Cegah Pernikahan Usia Anak, Wujudkan Generasi Berkualitas

Written by  Niken Anggrek Wulan Sabtu, 04 Juli 2015 08:46

Kasus pernikahan usia anak kembali ramai dibicarakan oleh media massa, terutama setelah terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak peninjauan kembali terhadap UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, mengenai usia perkawinan anak perempuan.

Berbagai penelitian dan pengalaman menunjukkan, ada banyak dampak negatif dari perkawinan usia anak. Banyak pihak pula yang sudah menyadari pentingnya pencegahan pernikahan usia anak. Tetapi, dalam kenyataannya, masih banyak terjadi pernikahan usia anak yang terutama merugikan anak perempuan.

UNICEF pada 2014 mencatat, saat ini lebih dari 700 juta perempuan di dunia menikah sebelum mereka menginjak usia 18 tahun. Lebih dari sepertiganya atau sekitar 250 juta anak menikah sebelum usia 15 tahun. Di Daerah Istimewa Yogyakarta, Badan Peradilan Agama (Badilag) mencatat, jumlah permohonan dispensasi (ijin kawin) bagi pernikahan di bawah umur yang dikabulkan sejumlah 508, sebanyak 95% dikabulkan oleh hakim. Dari berbagai fenomena tersebut, dalam siaran di RRI Pro 1 Jogja pada 23 Juni 2015 lalu, Rifka Annisa mengetengahkan isu pencegahan pernikahan usia anak.

Dampak pernikahan usia anak sangatlah merugikan bagi anak, terlebih bagi anak perempuan. Generasi yang dilahirkan dari pernikahan usia anak juga rentan, karena orangtua yang berusia anak umumnya belum siap secara fisik, psikis, ekonomi, dan sosial. Beberapa dampak yang diakibatkan oleh pernikahan usia anak adalah 1) rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga dan perceraian 2) Terputusnya pendidikan, sehingga memperkecil kemungkinan anak mendapatkan pekerjaan yang layak dan terjebak dalam rantai kemiskinan 3) Berbagai risiko medis pada perempuan, seperti pendarahan, anak lahir dengan berat badan lahir rendah, bahkan kematian ibu dan bayi.

Pernikahan usia anak dipicu beberapa hal, yakni ketimpangan gender yang mengakibatkan anak perempuan rentan mengalami pernikahan usia anak, faktor ekonomi, serta faktor budaya. Fitri Indra Harjanti, selaku staf Divisi Penelitian dan Pelatihan Rifka Annisa WCC mengungkapkan pengalamannya di komunitas. “Salah satu faktor yang turut mendorong terjadinya pernikahan usia anak adalah anak sudah mengalami kehamilan tidak direncanakan. Selain itu, di komunitas ada anggapan bahwa pernikahan usia anak dapat meringankan keadaan ekonomi. Tapi apakah memang benar seperti itu?” jelas Fitri dalam siarannya.

Pada kenyataannya, pernikahan usia anak umumnya menyebabkan terputusnya akses pendidikan sehingga anak tidak dapat meraih kesempatan kerja yang layak. Ketika terjadi perceraian, anak justru kembali pada orangtuanya dengan membawa anak dari pernikahannya. Akibatnya, beban orangtua semakin bertambah. Haryo Widodo, pembicara lain yang juga konselor laki-laki mengungkapkan, dari faktor psikologis anak umumnya juga belum siap apabila memasuki gerbang pernikahan. Sehingga sulit kemudian apabila dari sebuah pernikahan usia anak diharapkan dapat melahirkan generasi yang benar-benar berkualitas. Perlu dukungan semua pihak untuk mencegahnya bersama-sama.[]

Read 2289 times
44185174
Today
This Week
This Month
Last Month
All
10093
21325
249295
276576
44185174