“Kalau ada siswi hamil, ya, harus dikeluarkan dari sekolah. Harusnya, kan, dia tahu itu mencemarkan nama baik sekolah. Lha, dia apa nggak mikirin perasaan orang tua kalau dia melakukan hubungan suami istri sebelum menikah?” Kala itu pertengahan 2015. Kami sedang menyelenggarakan sebuah pelatihan intensif bagi remaja siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) selama 4 hari. Dalam pelatihan intensif tersebut 13 remaja perempuan menjadi peserta di kelas perempuan. Kami mendiskusikan kekerasan terhadap perempuan dan bagaimana terlibat dalam upaya pencegahan sebagai pendidik sebaya bagi teman-temannya. Saat itu kami sedang membicarakan pengalaman sebagai perempuan. “Misalnya dia hamil karena diperkosa, bagaimana?” tanya saya. “Ya, tetap harus dikeluarin, kan, dia hamil. Bagaimanapun, jangan sampai nama sekolah menjadi buruk di luar sana,” tambah Lina.
Ini pertama kali saya bertemu dengan mereka, siswi-siswi terpilih dari berbagai SMK di Kabupaten Gunungkidul. “Sebagai perempuan, saya tidak suka menangis,” ucap Wenda, peserta yang lain, “Karena laki-laki itu kayak ayah saya yang suka nyuruh ibu saya. Kalau ibu saya salah, suka dimarahin, dan ibu saya cuma nurut saja. Jadi, saya nggak suka sama perempuan karena suka diremehin.”
Nilam ikut berkomentar, “Saya nggak pernah bangga dan puas menjadi seorang perempuan. Entah kenapa, dari dulu hingga sekarang, kalau saya merasa, maaf, ya, nggak suka anak perempuan. Itu karena saya berpikir kenapa perempuan itu sikapnya cenderung klemar-klemer[1], plinplan, kalau disuruh nggak cakcek[2], dikit-dikit nangis. Yah, pokoknya saya nggak bangga menjadi perempuan. Saya nggak suka perempuan. Kalau saya disuruh memilih, saya tidak ingin menjadi perempuan. Walaupun jenis kelamin saya perempuan tapi saya nggak akan menjalani hidup sebagai perempuan yang cenderung lemah lembut, saya nggak suka itu.”
Saya mendengarkan Nilam sambil menatapnya. Remaja perempuan 15 tahun, dengan perawakan tinggi tegap, aktif dan sangat energik. Nilam adalah pengurus OSIS di sekolahnya, sekaligus pemimpin geng. “Kata teman-teman, ‘Kamu tuh ceplas-ceplos, kasar,’ mungkin didikan orang tua. Saya kayak gitu karena saya nggak suka bertele-tele, kalau jelek, ya, saya bilang jelek.”
Saya terkejut mendengar komentar para peserta di awal pelatihan. Kami berkumpul untuk mendiskusikan cara mereka membantu teman-teman perempuannya yang menghadapi masalah. Namun, yang saya jumpai adalah remaja-remaja perempuan yang membenci perempuan, menyalahkan perempuan, dan tidak ikut merasa sedih dengan permasalahan remaja perempuan yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari.
Saya teringat pada pelatihan serupa pada pertengahan 2014. Vidia, seorang peserta remaja perempuan, menyodorkan sebuah gambar tangan terkepal disertai tulisan, Waktu aku masih kecil, ibuku pernah mengalami kekerasan dari bapakku. Bapakku pulang tiga minggu sekali dan sekalinya pulang, sering mukul. Aku udah bilang sama ibu, aku capek situasinya kayak gitu terus. Tapi ibu bilang ibu bisa mengurus sendiri. Sekarang mereka masih sempet-sempetnya berantem. Aku nggak pernah cerita sama siapa pun. Paling, kalau udah seperti itu, aku ngurung diri di kamar sampai malam. Bapak ibu pernah baikan tapi selalu ada hal-hal kecil yang membuat mereka berantem lagi. Aku ingin bapak tidak mukul lagi. Aku capek denger mereka terus-terusan berantem, cekcok, sampai mau pisah. Kalau bapak ibu berantem, pasti dilampiaskan ke aku. Aku masih bertahan sampai sekarang. Ibuku bertahan karena memikirkanku dan adik-adikku. Dulu ibu pernah dicemooh karena tidak bekerja, sekarang ibu bertahan bekerja supaya aku dapat tetap sekolah.
Saya masih ingat Vidia dan sikap pendiamnya selama pelatihan, yang ternyata menyimpan luka batin dari pengalaman hidupnya sebagai perempuan. Keyakinan akan adanya luka batin akibat ketertindasan sebagai perempuan ini mendorong saya menanyakan satu hal pada peserta pelatihan siang itu, “Adakah sesuatu yang menjadi beban bagi kalian, sebagai perempuan?” Peserta diam. Mereka menuliskan sesuatu di kertas. Saya mempersilakan jika ada yang mau mengungkapkan apa yang ditulisnya.
“Saya mau cerita,” ucap Wenda. Dia bercerita, selama ini dia kerap melihat ibunya menjadi korban kekerasan yang dilakukan ayahnya. “Ya, gitu, kalau ada cekcok saya lebih baik ngumpet. Saya sama adik-adik ngumpet di kamar, nutup pintu. Denger tapi nggak berani lihat. Kemarin saya nggak sengaja lihat ayah melempar toples, kena tepat di muka ibu, tapi ibu saya cuma diam. Ya ampun, aku ki mung cah cilik, nak aku nglawan mesti ya remuk[3]. Ya udah, saya cuma di situ, adik saya yang kecil mau nolongin ibu, saya tahan. Terus ayah ngamuk-ngamuk sampai setrika yang dibeli pakai jerih payah ibu, rusak dibanting ayah. Sekarang, kalau mau gosok baju, musti pinjam. Di situ terkadang saya merasa ibu superhero. Dia hebat banget, kuat.”
Saya tertegun mendengar penuturan Wenda. Tak berapa lama, keterbukaan Wenda tersebut memancing Nilam untuk bercerita. Nilam memiliki pengalaman senada. Ayahnya melakukan KDRT kepada ibunya, dampaknya ibunya memiliki pria idaman lain. Dia mengetahui dan tidak setuju dengan tindakan ibunya tetapi tidak mau tahu. “Terserah karepmu, Mak, doso tanggungen dhewe[4],” ujarnya.
”Mungkin kelakuan ibu saya itu timbal balik dari bapak. Dulu, kan, bapak pemabuk berat, suka judi, suka mukuli ibu, suka selingkuh. Setelah beli HP, bapak ketahuan selingkuh, mereka saling minta maaf. Nah, dulu, sebenarnya mereka pernah cerai terus rujuk lagi secara pengadilan. Ibu pernah bilang, ‘Bapakmu we ra perhatian karo aku. Ngapa aku kudu perhatian karo bapakmu?[5]’ Ya udah saya diam karena bapak saya juga kayak gitu.”
Bapak dan ibu Nilam sering cekcok. Jika menjumpai situasi itu, Nilam masuk kamar, mengunci pintu, dan mendengarkan musik dengan headset sekencang mungkin hingga telinganya sakit. Nilam sering dibandingkan dengan kakak laki-lakinya dan direndahkan sebagai perempuan. Orang tuanya sering mengatakan bahwa anak perempuan itu isone ngrepoti[6]. Hal ini membuatnya merasa perempuan hanya beban. Wenda menimpali dengan hal yang sama, bapak dan kakek neneknya juga sering menyatakan bahwa anak perempuan bisanya hanya merepotkan. Sehingga dia menurut saja ketika SMK, bapaknya memilihkan jurusan pemasaran. Bapaknya mengancam tidak akan membiayai sekolahnya kalau memilih jurusan lain. Dia juga mendapat uang saku yang lebih kecil daripada adik-adiknya yang laki-laki. Itu pun kerap ditabungnya untuk membeli perlengkapan sekolah. “Soalnya kalau minta, sering dimarahi,” akunya.
Tidak ada yang menyangka, mereka memendam luka. Perlahan-lahan, satu demi satu menyampaikan kisah hidupnya. Siapa yang menyangka, siswi-siswi terpilih SMK-SMK favorit di Kabupaten Gunungkidul itu hampir semua memendam luka batin yang sedemikian dalam. Ada yang ayahnya berselingkuh ketika dia masih berusia 3 bulan di kandungan ibunya, sehingga setelah lahir dia berpindah-pindah pengasuhan, dari keluarga satu ke keluarga yang lain. Ada yang ayah ibunya bercerai dan setelah ayahnya menikah lagi, tidak peduli lagi dengan ibu dan adik-adiknya.
Cara memandang laki-laki lebih tinggi kedudukannya atau lebih istimewa daripada perempuan, juga hal-hal yang dilekatkan padanya, rupanya sedemikian melekat pada para remaja perempuan ini. Lemah lembut, menerima, menangis, dianggap sebagai sifat yang remeh karena melekat pada perempuan. Mereka melihat ibu mereka tidak mampu berbuat apa-apa ketika mengalami kekerasan. Mereka beranggapan begitulah cara perempuan menghadapi masalah. Akhirnya mereka benci perempuan.
Posisi perempuan yang oleh budaya diletakkan lebih rendah daripada laki-laki, menjadikan para remaja perempuan ini tidak menyadari bahwa ketertindasan tersebut menimbulkan luka batin mereka. Sedari awal Lina menyampaikan bahwa hidupnya bahagia dan baik-baik saja. Dengan berapi-api, dia menyampaikan bahwa perempuan harus mematuhi aturan dan tidak melupakan kodratnya, yang dia artikan mengurus rumah tangga.
Namun, akhirnya, dengan suasana batin yang bergejolak karena mendengarkan peserta lain mengungkapkan kekerasan yang mereka hadapi, Lina ikut memaparkan kisahnya. “Saya belum pernah bertemu dengan bapak saya,” ujarnya sambil terisak.
Perlahan Lina bercerita bahwa bapaknya berselingkuh dan menghamili perempuan ketika ia masih kecil. Saat ia berusia 3 tahun, sang ibu merantau ke Jakarta untuk mencari nafkah. Hubungan pernikahan orang tuanya menggantung. Lina sekarang tinggal bersama kakek nenek dan jarang bertemu ibunya. Itulah kenapa selama ini dia selalu serius belajar.
“Setidaknya saya dapat sedikit membantu mereka untuk menghapus kejelekan yang dibuat bapak saya di desa. Saya menyemangati diri saya untuk mengangkat nama baik keluarga,” ucapnya. Saya kembali tertegun. Lina adalah siswa berprestasi di sekolahnya. Selain prestasi akademik, dia juga sering menjuarai lomba debat berbahasa Inggris.
“Tidak apa-apa melihat itu sebagai sebuah luka. Karena dengan berani melihatnya sebagai luka, kita kemudian berani menghadapi dan menyembuhkannya.” Saya berusaha menyemangatinya, juga peserta lain.
Kami duduk melingkar, memadukan telapak tangan tanpa bersentuhan, memejamkan mata, dan menarik napas bersama. Sesaat kemudian kami membuka mata, berpegangan tangan, dan saling mengucapkan terima kasih karena sudah bersedia mendengarkan.
“Bagaimana perasaan kalian?” tanya saya. “Happy, damai, lega, capek, penuh pemikiran, optimis, riang dan bergairah, asyik,” seru peserta bersahutan.
Kesediaan untuk bercerita tentang hal-hal yang menjadi beban sebagai perempuan, perlahan-lahan membangkitkan kesadaran bahwa semua terjadi karena didikan dan bentukan budaya yang memposisikan perempuan lebih rendah daripada laki-laki sehingga rentan mengalami penindasan. Selepas sesi yang melelahkan tersebut, banyak pandangan yang berubah. Nilam dan Wenda merasa lebih bisa memahami ibunya.
“Saya pengen segera pulang dan minta maaf pada ibu saya, Mbak,” kata Wenda. Dia merasa lebih bisa memahami mengapa ibunya hanya bisa diam ketika mendapatkan kekerasan dari ayahnya. Hal itu terjadi karena, sebagai perempuan, ia dididik untuk selalu menurut, tidak boleh melawan. Seperti halnya dia selalu diomeli ketika melawan ayahnya. Bedanya, Wenda keras kepala dan tetap melawan, sementara ibunya menurut saja.
Setelah belajar tentang budaya yang membentuk laki-laki dan perempuan, Wenda memahami bahwa laki-laki sering melakukan kekerasan karena dibentuk seperti itu. Laki-laki harus keras, harus menjadi pemimpin, harus lebih unggul daripada perempuan. Padahal, ada pilihan lain untuk menjadi laki-laki, yakni dengan menjadi laki-laki penyayang dan menghormati perempuan sebagai sesama manusia yang setara. Bahkan, Wenda sendiri memiliki pengalaman yang berkesan dengan ayah, ketika kecil ayahnya sering menggendongnya dan mengajaknya bermain. “Saya jadi bisa memaafkan ayah saya tapi saya tetap tidak setuju dengan perbuatannya,” ujarnya.
“Sekarang saya bisa mengenal diri saya lebih baik dan lebih bisa menghargai dan menerima saya sebagai perempuan,” tambahnya kemudian. Hampir semua mengamini ucapan Wenda. Saya lega melihat wajah-wajah yang lebih bersemangat di akhir pelatihan.
“Kalian sudah saling berbagi. Apa yang membuat kalian mau menceritakan pengalaman hidup yang selama ini selalu kalian tutup rapat?” tanya saya. Mereka bingung dan saling berpandangan. “Apakah kalian mempercayai teman-teman di sini?” lanjut saya. “Tidak!” seru mereka dengan kompak.
Saya terkejut. “Jujur, ya, Mbak, saya khawatir nanti cerita ini bakalan diomong-omongin di luar,” kata Wenda dengan polos, diikuti persetujuan peserta lain. Saya tidak bisa membantah, hanya bisa mengingatkan kalau di awal pelatihan kami sudah membuat komitmen bersama untuk menjaga rahasia. Satu hal yang tergambar di sini, membangun rasa saling percaya antarperempuan adalah sebuah perjalanan panjang. Bentukan budaya sedemikian kuat menanamkan rasa saling curiga dan permusuhan sesama perempuan.
Suatu siang, saya bertemu dengan mbak Fitri, training officer di Rifka Annisa. Dia baru saja mengikuti kampanye dalam rangka puncak acara peringatan Hari Ulang Tahun Kabupaten Gunungkidul ke-181 yang jatuh pada 28 Mei 2015. Hari itu istimewa karena Rifka Annisa mengerahkan warga dampingannya di komunitas untuk ikut kampanye penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Hadir sekitar 400 massa dari komunitas Rifka Annisa, jumlah massa terbesar yang mengikuti acara itu. Mbak Fitri berapi-api menceritakan kampanye tersebut, bagaimana anggota komunitas bersemangat meneriakkan yel-yel tentang laki-laki peduli, pending pernikahan dini, stop kekerasan seksual, dan sebagainya, sejak awal long march hingga selesai acara. “Eh, Mbak, kamu ingat Vidia, kan? Peserta pelatihan tahun lalu. Sekarang kamu pasti pangling. Dia sekarang sangat aktif, ceria, dan bersemangat. Tadi dia ikut kampanye,” katanya. Vidia? Tentu saja saya ingat, dia yang menyodorkan gambar tangan terkepal, dua tahun lalu.
Saya ingat, selepas mengikuti pelatihan, Vidia sempat curhat pada saya. Dia menyampaikan kebingungannya menghadapi orang tua karena setiap ada pertengkaran, dia selalu menjadi rebutan bapak-ibunya. “Luweh![7]” itu kata yang terakhir kali saya ingat ketika melihatnya menerima telepon dari bapaknya.
Mendengar kabar dari mbak Fitri seperti ada angin segar menyusup dalam hati. “Semoga kehidupan mereka sekarang lebih baik,” doa saya selalu untuk Vidia dan perempuan-perempuan yang pernah menyampaikan kisah hidupnya kepada saya. Saya pun menghubungi mbak Asih, community organizer yang berada di wilayah Vidia tinggal, untuk menanyakan kabar Vidia.
“Oh, Vidia. Aku nggak tahu anaknya gimana tapi setahuku orang tuanya masih bermasalah sampai sekarang,” tutur Mbak Asih. Ibu Vidia sekarang bekerja di luar negeri menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW), sementara bapaknya berselingkuh. Perselingkuhan tersebut banyak diketahui orang dan menjadi pembicaraan karena bapaknya sering kelihatan berdua dengan WIL-nya tersebut. “Vidia aktif tapi naik turun, Mbak. Kalau diajak berkegiatan, kadang mau ikut, kadang nggak mau,” tambahnya. Saya tertegun mendengarnya.
Iseng saya buka laman Facebook, mengecek apa yang dilakukan Vidia sekarang. Kebetulan kami berteman di sana. Saya melihatnya mengunggah foto orang tuanya. “Doanya buat bapak sama ibuk, yang rukun, langgeng sampe besok kakek nenek,” tulisnya. Saya melihat postingan itu dengan sedih. Sekali kegiatan pelatihan, mungkin bisa sedikit membangkitkan semangat para remaja perempuan ini. Membuat mereka menyadari bahwa ada pilihan untuk menjadi perempuan dan menjadi laki-laki dengan saling menghargai dan menghormati satu sama lain. Namun, perjalanan hidup sebagai remaja dan perempuan, dikelilingi situasi yang membuat perjalanan itu menjadi proses yang penuh rintangan.
Sebuah puisi indah yang dibuat oleh Melisa asal Makassar masih saya simpan, menggambarkan semangat barunya untuk berdiri setara dengan laki-laki. Puisi itu ia tulis selepas mengikuti pelatihan di Rifka Annisa bersama Vidia. Semoga semangat itu masih terjaga hingga saat ini.
Aku perempuan, kamu laki-laki
Lalu kenapa?
Ada apa?
Ya, kita memang beda
Tapi sekadar kodrat biologis saja
Aku perempuan, kamu laki-laki
Lalu kenapa?
Aku dan kamu punya banyak kesamaan
Tapi satu yang kamu lupa
Awal kehidupanmu berasal dariku “perempuan”
Kamu bisa, aku pun bisa
Kamu tegas, aku pun juga, tapi
bukan karena kekuatan fisik aku bisa
Melainkan dari kekuatan hati
(Melisa, 2014)
Catatan:
Sebagian nama disamarkan untuk menjaga kerahasiaan
[1] lemah lembut
[2] tidak cekatan
[3] Saya cuma anak kecil, kalau melawan pasti remuk.
[4] Terserah kemauanmu, Mak, dosa tanggung sendiri.
[5] Bapakmu saja tidak pernah memberiku perhatian. Kenapa aku harus memperhatikan bapakmu?
[6] Bisanya merepotkan.
[7] Masa bodo!