara, suami saya dapat menyadari bahwa tindakannya selama ini keliru. Tetapi, yang lebih penting lagi, sekeluarnya dari penjara dia dapat berkumpul kembali dengan saya dan anak-anak.
Saya berterima kasih sekali kepada Rifka Annisa karena dengan bantuannya saya mendapatkan jalan. Saya akui, saya orang yang tidak tahu. Saya tidak bisa membayangkan seandainya saya tidak mendapatkan dukungan teman-teman Rifka Annisa. Barangkali saya akan menyerah pada keadaan. Saya yakin bahwa Tuhan telah membantu saya melalui Rifka Annisa.
Dengan kesaksian ini, saya berharap agar perempuan yang senasib dengan saya tidak lagi diam. Kita harus meraih hak-hak kita, karena saya yakin batin setiap perempuan yang diperlakukan seperti saya akan tersiksa dan meronta. Mungkin secara fisik diam tapi dalam batin pastilah berontak. Di samping itu, tentunya kita perlu juga berserah diri pada Tuhan. Karena Tuhan akan memberikan kekuatan. Tanpa pertolongan-Nya kita tidak akan bisa apa-apa.
Sebagaimana diceritakan kepada Boim dan Uta