TPPO merupakan kejahatan luar biasa yang harus ditumpas bersama-sama. Siapapun bisa menjadi korban. Lantaran itu, di peringatan Hari Anti Perdagangan Manusia Sedunia, Polri pun menegaskan diri untuk menindak pelaku perdagangan manusia atau human trafficking (Polri, 2022).
Di Indonesia sendiri, terdapat 2 regulasi mengenai TPPO:
- Undang - Undang No. 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia
- Undang- Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pencegahan Tindak Pidana Perdagangan
Adapun kasus perdagangan orang di Indonesia cukup tinggi. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA), pada 2021 terdapat 678 korban TPPO. Melihat maraknya kasus perdagangan orang yang terjadi, maka kita perlu untuk lebih waspada mengingat dampak yang ditimbulkan dari perdagangan orang, khususnya terhadap perempuan dan anak (Kemenpppa, 2022).
Perempuan Korban TPPO
Perempuan dan anak merupakan kelompok yang paling rentan menjadi korban TPPO. Kerentanan perempuan secara sosial, kurangnya informasi mengenai perdagangan orang, hingga kemiskinan menjadikan perempuan dan anak berkali lipat berisiko menjadi korban TPPO. Hal lainnya yaitu tingginya "permintaan" terhadap tenaga kerja perempuan di luar negeri sebagai pengasuh dan pembantu rumah tangga juga menyebabkan perempuan semakin rentan menjadi korban TPPO.
Rifka Annisa dan Penanganan Kasus TPPO
Pendamping dan Konselor Rifka Annisa mencatat bahwa pada tahun 2022 Rifka Annisa telah menyelesaikan pengawalan kasus TPPO sebanyak 2 orang yang telah didampingi selama 2 beberapa tahun.
Rifka Annisa melakukan pendampingan psikologis dan pendampingan hukum untuk memastikan korban dapat mengakses perlindungan hukum, bekerja sama dengan beberapa instansi pemerintah, yakni DP3AP2 DIY, BPRSW Dinas Sosial DIY, Pengadilan Negeri, dan Polda DIY.
Implementasi collaborative governance yang melibatkan banyak stakeholder menjadikan penanganan kasus TPPO yang didampingi oleh Rifka Annisa terasa lebih terstruktur, sebab adanya pembagian peran dan sumber daya yang mendukung pendampingan dapat berjalan lebih efektif dan fokus.
Kendala Penanganan Kasus TPPO yang Dilalui Rifka Annisa
Berikut merupakan kendala yang dialami oleh Rifka Annisa selama menangani kasus TPPO berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu Konselor Hukum Rifka Annisa:
1.Komunikasi Antar Lembaga
Mekanisme collaborative governance dalam penanganan kasus TPPO yang didampingi Rifka Annisa pada awalnya belum memiliki alur komunikasi terpadu dan PIC dari masing-masing lembaga, sehingga menyulitkan konselor psikologis dan hukum dari Rifka Annisa kesulitan untuk mengontrol kondisi klien yang dititipkan di BPRSW. Hal ini sudah diperbaiki dengan menetapkan PIC untuk masing-masing lembaga, sehingga komunikasi lebih terstruktur.
2.Dinamika Psikologis Korban
Kasus TPPO menyebabkan guncangan psikologis yang parah bagi korban. Klien dampingan dari Rifka Annisa sempat mengalami fase depresi, maniac, dan kondisi psikologis lainnya, sehingga pendampingan hukum tidak dapat dijangkau karena perlu rehabilitasi secara mental dengan waktu yang cukup lama.
3.Hanya Penanganan Kasus, Bukan Isu
Penanganan kasus TPPO berbeda dengan isu TPPO. Kasus TPPO berada pada tahapan hilir, sedangkan isu pada tahapan hulu. Saat ini, yang dilakukan oleh Rifka Annisa merupakan penanganan kasus. Pengawalan isu membutuhkan komitmen dan kolaborasi dari banyak lembaga (swasta, negara, masyarakat sipil), sebab isu TPPO meruapakan isu transnasional dan melibatkan jaringan internasional yang terstruktur.
Sumber:
Artikel website KEMENPPPA “Peringati Hari Anti Perdagangan Orang, KEMENPPPA: Perlu Keterlibatan dan Upaya dari Semua Pihak dalam Mewujudkan Indonesia Bebas Perdagangan” (2022)
Wawancara dengan Konselor Hukum Rifka Annisa (2022)