Tidak lain tidak bukan, victim blaming adalah tindakan menyalahkan korban atas terjadinya suatu kasus. Secara harfiah, victim berarti korban, dan blaming dengan kata dasar blame berarti menyalahkan. Di sini, korban ditunjuk sebagai sebab musabab atau sumber permasalahan dari sebuah kasus.
Dalam kasus kekerasan seksual yang terjadi di masyarakat patriarkis, victim blaming ini umum dikenakan pada perempuan. Dalam masyarakat patriarkis, perempuan ditempatkan di struktur terendah, sebaliknya, laki-laki menduduki posisi dominan dalam berbagai aspek kehidupan. Situasi lebih buruk dapat terjadi pada perempuan dengan status sosial yang rendah, seperti buruh, sebagaimana digambarkan oleh film dokumenter “Angka Jadi Suara” (2017). Film ini digarap oleh Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) setelah pada 2012 lalu mendapat lokakarya produksi film oleh Partisipasi Indonesia. Produksi film ini dimulai pada 2016, di tengah kepadatan aktivitas keseharian buruh FBLP.
Dokumenter ini menyorot satu fenomena dari realitas kehidupan buruh perempuan yang perlu diketahui khalayak, yang kemudian perlu diperjuangkan, tetapi juga selama ini jauh dari atensi masyarakat: kekerasan seksual; sebuah tindakan amoral—sebuah kejahatan sunyi.
Inisiasi pembuatan “Angka Jadi Suara” sendiri dilatarbelakangi oleh kejadian di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung, DKI Jakarta. Kawasan ini menampung sekitar 45 pabrik dengan total buruh mencapai 50.000 orang yang mayoritasnya perempuan.
Dalam penelusuran yang dilakukan selama dua bulan mulai dari September hingga Oktober 2016, ditemukan bahwa terdapat 25 kasus pelecehan seksual di 15 pabrik KBN Cakung. Bentuk pelecehan seksual yang diungkapkan dalam dokumenter pun beragam, mulai dari catcalling atau pelecehan verbal, mencolek-colek bagian tubuh seperti pantat dan payudara, hingga memeluk dan mencium dengan sembrono di tempat umum. Pelaku kekerasan ini pun tidak hanya dari kalangan tertentu saja, melainkan beragam. Mulai dari satpam, mekanik, hingga bos di tempat kerja tersebut.
Adapun kekerasan seksual di lingkungan kerja sendiri dapat didefinisikan sebagai tindakan kekerasan berorientasi seksual yang ditujukan kepada objek sasaran yang disertakan ke dalam persyaratan kerja, atau ketika perilaku yang sedemikian menciptakan lingkungan kerja yang tidak ramah atau tidak layak (Better Work Indonesia, 2012). Bentuk kekerasan tersebut dapat berupa perilaku verbal atau fisik atau gerak tubuh yang berorientasi seksual, permintaan layanan seksual, atau perilaku lain yang berorientasi seksual yang membuat objek sasaran merasa terhina, tersinggung, dan/atau terintimidasi.
Bentuk-bentuk lain kekerasan di tempat kerja juga dipaparkan oleh MacKinnon yang mengklasifikasikannya ke dalam dua bentuk, yaitu tipe quid pro quo dan hostile environment (Kurnianingsih, 2003). Tipe quid pro quo (istilah yang berarti ‘ini untuk itu’) didefinisikan sebagai tindakan seksual yang dilakukan secara tegas atau implisit sebagai suatu syarat hubungan kerja, termasuk sebagai dasar dibuatnya keputusan dalam hubungan kerja yang mempengaruhi individu, di mana perempuan harus menerima secara seksual atau kehilangan keuntungan pekerjaan. Sementara tipe hostile environment (lingkungan yang tidak ramah) berkaitan dengan kondisi tempat kerja, yang merupakan pelecehan seksual yang efektif (untuk dilakukan) karena status pekerja perempuan berada dalam keadaan tertekan, membutuhkan uang dan terintimidasi.
—
Deskripsi Film
Judul : Angka Jadi Suara
Produser : Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP)
Sutradara : Dian Septi Trisnanti (Sekjend FBLP)
Penyunting : Manik Wijil Sadmoko (Ketua Bidang Litbang FBLP)
Durasi : 22 menit
Tahun : 2017
—
Pemilihan judul “Angka Jadi Suara” sendiri merepresentasikan makna bahwa angka atau jumlah terkait korban maupun kasus kekerasan seksual semestinya tidak berhenti menjadi data statistik saja; melainkan menegaskan representasi dari urgensi kasus yang perlu dibawa ke permukaan dan disadari bersama hal yang perlu dilawan bersama-sama.
Sebab, apabila menilik realitasnya, persoalan kekerasan terutama di pabrik yang notabene merupakan tempat kerja semacam ini masih dinomorsekiankan oleh masyarakat. Isu kekerasan seksual di tempat kerja masih kalah seksi dibanding isu upah buruh, meski keduanya sama-sama penting. Situasi ini pada gilirannya menyebabkan kekerasan seksual masif terjadi, dinormalisasi, dan membuat para korban merasa sendiri.
Sehingga, ketika mendapat kekerasan seksual, korban cenderung tidak berkutik, sebagaimana dikatakan oleh seorang buruh perempuan dalam cuplikan dokumenter sebagai berikut:
“Rasanya menyakitkan, saya nggak tahu apa-apa, orang awam. Ngomong ke siapa? Saya tuh malu, takut disalahin, karena saat kejadian terjadi, saya nggak bisa berbuat apa-apa, benar-benar nggak berdaya.”
Proses produksi film pun sempat diberhentikan selama dua jam karena terdapat korban yang menangis dan ragu untuk melanjutkan. Ini membuktikan sulitnya korban dalam mengumpulkan keberanian untuk mengungkap kasusnya.
Lebih dari itu, perasaan takut disalahkan yang tidak lepas dari tindakan victim blaming oleh orang lain tersebut pada konteks tempat kerja memiliki kondisi khasnya sendiri. Korban kekerasan seksual di lingkungan kerja perlu berpikir ulang untuk melaporkan kasusnya karena situasinya berkaitan dengan keamanan kerja dan sumber pendapatan, sebagaimana dijelaskan oleh Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Ratna Susianawati (Kompas.com, 2021). Situasi demikian bahkan juga dialami oleh saksi yang mendapati kasus kekerasan di tempat kerjanya.
Pada gilirannya, lingkungan yang tidak mendukung posisi korban ini meyebabkan rendahnya laporan kekerasan seksual di tempat kerja karena korban lebih memilih untuk bungkam. Dari sini, tampak bahwa persoalan yang dialami perempuan ini sekaligus merupakan refleksi dari permasalahan dalam struktur masyarakat luas.
Pertanyaannya kemudian adalah, mengapa korban dalam kasus kekerasan seksual justru disalahkan?
Profesor psikologi lulusan University of Illinois, Kimberly A. Lonsway, menjelaskannya melalui konsep Teori Dunia Adil (Bagus Takwin dalam Jurnal Perempuan, 2011). Teori ini menyatakan bahwa hal baik terjadi pada orang baik, dan hal buruk terjadi pada orang buruk. Dalam konteks ini, masyarakat kita memercayai bahwa perempuan telah melakukan sesuatu yang buruk sehingga mendapatkan kekerasan seksual.
Dengan kata lain, masyarakat kita mengamini bahwa kekerasan seksual terjadi karena adanya kesempatan yang diciptakan perempuan sendiri, seperti melalui tampilan fisik, gerak-gerik, serta waktu dan tempatnya berada.
Padahal, yang demikian adalah mitos. Masih menurut Lonsway, yang kemudian diluaskan Louise F. Fitzgerald, profesor psikologi lulusan Ohio State University, mengartikan mitos tersebut sebagai sikap dan keyakinan yang secara umum salah, tetapi dianut secara luas dan terus-menerus dipertahankan, serta digunakan untuk menyangkal dan membenarkan agresi seksual terhadap perempuan. Mitos ini melekat begitu kuat pada masyarakat yang patriarkis.
Meski begitu, victim blaming masih terjadi hingga kini. Padahal, ramai-ramai menghakimi korban kekerasan seksual sama dengan membiarkan pelaku pelecehan seksual menggandakan dirinya. Tindakan ini sama dengan membenarkan perilaku kekerasan seksual. Di sini, sanksi sosial yang semestinya ditimpakan pada pelaku justru dilimpahkan pada korban.
Sumber
Kurnianingsih, Sri. (2003). Pelecehan Seksual terhadap Perempuan di Tempat Kerja. Buletin Psikologi, 11(2), 116-129
Pedoman Pencegahan Pelecehan di Tempat Kerja: Pedoman untuk Perusahaan” oleh Better Work Indonesia (2012). Diakses melalui: https://toolsfortransformation.net/indonesia/wp-content/uploads/2017/05/Guidelines-on-the-Prevention-of-Workplace-Harassment_IND-3.pdf
Purnamasari, D. M. (2021). Penyebab Rendahnya Laporan Kekerasan dan Pelecehan di Tempat Kerja Terkait Sumber Pendapatan. Artikel Kompas.com. Diakses dari: https://nasional.kompas.com/read/2021/07/01/16004151/penyebab-rendahnya-laporan-kekerasan-dan-pelecehan-di-tempat-kerja-terkait
Takwin, Bagus. (2011). Membongkar Mitos Perkosaan. Jurnal Perempuan, 71: Perkosaan dan Kekuasaan