COVID-19 memberikan banyak pelajaran bagi umat manusia di seluruh dunia, di antaranya pelajaran tentang hakekat kehidupan yang dinamis dan terus berubah. Sebelum pandemi, aspek kehidupan manusia yang dianggap mapan seperti praktik dan tradisi beragama serasa tidak mungkin diubah. Namun, virus corona mengubah cara pandang itu bahwa tradisi beragama sekalipun tidak luput dari proses perubahan. Karenanya, para penganut agama dipaksa untuk beradaptasi dengan mencari dasar-dasar argumentasi bahwa perubahan dalam praktik beragama adalah sebuah keniscayaan. Hanya agama-agama yang mampu beradaptasi dan lentur dengan perubahan akan tetap menjadi anutan umatnya.
Demikian halnya dengan peran-peran sosial laki-laki dan perempuan. Hakekat dari peran gender adalah dinamis, terus berubah dan tidak pernah mencapai wujudnya yang final. Hal itu tidak seperti yang dinormakan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan peran sosial yang tegas. Laki-laki berperan di sektor publik dan produktif sementara perempuan berperan di sektor domestik dan reproduktif. Seperti cara pandang umat manusia terhadap tradisi dan praktik beragama, peran gender pun dipandang sebagai hal yang mapan dan tetap. Seluruh upaya laki-laki dan perempuan yang melintasi batas perbedaan peran sosial itu akan mendapatkan sanksi sosial. Namun, Covid-19 memaksa umat manusia, laki-laki dan perempuan, untuk kembali kepada hakekat peran mereka yang dinamis dan terus berubah.
Covid-19 membukakan mata bahwa citra laki-laki yang dibayangkan serba kuat, superior dan dominan itu tidak realistis. Laki-laki justru terperangkap dalam mitos kelelakian yang semakin membuat mereka rentan dan ringkih. Gaya hidup laki-laki yang bersumber pada norma maskulinitas justru semakin membuat laki-laki berisiko tinggi dalam situasi pandemi. Nilai ‘mengambil risiko’ yang diagungkan laki-laki membuat mereka cenderung tidak memiliki perilaku protektif, seperti enggan menggunakan masker dan malas cuci tangan. Norma homososial di kalangan laki-laki yang diwujudkan dalam perilaku berkelompok dan bergerombol membuat laki-laki mengabaikan jarak fisik aman. Lalu, perilaku mencari pertolongan yang rendah membuat laki-laki mengabaikan gejala-gejala sakit yang membuat mereka terlambat mendapatkan pertolongan. Kebijakan bekerja dari rumah dan isolasi sosial juga membuat laki-laki gagap karena rumah dianggap bukan basis eksistensinya sebagai laki-laki, mereka seharusnya di kantor. Terisolasi di dalam rumah menjadi tekanan yang luar biasa dan ketika laki-laki gagal mengelola tekanan ini akan memicu ketegangan dan konflik dengan pasangan, anak atau siapapun yang berada di dalam rumah yang menciptakan risiko terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.
Konsekuensi-konsekuensi yang harus ditanggung laki-laki tersebut akan terjadi jika laki-laki mengingkari hakekat kehidupan yang dinamis dan terus berubah, termasuk hakekat peran-peran sosial laki-laki dan perempuan. Oleh sebab itu, laki-laki hanya memiliki pilihan untuk kembali dinamis dan terbuka terhadap segala perubahan. Dengan begitu, akan membuat laki-laki menjadi lentur dan fleksibel terhadap perubahan yang terjadi, termasuk perubahan-perubahan yang disebabkan oleh masalah alam maupun non alam, seperti pandemi Covid-19. Lebih-lebih ketika ilmu pengetahuan memperkirakan bahwa pandemi atau masalah-masalah kesehatan akan menjadi masa depan umat manusia.
Lalu, bagaimana untuk dapat menjadi laki-laki adaptif? Setidaknya ada tiga hal, pertama, laki-laki harus memiliki pandangan yang terbuka terkait dengan norma-norma maskulinitas. Citra ideal laki-laki hendaknya dilihat secara kritis. Citra maskulinitas yang ada hanya membatasi laki-laki untuk mewujudkan potensi maksimalnya sebagai manusia. Oleh sebab itu, laki-laki harus dapat keluar dari citra itu dan membebaskan diri untuk menjadi laki-laki yang mereka inginkan, termasuk kesiapan untuk berubah ketika situasi mengharuskan mereka untuk berubah.
Kedua, laki-laki harus memiliki kecakapan personal dan relasional. Kecakapan-kecakapan personal diperlukan untuk memungkinkan laki-laki dapat mengelola diri secara sehat ketika terjadi tekanan-tekanan sebagai konsekuensi dari perubahan-perubahan yang terjadi di luar diri laki-laki, seperti ketika terjadi wabah Covid-19 yang mengubah seluruh tatanan kehidupan manusia. Sementara, kecakapan relasional akan memungkinkan laki-laki memiliki kemampuan untuk menyelesaikan konflik dan perbedaan dengan orang lain, seperti dengan pasangan, anak atau orang lain secara positif dan non kekerasan.
Ketiga, laki-laki harus lebih terbuka dan fleksibel dengan peran-peran gender mereka. Pandangan terkait dengan pembagian peran sosial berdasarkan jenis kelamin hendaknya ditinggalkan laki-laki karena akan menghalangi laki-laki untuk dapat beradaptasi dengan setiap perubahan. Dengan mempraktikkan peran-peran yang lebih fleksibel dan beragam akan meningkatkan kemampuan laki-laki untuk bertahan hidup dalam situasi sosial yang dinamis dan berubah cepat. Wallahu’alam.
Nur Hasyim
Anggota Dewan Pengawas Yayasan Rifka Annisa Sakina