Perselingkuhan: Kekerasan dalam Dimensi Psikis Featured

Written by  Syaima Sabine Fasawwa Wednesday, 21 June 2023 11:01

Terlepas dari perkara benar-salah, mengarak pelaku perselingkuhan merupakan realitas yang berupa kontrol sosial masyarakat terhadap tindak perselingkuhan. Ini juga menunjukkan, perselingkuhan dipandang sebagai penyimpangan hingga pelakunya perlu dihukum.

Di Desa Sumare, Mamuju, Sulawesi Barat, misalnya. Warga setempat menghukum pelaku perselingkuhan dengan membuang mereka ke laut lepas yang disaksikan oleh warga desa dengan sangat ramainya (Pengajar Sosiologi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Bukit Tinggi Silfia Hanani dalam Rifka Media No. 52, 2013)

Hanani menambahkan, di Minangkabau juga berlaku hukum mengisi adat bagi pelaku selingkuh. Mengisi adat merupakan hukuman yang diputuskan dalam musyawarah adat berupa denda yang harus dibayar oleh pelaku selingkuh. 

Sebelum denda dipenuhi, pelaku dan keluarganya dikucilkan hingga terasing dari dinamika sosial kampungnya. Mereka tidak dibawo sato (diikutsertakan) dalam setiap kegiatan sosial masyarakat kampung. Setelah denda itu dicabut, baru mereka menjadi bagian dari masyarakat itu kembali. 

Tidak sulit pun untuk mencerna sebab-musabab tindakan masyarakat dalam menghukum pelaku perselingkuhan tersebut. Pasalnya, masih merujuk pada Hanani, perselingkuhan dimaknai sebagai tindakan yang menentang kesadaran kodrati dan nurani.

Perselingkuhan sendiri merupakan sebuah gerakan seksual atau romantisme bawah tanah yang beraksi dengan cara diam-diam—penuh kerahasiaan yang berarti mencederai pasangan dengan kebohongan.

Maka, tindak perselingkuhan perlu dibayar sepadan dengan “kerugian” yang dirasakan korban melalui hukuman-hukuman yang dijatuhkan masyarakat. Realitasnya, dampak perselingkuhan memang dapat membawa perubahan signifikan bagi diri korban, terkhusus secara kejiwaan.

Perselingkuhan dalam Budaya Patriarki

Meski perselingkuhan bisa menimpa baik perempuan maupun laki-laki, konstruksi gender yang berdiri di atas budaya patriarki memunculkan pandangan yang cenderung menormalisasi laki-laki untuk melakukan perselingkuhan. Sehingga kemudian membuat perempuan lebih rentan menjadi korban. 

Sebagai gambaran, dalam rumah tangga, saat suami berselingkuh, tidak hanya 1-2 orang yang menyatakan bahwa hal itu disebabkan karena perempuan tidak becus menjaga dan melayani suami. Sebagai akibat, suami kemudian memilih mencari perempuan lain untuk memenuhi apa yang tidak bisa diberikan perempuannya. Dari sini, perempuan lah yang harus melakukan introspeksi diri.

Pandangan itu pada gilirannya membuat laki-laki berpikir bahwa selingkuh merupakan hal wajar dan tidak salah untuk dilakukan. Tak perlu khawatir, selalu ada alasan yang bisa dijadikan pembenaran atas tindakannya, bahkan didukung oleh khalayak.

Pada titik tertentu pun, pandangan yang telah berlangsung berabad-abad tersebut, membuat perempuan menyalahkan dirinya sendiri atas perselingkuhan yang dilakukan suami. 

Lebih jauh dari itu, sebagai perempuan, perempuan bahkan lebih banyak menyalahkan perempuan lain yang berselingkuh dengan suaminya, ketimbang si suami sendiri. Padahal, perselingkuhan selalu melibatkan kedua pihak yang saling sadar—bukan karena laki-laki sebagai objek tidak berdaya direbut oleh perempuan lain melalui berbagai rayuan maupun tipu daya.

Sedemikian terinternalisasinya nilai patriarkis yang ada di masyarakat, hal itu tampak misalnya pada pernyataan aktris Inara Rusli, perempuan musisi Virgoun yang melakukan perselingkuhan baru-baru ini.

Selain melontarkan pernyataan negatif dan menyebut perempuan yang berselingkuh dengan suaminya sebagai pelakor (perebot laki orang), Inara bahkan meminta warganet untuk tidak menghujat sang suami meski telah berselingkuh. Inara menegaskan, Virgoun tetap merupakan sosok ayah bagi anak-anaknya.

Adapun kasus demikian tidak hanya terjadi pada Inara dan Virgoun, tetapi merupakan fenomena umum di masyarakat luas.

Posisi lemah perempuan dalam lembaga perkawinan yang mana kebanyakan bersifat patriarkal menyebabkan posisi tawar seorang perempuan cenderung rendah dalam rumah tangga. 

Adapun realitas-realitas tersebutlah yang sekaligus menunjukkan peliknya dinamika psikologis yang kemudian dirasakan korban perselingkuhan. 

Pasalnya, tindak perselingkuhan merupakan kekerasan dalam dimensi psikis.

Apa yang Terjadi Pada Diri Korban Perselingkuhan?

Korban perselingkuhan umumnya merasa tertekan dan tidak aman secara emosional. 

Konselor hubungan Peter Saddington menjelaskan bahwa korban perselingkuhan cenderung menjadi meragukan perasaan diri sendiri—mempertanyakan segala sesuatu yang telah terjadi sebelumnya. Hal tersebut juga dapat disertai dengan rasa marah sekaligus tekad untuk menyelamatkan hubungannya (Millar, 2017).

Korban juga rentan mengalami hyperarousal (kondisi di mana tubuh seseorang menjadi sangat waspada karena memikirkan trauma mereka) dan menjadi reaktif terhadap setiap ancaman yang dirasakan pada diri sendiri. 

Akibatnya, korban bisa mengalami gangguan pola tidur dan makan (Moore, 2021). Termasuk juga  penyalahgunaan zat atau obat-obatan. Situasi ini berkaitan dengan depresi, kecemasan, dan mekanisme koping yang tidak sehat.

Selain itu, secara psikologis, perempuan sebagai korban perselingkuhan umumnya mengalami 5 tahapan untuk memproses hal yang menimpanya.

Adapun setiap diri korban memerlukan jangka waktunya sendiri serta bentuk penyembuhan yang berbeda-beda satu sama lain untuk melewati 5 tahapan tersebut yang menurut Elisabeth Kubler-Ross terdiri dari: tahap penolakan, kemarahan, tawar-menawar, depresi dan tahap penerimaan (Amalia & Wulan, 2013).

Tahap penolakan

Pada tahap penolakan, korban merasa tidak percaya dan terus berusaha menyangkal kenyataan bahwa pasangannya berkhianat, meskipun desas-desus mengenai perselingkuhan deras terdengar. 

Tahap kemarahan

Setelah melewati tahap penolakan, korban akan melalui tahap kemarahan yang diekspresikan dengan kekerasan fisik dan verbal kepada pasangan maupun pihak ketiga. 

Di tahap inilah emosi seorang korban meledak-ledak, seperti menyerang selingkuhan pasangan dan menjadi kehilangan fokus pada penyebab perselingkuhan yang sesungguhnya. 

Kepuasan korban akan tercapai jika berhasil membuat pasangan dan selingkuhannya menderita. Bahkan ada pula korban yang kemudian membalas dendam atas perbuatan suaminya dengan cara berselingkuh juga. 

Tahap tawar-menawar

Ketika kemarahan mereda, korban yang sedang berduka akan memasuki tahap tawar-menawar atau bargaining. Pada tahap ini, perasaan korban yang merasa tidak berguna akan memuncak. 

Akibatnya, justru  korban akan melakukan 'perbaikan' internal seperti merawat diri berlebihan, lebih memberi perhatian kepada pasangan atau menunjukkan ekspresi seksual yang berlebihan.

Tahap depresi

Setelah melalui tahap tawar-menawar yang melelahkan, korban akan memasuki tahap depresi yang menunjukkan gejala berkebalikan dengan tahap sebelumnya. 

Setelah pada tahap sebelumnya cenderung perhatian, pada tahap ini korban akan bersikap tak acuh baik dengan dirinya sendiri, pasangan, bahkan juga anak-anak jika dalam rumah tangga. 

Gejala yang bisa dikenali dari tahap ini adalah kemalasan untuk merawat diri, menurunnya gairah untuk melakukan kegiatan, dan nafsu makan yang berkurang. 

Tahap peneriman

Tahap selanjutnya adalah tahap penerimaan, di mana korban mulai bisa menerima kenyataan yang terjadi dan bisa mendiskusikan permasalahan yang dihadapi tanpa reaksi berlebihan. 

Ketika seorang korban perselingkuhan dapat melalui tahap penerimaan ini, maka proses penyembuhan bisa segera dimulai.

Adapun dalam menghadapi tahapan-tahapan tersebut, korban perselingkuhan membutuhkan jangka waktu yang berbeda-beda. Oleh karenanya, diperlukan strategi untuk menghadapi proses berduka yang terjadi.

Meski konsep kepercayaan, kesetiaan, dan keintiman mungkin tak lagi sama bagi korban perselingkuhan, penting bagi korban untuk tetap fokus pada akar permasalahan yang menimbulkan perselingkuhan pasangan, tanpa harus menyalahkan dirinya sendiri.

Bukan proses yang mudah bagi korban perselingkuhan untuk memaafkan pelaku. Memaafkan sendiri sebagai forgiveness therapy berarti membuang emosi negatif yang selalu muncul dan mencerna masalah perselingkuhan dengan lebih baik. Ini lebih dari memaafkan yang kerap diidentikkan dengan melupakan. 

Untuk mencapai kondisi tersebut pun, korban perselingkuhan membutuhkan ‘perangkat’ yang tak bisa dibilang mudah juga untuk didapat, yakni dukungan orang terdekat dan kegiatan aktualisasi diri, seperti hobi, atau pun pekerjaan.

Kesembuhan yang dicapai bisa dilihat dari bebasnya korban dari rasa trauma dengan hilangnya reaksi emosional maupun fisik (psikosomatis) ketika mengingat perselingkuhan yang telah terjadi.

 

Referensi

Amalia, L. & Wulan, N. A. (2013). Rujuk atau Cerai: Dilemma Perdamaian Pasca Perselingkuhan. Yogyakarta: Rifka Media No. 52

Hanani, S. (2013). Panggung Sandiwara Perselingkuhan. Yogyakarta: Rifka Media No. 52

Moore, M. (2021). Long-Term Psychological Effects of Infidelity. PsychCentral. Diakses dari: https://psychcentral.com/health/long-term-psychological-effects-of-infidelity 

Millar, A. (2017). How an affair affects your sexual and mental health. Patient. Diakses dari: https://patient.info/news-and-features/how-an-affair-affects-your-sexual-and-mental-health 



Read 7266 times Last modified on Friday, 28 July 2023 22:30
46751847
Today
This Week
This Month
Last Month
All
23540
98976
260214
343878
46751847