Tuesday, 30 June 2020 22:41

COVID-19 memberikan banyak pelajaran bagi umat manusia di seluruh dunia, di antaranya pelajaran tentang hakekat kehidupan yang dinamis dan terus berubah. Sebelum pandemi, aspek kehidupan manusia yang dianggap mapan seperti praktik dan tradisi beragama serasa tidak mungkin diubah. Namun, virus corona mengubah cara pandang itu bahwa tradisi beragama sekalipun tidak luput dari proses perubahan. Karenanya, para penganut agama dipaksa untuk beradaptasi dengan mencari dasar-dasar argumentasi bahwa perubahan dalam praktik beragama adalah sebuah keniscayaan. Hanya agama-agama yang mampu beradaptasi dan lentur dengan perubahan akan tetap menjadi anutan umatnya.

Demikian halnya dengan peran-peran sosial laki-laki dan perempuan.  Hakekat dari peran gender adalah dinamis, terus berubah dan tidak pernah mencapai wujudnya yang final. Hal itu tidak seperti yang dinormakan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan peran sosial yang tegas. Laki-laki berperan di sektor publik dan produktif sementara perempuan berperan di sektor domestik dan reproduktif. Seperti cara pandang umat manusia terhadap tradisi dan praktik beragama, peran gender pun dipandang sebagai hal yang mapan dan tetap. Seluruh upaya laki-laki dan perempuan yang melintasi batas perbedaan peran sosial itu akan mendapatkan sanksi sosial.  Namun, Covid-19 memaksa umat manusia, laki-laki dan perempuan, untuk kembali kepada hakekat peran mereka yang dinamis dan terus berubah.

Covid-19 membukakan mata bahwa citra laki-laki yang dibayangkan serba kuat, superior dan dominan itu tidak realistis. Laki-laki justru terperangkap dalam mitos kelelakian yang semakin membuat mereka rentan dan ringkih. Gaya hidup laki-laki yang bersumber pada norma maskulinitas justru semakin membuat laki-laki berisiko tinggi dalam situasi pandemi. Nilai ‘mengambil risiko’ yang diagungkan laki-laki membuat mereka cenderung tidak memiliki perilaku protektif, seperti enggan menggunakan masker dan malas cuci tangan.  Norma homososial di kalangan laki-laki yang diwujudkan dalam perilaku berkelompok dan bergerombol membuat laki-laki mengabaikan jarak fisik aman. Lalu, perilaku mencari pertolongan yang rendah membuat laki-laki mengabaikan gejala-gejala sakit yang membuat mereka terlambat mendapatkan pertolongan. Kebijakan bekerja dari rumah dan isolasi sosial juga membuat laki-laki gagap karena rumah dianggap bukan basis eksistensinya sebagai laki-laki, mereka seharusnya di kantor. Terisolasi di dalam rumah menjadi tekanan yang luar biasa dan ketika laki-laki gagal mengelola tekanan ini akan memicu ketegangan dan konflik dengan pasangan, anak atau siapapun yang berada di dalam rumah yang menciptakan risiko terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.

Konsekuensi-konsekuensi yang harus ditanggung laki-laki tersebut akan terjadi jika laki-laki mengingkari hakekat kehidupan yang dinamis dan terus berubah, termasuk hakekat peran-peran sosial laki-laki dan perempuan. Oleh sebab itu, laki-laki hanya memiliki pilihan untuk kembali dinamis dan terbuka terhadap segala perubahan. Dengan begitu, akan membuat laki-laki menjadi lentur dan fleksibel terhadap perubahan yang terjadi, termasuk perubahan-perubahan yang disebabkan oleh masalah alam maupun non alam, seperti pandemi Covid-19. Lebih-lebih ketika ilmu pengetahuan memperkirakan bahwa pandemi atau masalah-masalah kesehatan akan menjadi masa depan umat manusia.

Lalu, bagaimana untuk dapat menjadi laki-laki adaptif? Setidaknya ada tiga hal, pertama, laki-laki harus memiliki pandangan yang terbuka terkait dengan norma-norma maskulinitas. Citra ideal laki-laki hendaknya dilihat secara kritis. Citra maskulinitas yang ada hanya membatasi laki-laki untuk mewujudkan potensi maksimalnya sebagai manusia.  Oleh sebab itu, laki-laki harus dapat keluar dari citra itu dan membebaskan diri untuk menjadi laki-laki yang mereka inginkan, termasuk kesiapan untuk berubah ketika situasi mengharuskan mereka untuk berubah.

Kedua, laki-laki harus memiliki kecakapan personal dan relasional. Kecakapan-kecakapan personal diperlukan untuk memungkinkan laki-laki dapat mengelola diri secara sehat ketika terjadi tekanan-tekanan sebagai konsekuensi dari perubahan-perubahan yang terjadi di luar diri laki-laki, seperti ketika terjadi wabah Covid-19 yang mengubah seluruh tatanan kehidupan manusia. Sementara, kecakapan relasional akan memungkinkan laki-laki memiliki kemampuan untuk menyelesaikan konflik dan perbedaan dengan orang lain, seperti dengan pasangan, anak atau orang lain secara positif dan non kekerasan.

Ketiga, laki-laki harus lebih terbuka dan fleksibel dengan peran-peran gender mereka. Pandangan terkait dengan pembagian peran sosial berdasarkan jenis kelamin hendaknya ditinggalkan laki-laki karena akan menghalangi laki-laki untuk dapat beradaptasi dengan setiap perubahan. Dengan mempraktikkan peran-peran yang lebih fleksibel dan beragam akan meningkatkan kemampuan laki-laki untuk bertahan hidup dalam situasi sosial yang dinamis dan berubah cepat. Wallahu’alam.

 

Nur Hasyim

Anggota Dewan Pengawas Yayasan Rifka Annisa Sakina

Tuesday, 25 July 2017 12:12

Film drama romantis (2013) diadaptasi dari novel karangan Buya Hamka. Mengisahkan tentang perbedaan latar belakang sosial yang menghalangi hubungan cinta sepasang kekasih hingga berakhir dengan kematian. Berlatar tahun 1930-an, Zainuddin datang ke kampung halaman ayahnya,Padang Panjang. Disana ia bertemu dan jatuh cinta dengan Hayati. Namun cinta mereka terhalang oleh adat dan istiadat yang mengharuskan Hayati menikah dengan laki-laki dari keluarga Minang terpandang, melainkan Zainuddin yang dianggap tidak bersuku karena beribu seorang Bugis, serta lahir dan besar di Makassar. Cinta dua sejoli pun harus terpisah hingga kematian menghampiri tanpa ada kesempatan untuk menikmati indahnya pernikahan.  

Dalam film ini tokoh Hayati terpaksa menuruti keinginan orang tuanya untuk menikah dengan laki-laki dari keluarga Minang yang terpandang demi menjaga nama baik keluarga. Masyarakat Minang menganut sistem matrilineal, dimana garis kekerabatan ditarik dari garis keturunan ibu. Sementara itu, pola pernikahan yang berlaku di Minangkabau bersifat eksogami, yaitu seseorang seharusnya menikah dengan pasangan dari luar suku/ marga keluarga/ golongannya sendiri. Karena sistem matrilineal, maka yang disebut dengan suku tersebut tentu saja suku sang Ibu. Dalam kasus Zainuddin, memiliki seorang ibu berdarah Makassar (Bugis) membuatnya tidak diakui sebagai seorang laki-laki yang memiliki suku (golongan) di dalam masyarakat Minang. Ia juga tidak memiliki nama keluarga atau marga Minang yang membuatnya dapat diakui. Menikah dengan laki-laki “tak bersuku” dan tidak berharta menjadi sebuah momok yang dihindari apalagi jika si gadis adalah perempuan idaman kembang desa yang dianggap memilki nilai yang tinggi.

Sebelum Hayati menikah, diadakan musyawarah dalam memutuskan calon suami untuk Hayati. Musyawarah ini dilakukan oleh ninik-mamak (laki-laki dari generasi yang lebih tua dari keluarga pihak perempuan), karena dalam budaya Minang pernikahan lazimnya diprakarsai oleh pihak perempuan. Minangkabau merupakah suku yang menyukai musyawarah. Keputusan demi keputusan dilakukan secara demokratis. Falsafah Minangkabau menyebutnya mupakaik saiyo sakato (mufakat seiya sekata). Begitu pun dalam hal menentukan jodoh bagi anak gadis. Namun, jika kita amati lebih lanjut keputusan ini tidak dapat dikatakan demokrasi sepenuhnya, karena putusan yang diambil tidak seratus persen dari buah pikiran dan perasaan calon pengantin perempuan. Ia tidak bebas nilai untuk menentukan siapakah laki-laki yang dipilih untuk menjadi pendamping hidupnya. Pertimbangan akan nilai-nilai sosial terkait adat dan hubungan kekeluargaan menjadi faktor yang utama meskipun perasaan cinta dan keikhlasan harus diletakkan di nomor kesekian.

Musyarawah yang dilakukan oleh para ninik-mamak yang terdiri dari kelompok laki-laki juga menjadi bukti bahwa kekuatan kelompok ibu sebagai pembentuk sistem matrilineal begitu lemah. Ketika garis keturunan perempuan menjadi pertimbangan utama untuk diberlakukan dalam struktur keluarga dalam masyarakat Minang yang matrilineal, sesungguhnya keputusan-keputusan yang memberi kontribusi besar pada kehidupan anak-cucu masih sangat didominasi oleh kelompok laki-laki dengan buah pikiran dan perasaan yang melahirkan tindakan patriarki. Lalu dimanakah kekuatan matrilineal yang dimaksud? Dimanakah letak demokrasi yang diagungkan? Perempuan kemudian lebih cenderung dijadikan simbol status keluarga dimana suku berpengaruh sekali pada citra dan status keluarga dan harta yang dimiliki keluarga perempuan menjadi simbol kekuasaan untuk dapat membangun rumah tangga yang sejahtera. Pihak perempuan pun memberikan banyak hadiah berupa harta benda dan uang kepada pihak laki-laki untuk kesepakatan pernikahan. Tentu saja semua orang bebas beropini, kemudian akan menjadi wajar jika muncul opini bahwa laki-laki pihak laki-laki yang diuntungkan.

                Tenggelamnya Kapal Van Der Wick menyajikan kisah romantis yang tragis dan menyedihkan. Seligus memperlihatkan bahwa perempuan masih sulit untuk leluasa menentukan keinginannya sendiri. Bahkan dalam hubungan percintaan, banyak hal yang perlu menjadi pertimbangan sehingga keputusan yang ia jalani sejatinya menyiksa diri. Ketidaknyamanan, kesedihan, kebosanan dan keputusasaan menyelimuti perasaan hati.  Bahkan hingga akhirnya ia meminta kembali sang pujaan hati untuk dapat menerimanya lagi dan memulai kehidupan baru bersama atas nama cinta yang sempat terkekang, ia harus menerima kenyataan pahit. Laki-laki pujaannya sudah terlanjur sakit hati dan lebih membesarkan ego serta harga dirinya untuk tidak menerima kehadiran perempuan terkasih. Alhasil, Hayati harus berpulang tanpa pernah merasakan kehangatan cinta sang kekasih yang terbalut dalam jalinan pernikahan. Meskipun pada nafas terakhir, ia mendapat pengakuan rasa cinta dari Zainuddin yang masih terus membara hanya untuknya.

Selain itu, poster film yang menampilkan sosok Hayati menggunakan baju yang tampak terbuka juga dianggap menyalahi adat dan istiadat masyarakat Minang yang menganut ajaran Islam yang kuat dalam kehidupan sehari-harinya termasuk dalam berbusana. Hayati memang ditampilkan menggunakan pakaian yang modern dan seringkali menggunakan busana sleeveless karena bergaul dengan orang-orang Belanda. Tidak hanya urusan percintaan yang begitu terkungkung oleh adat dan istiadat, bahkan perkara selera fashion yang tidak merugikan siapapun, Hayati sebagai perempuan Minang harus tunduk pada peraturan masyarakat yang mengikat demi nama baik kesukuan dan junjungan agama.

*   Penulis adalah relawan Humas dan Media Rifka Annisa

**Disclaimer: Opini yang tercantum dalam tulisan ini adalah merupakan sudut pandang penulis dan tidak sepenuhnya merefleksikan posisi resmi dari Rifka Annisa.

Tuesday, 04 July 2017 14:37

“Saat suami saya nyapu, dikomentarin tetangga, ‘Wah, kok, rajin bener.’ Terus suami saya jawab, ‘Lha wong laki-laki peduli, kok.’ Saya senang sekali dengar jawaban itu.” Kegembiraan bu Winarni tersebut disampaikan pada FGD evaluasi kelas ibu Kulon Progo, 12 Desember 2015. Selama ini, bu Wiwin, demikian dia akrab disapa, menganggap pekerjaan rumah tangga adalah tugas istri. Rutinitasnya mengerjakan tugas-tugas domestik ia lakukan tanpa bantuan suami. Pekerjaan yang ia rasa cukup berat itu masih ditambah mengurus dua anak laki-laki yang masih kecil.

Kesibukan suami mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga membuat bu Wiwin tidak berani meminta bantuannya dalam mengurus rumah tangga. Pikirnya, bukankah sudah demikian tugas istri dan suami dalam keluarga? Kebiasaan masyarakat dan tafsir Al-Quran yang ia pahami juga menyatakan bahwa tugas istri adalah mengurus rumah tangga, sedangkan tugas suami mencari nafkah. Tidak berbeda dengan Wiwin, Abdillah, sang suami, juga berpendapat demikian. Menurutnya, sebagai pemimpin rumah tangga, dia hanya bertugas mencari nafkah agar kebutuhan keluarga tercukupi.

Pandangan bu Wiwin dan pak Abdi adalah pandangan yang lazim berkembang di masyarakat dan itu diyakini sebagai kodrat Tuhan sehingga tidak bisa diganggu gugat. Lewat obrolan dan diskusi, kami mulai membahas apakah ini kodrat Tuhan atau bukan. Sebagai community organizer (CO) atau pendamping masyarakat dan fasilitator diskusi, saya mengajak para peserta membedakan mana yang kodrat, mana yang bukan. Mulai dari sana, peserta memahami bahwa kodrat adalah suatu hal yang diberikan Tuhan dan tidak bisa diubah, sifatnya universal, tak terbatas ruang dan waktu, misalnya laki-laki memiliki penis dan perempuan memiliki vagina. Selain kodrat, ada juga yang disebut gender, yaitu pandangan atau konstruksi masyarakat yang menempatkan laki-laki dan perempuan pada posisi tertentu, misalnya laki-laki pemimpin, sedangkan perempuan orang yang dipimpin. Perempuan lemah dan laki-laki kuat. Padahal, kondisi tersebut belum tentu benar. Pola pengasuhan, kebiasaan, atau wilayah geografis bisa membuat posisi laki-laki dan perempuan berubah. Tidak selamanya laki-laki memimpin atau kuat, demikian juga tidak selamanya perempuan lemah dan tidak bisa memimpin.

Kami berdiskusi sebulan sekali. Biasanya diadakan di balai desa. Malam hari untuk kelas ayah, menyesuaikan dengan jadwal mereka yang mayoritas bekerja pada siang hari. Kelas ibu biasanya dilakukan pada siang hari ketika para ibu sudah lebih selo[1] dalam menjalankan aktivitas mereka.

Pada setiap diskusi, pak Abdi terlihat menyimak dengan tekun. Beliau selalu mencatat dan mengerjakan pekerjaan rumah (PR) yang diberikan pada akhir sesi. PR yang diberikan, misalnya, mempraktikkan hal-hal yang belum pernah dilakukan sebelumnya terkait dengan materi yang dibahas. Banyak pengalaman menarik yang didapat oleh peserta saat mengerjakan PR, termasuk pak Abdi. Pada sesi Manajemen Marah, beliau menceritakan kesulitannya mengendalikan kemarahan, terutama kepada anak. “Biasanya saya marah jika anak tidak mau mandi dan mengaji. Saya memang tidak memukul tapi suara saya selalu tinggi kalau nyuruh anak sehingga anak-anak takut pada saya. Setelah tahu materi ini, saya mencoba mendekati anak. Saya ajak mereka mandi tetapi mereka tidak mau. Bahkan ketika saya berusaha membujuk, mereka langsung lari ke umi-nya. Begitu juga kalau belajar.” Ini juga berkaitan dengan materi pengasuhan, banyak keluarga yang membebankan soal pengasuhan hanya kepada ibu, sehingga tidak ada kedekatan antara ayah dan anak. Padahal di lain sisi, ibu sangat menginginkan anak-anak dekat dengan ayahnya sehingga mereka bisa berbagi peran.

Materi lain yang sangat menarik bagi bu Wiwin dan pak Abdi adalah komunikasi. “Suami saya itu dulunya pendiam. Sekarang, kalau ada sesuatu, dia mulai berkomunikasi, banyak ngobrol,” ungkap bu Wiwin.

           “Dulu, kalau pergi, saya nggak pernah bilang. Ketika ditanya istri, nggak bisa jawab. Dulu, saya berpikir pergi untuk berbuat baik, jadi nggak perlu pamit dan itu nggak disukai oleh istri. Sekarang saya usahakan pamit kalau ke mana-mana,” curhat pak Abdi.

Peserta-peserta lain juga mengatakan bahwa komunikasi yang mereka lakukan selama ini adalah bicara seperlunya. Komunikasi tidak dimaknai sebagai sebuah hal yang penting dalam membangun keluarga. Yang penting sudah bicara. Kalau marah atau jika tidak suka dengan sesuatu, diekspresikan dengan nada tinggi atau kata-kata kasar, atau kadang hanya diam. Masing-masing beranggapan, dengan demikian pasangan sudah tahu apa yang dimaksud. Saya jelaskan, ada beberapa macam komunikasi: komunikasi pasif, ketika kita lebih banyak diam dalam merespons sesuatu; komunikasi agresif, sikap ataupun ucapan yang bisa memunculkan kekerasan; terakhir, komunikasi yang paling disarankan, yaitu komunikasi asertif, komunikasi dua arah sehingga kedua belah pihak bisa mengutarakan dan memahami pesan dan perasaan satu sama lain.

Pak Abdi dan bu Wiwin mempraktikkan komunikasi asertif. Bu Wiwin mencoba menyampaikan perasaan dan keinginannya. Misal, ketika pak Abdi mengajak berhubungan seksual. “Ketika dia pegang kaki saya panas, saya bilang, ‘Saya capek, Bi, kalau pekerjaan rumah tangga mbok bantu, mungkin jadi nggak akan terlalu capek.’ Saya mengungkapkan sejujurnya. Dan, dia tidak tersinggung.”

“Suami mulai mendekati anak, anak dipangku saat diajari membaca. Ketika sudah mulai dekat dengan sang abi, anak juga mulai bisa mengungkapkan keinginannya, ‘Mbok Abi belajar bikin susu yang enak.’ Setelah belajar membuat susu yang enak dan rasanya sama dengan buatan saya, anak jadi suka. Setelah itu, saya merasa pekerjaan saya lebih ringan,” ungkap bu Wiwin.

Dengan metode reflektif, peserta merefleksikan apa yang terjadi dalam kehidupan mereka. Pola pengasuhan yang mereka terapkan dalam keluarga tidak terlepas dari pola pengasuhan yang mereka dapatkan dari orang tua. Cara lama mendidik anak seperti memukul dan memarahi, membuat anak jauh dari ayah mereka. Sosok ayah hanya menjadi “monster” bagi anak. Tidak hanya itu, dalam hal pekerjaan domestik, mereka juga mencontoh dari para pendahulu. Jika ada pekerjaan domestik yang dianggap sebagai pekerjaan istri, kemudian dilakukan oleh suami, sang suami dinilai layak mendapat celaan atau hinaan.

Sebagai keluarga dengan latar belakang agama yang sangat kuat dan pemahaman yang kaku, perubahan yang terjadi menjadi tidak mudah karena masih adanya nilai-nilai lama yang masih tetap diyakini. Belum lagi kondisi masyarakat yang belum memiliki pemahaman yang sama sehingga tekanan sosialnya tinggi. Laki-laki yang melakukan pekerjaan rumah tangga akan dianggap suami takut istri atau bahkan bukan laki-laki.

Di lain pihak, banyak istri yang ingin melakukan pekerjaan rumah tangga bersama-sama. Pekerjaan rumah tangga memang tidak menghasilkan uang seperti bekerja di pabrik atau kantor. Akan tetapi, jika dihitung jumlah jam dan jenis pekerjaannya, penghasilan istri akan jauh lebih banyak dibandingkan dengan hasil pekerjaan suami. Hal ini diamini oleh semua peserta diskusi. Pada diskusi dengan materi Gender, mereka diminta menghitung jumlah pekerjaan yang dilakukan suami dan istri dalam sehari. Sebelum matahari terbit, istri sudah bangun dan mulai menyiapkan segala kebutuhan anak dan suami. Setelah anak berangkat sekolah dan suami pergi bekerja, istri lanjut mencuci piring dan pakaian, menyapu, kemudian belanja. Setelah itu memasak, menjemput anak sekolah, menemani bermain dan belajar sampai malam. Hampir seluruh waktunya dihabiskan untuk mengurusi rumah sehingga ia tidak memiliki kesempatan untuk merawat atau mengembangkan diri, berbeda dengan para suami yang sedari bangun tidur segala kebutuhannya sudah disiapkan oleh sang istri. Ketika bekerja, mereka masih punya kesempatan untuk mencari hiburan, bahkan mengembangkan diri. Saat pulang ke rumah, mereka masih punya kesempatan untuk bersosialisasi atau melakukan aktivitas lainnya.

Menyadari banyaknya beban istri, pak Abdi mulai melakukan pekerjaan rumah tangga. Beliau membantu memasakkan air untuk mandi anak-anak, menemani mereka belajar, juga menyapu halaman.

Sesuk nek kalian nduwe anak, aku arep ndelok piye carane mendidik anak.”[2] Candaan itu disampaikan para peserta di akhir sebuah diskusi. Sebagai pendamping masyarakat, saya dinilai sudah “selesai” dengan semua persoalan yang menjadi topik dalam diskusi sehingga mereka ingin melihat contoh langsung bagaimana menerapkannya dalam rumah tangga. Saya dan suami selalu berbagi tugas pekerjaan rumah tangga. Mencuci piring, menyapu, dan menjemur pakaian itu tugas suami saya. Saya lebih sering memasak dan mencuci pakaian. Karena belum memiliki anak, kami belum memiliki pengalaman dalam mendidik anak.

“Nah, itu yang susah, Mbak. Niatnya nggak marah atau pukul anak tapi pas anak rewel, kita dalam posisi capek, ada masalah, kadang-kadang nggak sadar membentak. Setelah itu menyesal.” Saya selalu memposisikan diri sejajar dengan peserta. Ketika mereka diminta merefleksikan kehidupan mereka, saya pun melakukannya sehingga tidak ada jarak antara kami. Karena itu pula peserta lebih terbuka dan mempercayakan hal-hal yang dianggap rahasia dalam kehidupan mereka untuk diceritakan dalam forum. Kepercayaan tersebut disepakati sejak awal pertemuan, ada aturan di mana semua peserta bisa menceritakan semua pengalamannya dan pembahasannya cukup dalam forum diskusi saja sehingga tidak menjadi gosip di luar forum.

Latar belakang peserta diskusi sangat beragam, baik dari sisi pendidikan, ekonomi, ataupun pengasuhan. Semua itu memperkaya dinamika forum. Tidak semua peserta bisa menceritakan pengalamannya secara mendalam, tetapi pak Abdi dan bu Wiwin selalu antusias menceritakan pengalaman dan perubahan yang mereka alami pada setiap sesi. Ini di luar dugaan saya. Awal bertemu dengan pasangan ini saya mengira mereka akan sulit menerima materi-materi yang akan dibahas di kelas diskusi. Kenyataannya, mereka cukup aktif dan mau mencoba melakukan hal-hal yang ditawarkan.

           Diskusi dua jam di komunitas hanyalah salah satu cara untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa membangun keluarga tanpa kekerasan bisa diciptakan. Lewat tema-tema diskusi, masyarakat diajak untuk mengubah cara pandang dan menciptakan nilai baru. Pembagian kerja dan komunikasi yang baik dalam keluarga akan meminimalisasi terjadinya kekerasan. Setidaknya itu yang dirasakan oleh pak Abdi dan bu Wiwin. Kini mereka bisa membahas banyak hal terkait perasaan sampai perencanaan keluarga. Anak-anak juga memiliki kedekatan emosional, tidak hanya pada umi tetapi juga pada abi. Mungkin masih terlalu dini untuk mengatakan bahwa pasangan ini telah sukses membangun keluarga tanpa kekerasan, tapi setidaknya mereka mau mengupayakan agar situasi seperti ini bisa terus terjaga selamanya.


[1] longgar waktunya

[2]Besok jika kalian punya anak, saya mau lihat caranya mendidik.”

46419669
Today
This Week
This Month
Last Month
All
8439
93477
271914
306641
46419669