Dianggap bersalah, ditolak oleh lingkungan, merasa tidak berhak menikmati hidup yang lebih baik, dan seterusnya. Siapa yang salah bila perempuan korban pemerkosaan memutuskan terjun ke dunia prostitusi?
Kasus:
Rifka Annisa, lama sekali aku merenung sebelum akhirnya memutuskan untuk menulis surat ini. Peristiwa ini kualami tiga tahun lalu saat aku berusia 15 tahun, saat itu aku duduk di kelas satu SMA. Kata teman-teman aku anak yang cerdas, aku juga senang bergaul dan termasuk supel. Makanya aku punya banyak teman termasuk teman-teman yang suka nge-drug, tapi bukan berarti aku pengguna. Suatu saat aku mengantar sahabatku A menemui Dio, teman laki-lakiku, karena A sedang butuh ganja dan Dio memang dikenal punya stok untuk dijual. Dio mengajakku dan A ke tempat kosnya karena barang itu ada di sana. Setelah dapat barang yang dibutuhkan, A segera pulang, tapi Dio menahanku untuk mengobrol dulu sambil minum-minum. Dio memberiku pil dan memaksaku meminumnya, aku pun menelannya tanpa curiga. Setelah itu aku berada dalam kondisi bingung, meskipun agak samar. Aku tahu apa yang terjadi padaku, tetapi aku tak kuasa mengatasi. Selama dua hari kondisi tersebut kualami, aku dibawa pergi ke beberapa tempat oleh Dio dan kedua teman kosnya dan selama itu pula aku dipaksa untuk minum pil itu lagi. Yang lebih menyakitkan aku dipaksa melakukan hubungan seks. Aku dilepas di suatu tempat setelah hari ketiga, dan disuruh pulang sendiri. Sampai di rumah aku dimarahi Bapak, lalu aku cerita apa adanya. Bapak marah besar dan memutuskan untuk lapor ke polisi. Memang Dio dan teman-temannya sempat ditangkap polisi, tapi kasusku tidak dapat dibawa ke pengadilan karena katanya tidak cukup bukti. Rifka Annisa, aku tidak bisa cerita lengkap bagaimana penderitaan yang kualami. Pokoknya aku kehilangan segalanya, keluarga dan lingkunganku menyalahkanku, aku merasa ditolak di mana-mana. Pendek kata, orangtuaku tak lagi percaya kepadaku makanya aku dipindahkan ke sekolah berasrama di kota lain setelah peristiwa itu. Namun, di sana aku cuma bertahan tiga bulan. Aku memutuskan untuk tinggal bersama teman-teman lain yang mungkin sama keadaannya denganku, aku tinggal di rumah seorang ibu yang oleh orang-orang sering disebut sebagai germo. Jadi, Rifka Annisa dapat menyimpulkan sendiri apa pekerjaanku saat ini. Karena aku sudah rusak, jadi sekalian saja kan? Aku masih muda dan cukup cantik karenanya aku cukup mudah untuk mendapatkan uang dan bersenang-senang. Terus terang setelah membaca rubrik ini aku jadi sering merenungi hidupku, apakah masih ada masa depan untuk orang-orang sepertiku ini? Banyak sekali teman kerjaku yang memiliki pengalaman menyakitkan seperti aku. Menurut pengalaman Rifka Annisa apakah korban pemerkosaan selalu menjadi seperti aku? Atau aku yang tidak normal? Kalau kasusku tidak layak untuk dimuat, ya, anggap saja ini sebuah curhat dan lupakan saja, aku tidak sakit hati. Terima kasih atas perhatiannya.
(Nona di B)
Jawaban:
Terima kasih atas kepercayaanmu kepada kami sehingga kamu berani mengungkapkan pengalaman pahitmu.
Perlakuan kawanmu, Dio, tanggapan orangtua yang kurang simpatik atas penderitaanmu, lalu tanggapan aparat atas pelaporan kasusmu, semua itu merupakan cerminan dari masyarakat yang kurang berpihak pada nasib perempuan. Dengan caranya masing-masing, orang-orang di sekitarmu yang sesungguhnya kamu harapkan bisa menjadi pelindung ternyata justru gagal memberimu rasa aman.
Keputusanmu menjalani hidup sebagaimana sekarang ini memang bukan sebuah pilihan yang tanpa alasan. Dalam wacana perempuan dikenal secara luas tentang berbagai bentuk akibat pemerkosaan.
Salah satu akibat jangka panjang pemerkosaan adalah negative health behavior atau gaya hidup tidak sehat seperti misalnya merokok, alkoholik, perilaku seks yang tidak aman (misalnya prostitusi dan berganti-ganti pasangan intim), dan makan secara berlebihan.
Gaya hidup yang tidak sehat itu merupakan perwujudan dari pengatasan masalah seseorang atas persoalan yang menimpanya. Malu, terhina, merasa kotor, dan sebagainya, merupakan indikasi akan penurunan harga diri. Dengan keadaan emosi yang seperti itu, seharusnya ada tindakan tertentu yang menopang, mengangkat kembali, dan mengawal untuk sementara waktu, agar harga diri terbangun kembali.
Apabila tindakan konstruktif itu tidak muncul, atau setidaknya kurang memadai, perasaan tersebut lambat laun akan mempengaruhi pola pikir korban pemerkosaan dan merusak, yaitu mengantarkan perempuan pada keadaan apatis. Artinya, tidak ada lagi masa depan, tidak ada harapan lagi untuk sebuah keceriaan, kegemilangan.
Nona, barangkali uraian di atas merupakan jawaban atas kecamuk yang ada dalam dirimu selama ini. Anda sama sekali tidak sendirian karena banyak perempuan lain yang mengalami situasi semacam itu, yaitu menjerumuskan diri dalam gaya hidup yang tidak sehat karena mengalami kekerasan seksual pada masa lalu.
Mengenai masa depan, masa depan adalah masa yang yang belum datang kepada kita karena kita hidup pada masa sekarang. Tiap orang tentu memiliki masa depan dan itu terkemas dalam apa yang kita sebut sebagai "harapan". Masa depan bukan ditentukan masa lalu kita, tetapi oleh bagaimana kita sekarang.
Masa lalu merupakan wahana belajar kita pada masa sekarang untuk menuju ke masa depan. Jadi, intinya adalah bagaimana kita sekarang ini hidup dan mengolah masa lalu menjadi pedoman, panduan, rambu-rambu dan sekaligus semangat meraih hidup yang cerah ke depan.
Nona, tentu kami bisa memahami penderitaanmu pada masa lalu itu, tetapi percayalah sesungguhnya keadaanmu saat ini merupakan kumpulan dari perasaan dan pikiran "tidak berdaya" yang terus-menerus terpupuk dalam dirimu karena memang orang-orang di sekitarmu setelah kejadian itu tidak memberimu kesempatan membangun kembali harga dirimu yang dirusak kawan laki-lakimu itu.
Kalau kamu tanyakan apakah masih ada masa depan untukmu, maka rajutlah masa depanmu mulai dari sekarang dengan menetapkan pilihan sekali lagi jalan mana yang akan kamu ambil. Tetap di jalan yang sekarang ini dengan segala yang kamu sebut sebagai "kesenangan"-tetapi jangan lupa, pertimbangkan risiko yang kamu hadapi dengan menjalani gaya hidup ini-atau memutuskan mengambil jalan kehidupan yang lain, gaya hidup yang lain, yang merupakan hasil belajarmu sebagai orang yang berdaya merajut masa depan gemilang. Kami percaya kepadamu, pada kekuatanmu meraih masa depan yang gemilang! *
Kompas, Rabu 24 September 2003