Kekerasan Seksual dalam Keluarga

Written by  Wednesday, 10 April 2019 11:10

Salam hangat,

Perkenalkan, nama saya W. Saya memiliki seorang teman perempuan. Dia satu angkatan dengan saya dibangku kuliah. Setiap hari kami terbiasa bermain bersama, baik hang out keluar maupun bermain ke rumahnya. Selama ini, ia tinggal dengan ibu, adik dan ayah tirinya. Ibunya telah menikah lagi, setelah ayah kandungnya meninggal 2 tahun yang lalu. Kata teman saya, alasan ibunya menikah lagi adalah agar ada yang menjaga ibu, sekaligus akan ada sosok ayah yang bisa melindungi dan menafkahi.

Beberapa hari yang lalu saya mampir ke rumahnya dengan pacar saya. Kami memang tidak ada janji, sehingga tidak tahu juga apakah dia ada di rumah atau tidak. Sampai di teras rumah, kami mendengar suara histeris berteriak-teriak dari dalam rumah. Kami langsung berlari masuk dan arah teriakan itu dari kamarnya. Ternyata kamarnya terkunci dan mau tidak mau, pacar saya mendobrak pintu kamar. Betapa kagetnya kami, melihat ternyata ia tengah disetubuhi oleh ayah tirinya. Saat itu, kami hanya bisa terdiam dan ayah tirinya segera keluar dari kamar dan pergi.

Saya langsung menghampiri dan merangkul teman saya. Pacar saya juga setengah tidak percaya dengan apa yang terjadi. Setelah keadaan agak tenang, saya mencoba menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Menurut pengakuan teman saya, ia sering mendapat ancaman untuk berhubungan intim dengan ayah tirinya. Kejadian ini telah berlangsung sejak awal pernikahan ibu dan ayah tirinya tersebut. Saya sebagai teman, merasa sangat prihatin. Saya sempat menasehatinya agar ia bercerita dengan ibunya atau melapor kepolisi. Tetapi, teman saya tidak mau, karena jika ia bercerita ibunya pasti akan marah dan menyalahkan dirinya. Apa yang bisa saya lakukan untuk membantu teman saya ini? Saya pikir, saya tidak bisa memaksanya untuk melapor. Namun, saya tidak bisa terus menerus membiarkan teman saya dalam keadaan seperti ini. Terima kasih.

Jawab

Salam Mbak W,

Kami ikut sedih dengan peristiwa yang menimpa teman Mbak W. Apa yang Mbak W lakukan dengan memberikan dukungan pada teman Mbak ini sudah tepat, karena banyak perempuan korban kekerasan semacam ini yang justru menjadi pihak yang disalahkan oleh lingkungannya. Adapun sikap teman Mbak W yang masih serba takut dalam membuat keputusan dapat dimaklumi, karena memang dia mengalami suatu peristiwa buruk yang menggoncangkan kondisi psikologisnya dan menghadapinya sendirian. Selain takut, perasaan malu, rendah, dan menyalahkan diri sendiri kerap kali dialami oleh korban.

Perbuatan yang dilakukan oleh ayah tiri korban tidak dapat dibenarkan oleh hukum yang berlaku di negara kita. Namun karena terbatasnya keterangan yang Mbak W berikan, kami juga belum dapat memberikan informasi yang lengkap tentang posisi hukumnya. Untuk melihat posisi hukum dari kasus ini, kronologi cerita harus jelas mengenai kapan, di mana, dan bagaimana terjadinya peristiwa.

Jika saat mengalami peristiwa itu korban masih di bawah usia 18 tahun, maka pelaku dapat dijerat menggunakan Undang-undang Perlindungan Anak (UUPA) No 35/Tahun 2004 perubahan atas UU No. 23/Tahun 2002, pasal 81-82, dengan ancaman hukumannya maksimal 15 tahun, paling singkat 3 tahun, denda paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah). Jika teman Mbak W sudah lebih dari 18 tahun, maka pelaku dapat dijerat dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 285, dengan ancaman hukuman 12 tahun penjara. Ancaman hukuman tersebut dapat dikenakan jika perbuatannya terbukti dan memenuhi unsur-unsur seperti paksaan, kekerasan, ancaman, dan lebih kuat lagi jika disertai saksi-saksi. Teman Mbak W dapat mengajukan laporan ke Kepolisian Resort (Polres) terdekat, karena di sana ada unit khusus yang menangani kasus-kasus perempuan dan anak, namanya Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA).

Hal yang harus segera dilakukan adalah melakukan pemeriksaan ke rumah sakit atau puskesmas terdekat, dan sampaikan kepada dokter, bahwa hasil pemeriksaan kemungkinan akan digunakan untuk keperluan hukum. Dicatat tempat, kapan tanggal periksa, dan dengan dokter siapa. Fungsi dari pemeriksaan ini adalah pertama, segera mendapatkan penanganan medis untuk luka fisik yang ditimbulkan, dan kedua, mengamankan alat bukti. Nanti jika korban memutuskan proses hukum, diinformasikan pada penyidik yang menangani bahwa sudah melakukan pemeriksaan, dan polisi akan meminta laporan visum ke rumah sakit atau dokter yang bersangkutan. Persiapkan juga saksi-saksi untuk menguatkan keterangan dari teman Mbak W. Saksi bisa orang yang melihat langsung peristiwa, bisa juga teman yang pernah mendengarkan cerita langsung dari korban. Dalam hal ini Mbak W dan pacar dapat menjalankan peran tersebut. Lalu pakaian dan sprei yang digunakan saat terjadi peristiwa agar disimpan dan jangan dicuci, sebagai penguat alat bukti.

Sebaiknya pihak ibu korban juga diberi tahu akan adanya permasalahan ini. Lebih cepat lebih baik, karena untuk menghindari kesalahpahaman jika saja ibu memperoleh informasi yang berbeda dari pelaku. Jika khawatir dengan kemungkinan akan timbul reaksi negatif, ada baiknya jika penyampaian informasi tersebut dilakukan oleh orang lain yang disegani oleh pihak ibu, misalnya kakek, paman, atau saudara lain yang diyakini korban dapat membantunya. Yakinkan korban dan ibu bahwa perilaku ayahnya ini tidak dapat dibenarkan, dan jika dibiarkan hanya akan menyuburkan kejahatannya di kemudian hari.

Dalam hal ini, upaya pendampingan sangat penting. Baik itu pendampingan hukum maupun psikologi. Jika Mbak W merasa kesulitan dalam melakukan pendampingan, Mbak W dapat menghubungi lembaga layanan pendampingan untuk perempuan dan anak terdekat seperti Rifka Annisa, atau lembaga layanan milik pemerintah yaitu Pusat Pelayanan Terpadu Penanganan Perempuan dan Anak (P2TP2A) di kabupaten/kota atau provinsi tempat korban tinggal. Layanan pendampingan yang diselenggarakan tidak berbayar. Demikian penjelasan kami semoga dapat membantu. Terimakasih.

Read 10530 times
46462753
Today
This Week
This Month
Last Month
All
12404
42425
314998
306641
46462753