Kasus Berproses Hukum Tahun 2024 Meningkat
Pengalaman pendampingan hukum Rifka Annisa sepanjang 2024 mendapati 53 kasus berproses hukum dari total 141 kasus kekerasan berbasis gender. Dari jumlah tersebut, 21 kasus (40%) merupakan kategori perdata, sementara 32 kasus (60%) merupakan pidana. Dibandingkan dengan tahun 2023, terjadi peningkatan 13% dalam jumlah kasus yang berproses hukum, yaitu dari 46 menjadi 53 kasus.
Kasus pidana mencakup kekerasan terhadap istri (KTI) atau disebut juga kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pelecehan seksual, perkosaan, penganiayaan, kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE), dan pelanggaran pidana lainnya. Sementara itu, kasus perdata meliputi cerai gugat, cerai talak, dan permasalahan hukum lainnya.
Pada kasus KTI/KDRT, tidak dapat dipastikan secara langsung penyebab peningkatannya. Namun, pengalaman pendampingan menunjukkan, jalur hukum diambil setelah berbagai upaya mediasi dan musyawarah dicoba, tetapi tidak membuahkan hasil. Baik perdamaian atau proses rujuk.
Selanjutnya, pada kasus kekerasan seksual, yaitu pelecehan seksual dan perkosaan, banyak korban yang masih berusia anak. Sehingga, langkah hukum menjadi pertimbangan utama demi pewujudan perlindungan anak dan pemenuhan rasa keadilan bagi mereka.
Kekerasan Seksual: Tertinggi dalam Proses Hukum Pidana
Dari 32 kasus pidana yang didampingi, lebih dari separuhnya (24 kasus) merupakan kasus kekerasan seksual—dengan rincian 17 kasus pelecehan seksual dan 7 kasus perkosaan. Kemudian, kasus lainnya terdiri dari 3 kasus KTI/KDRT, 2 penganiayaan, 2 kasus KSBE, dan 1 kasus pidana lainnya. Angka ini menunjukkan bahwa kekerasan seksual masih menjadi bentuk kekerasan berbasis gender yang paling dominan.
Dari pengalaman pendampingan, banyak kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pendidikan dengan korban lebih dari satu orang dalam satu kasus. Contohnya, kasus pelecehan terhadap 11 anak oleh seorang pelaku dewasa di Sleman, serta kasus serupa yang melibatkan lima anak dan seorang guru di wilayah Yogyakarta. Kedua kasus ini menempuh jalur hukum setelah korban berani melaporkan ke polisi, didampingi Rifka Annisa.
Baca juga: Apa yang Harus Dilakukan Saat Mengetahui Kasus Kekerasan Seksual?
Sementara itu, meski pengaduan KTI/KDRT cukup tinggi (74 kasus pada 2024), hanya sedikit yang berujung laporan hukum. Keputusan melaporkan pasangan ke polisi kerap menjadi dilema bagi korban. Ini karena faktor ketergantungan ekonomi, ancaman lanjutan dari pelaku, serta tekanan sosial yang dialami. Dalam 3 kasus KTI/KDRT yang diproses hukum, para korban melaporkan pasangan mereka karena keselamatan menjadi prioritas utama. Laporan ke polisi menjadi langkah awal untuk memperkuat gugatan cerai, serta upaya mencegah intimidasi lebih lanjut dari pelaku. Dalam sudut pandang korban, pelaku tidak akan mudah melakukan intimidasi karena nama pelaku sudah masuk sebagai terlapor di kepolisian.
Dalam hal ini, tampak keputusan korban untuk melapor tidak hanya bergantung pada keberanian semata. Tetapi, juga kesiapan dalam berbagai aspek, termasuk ekonomi, sosial, dan psikologis. Kemudian, didapati juga bahwa korban berhasil melaporkan pasangannya ke ranah hukum setelah korban merancang strategi pemberdayaan ekonomi, menyiapkan penjelasan bagi anak-anak mereka, dan mengonsolidasikan dukungan sosial. Ini menunjukkan bahwa perceraian bukan sekadar pilihan emosional, tetapi keputusan rasional yang diambil dengan penuh pertimbangan.
Perceraian: Jalan Terakhir bagi Korban
Dalam ranah perdata, Rifka Annisa mendampingi 21 kasus perceraian, dengan 17 di antaranya merupakan cerai gugat dan 4 cerai talak. Peningkatan jumlah perceraian ini cukup signifikan—hampir tiga kali lipat—dibandingkan tahun sebelumnya, yang hanya terdapat 8 kasus perceraian.
Selain itu, sesuai dengan ketentuan hukum dalam ranah perceraian, cerai gugat adalah gugatan cerai yang diajukan oleh istri (bagi yang beragama Islam) ke pengadilan sesuai dengan wilayah hukum tempat tinggal istri. Sementara bagi pemeluk agama lain, cerai gugat dapat diajukan oleh suami atau istri terhadap pasangannya di pengadilan yang sesuai dengan domisili tergugat. Sedangkan, cerai talak khusus bagi suami yang ingin menceraikan istrinya, dengan permohonan yang harus diajukan ke pengadilan agama di wilayah tempat tinggal istri.
Sebagaimana dalam kasus KDRT yang dilaporkan ke polisi, keputusan untuk mengajukan perceraian bukan hal mudah. Banyak korban telah memberikan kesempatan kepada pasangan untuk berubah, tetapi ketika batas toleransi terlampaui—misalnya dalam kasus perselingkuhan atau kekerasan yang terus berulang—perceraian menjadi pilihan terakhir yang harus ditempuh. Pertimbangan lainnya yang cukup menarik adalah nilai yang diyakini oleh korban bahwa takdir untuk hidup berumah tangga dengan pelaku terbatas; tidak sampai seumur hidup. Jadi, korban merasa percaya diri untuk mempersiapkan diri menjalani kehidupan setelah lepas dari ikatan perkawinan dengan pelaku.
Kasus cerai talak terjadi hampir setiap tahun, yang berarti selalu ada istri yang digugat cerai oleh suaminya dengan berbagai alasan. Berdasarkan pengalaman pendampingan, ada dua kemungkinan dalam kasus ini: pertama, perceraian memang disepakati bersama, tetapi gugatan diajukan oleh suami; kedua, suami secara sepihak mengajukan gugatan cerai tanpa sepengetahuan istri, dengan isi gugatan yang menyalahkan istri.
Dalam kasus di mana perceraian disepakati dan istri menjadi pihak tergugat/termohon, salah satu alasan memilih jalur ini adalah agar istri tetap berhak mengajukan tuntutan nafkah iddah dan nafkah mut’ah dalam jawaban gugatan. Sebab, jika istri yang menggugat cerai, ia tidak berhak mengajukan tuntutan tersebut.
Sleman: Wilayah Tertinggi untuk Proses Hukum
Pada 2024, Rifka Annisa mencatat bahwa Kabupaten Sleman menjadi wilayah dengan jumlah kasus tertinggi, yaitu 19 kasus. Selain Sleman, Kota Yogyakarta juga memiliki angka kasus yang cukup tinggi dalam pendampingan hukum oleh Rifka Annisa.
Tingginya jumlah kasus berproses hukum di Sleman dan Kota Yogyakarta terutama dipengaruhi oleh faktor lokasi. Kantor Rifka Annisa yang berada di Kota Yogyakarta berbatasan langsung dengan Kabupaten Sleman, sehingga memudahkan akses bagi masyarakat di kedua wilayah tersebut. Selain itu, banyak instansi seperti rumah sakit, puskesmas, kantor polisi, serta komunitas di Sleman dan Yogyakarta yang kerap merujuk kasus ke Rifka Annisa.
Di samping faktor jarak dan aksesibilitas, jumlah penduduk yang tinggi serta keberadaan banyak perguruan tinggi, perusahaan, dan kantor pemerintahan di Sleman dan Yogyakarta turut berkontribusi pada tingginya jumlah kasus yang masuk. Berbeda dengan wilayah seperti Gunungkidul dan Kulon Progo, yang secara geografis lebih jauh dari kantor Rifka Annisa. Penduduk di kedua wilayah tersebut cenderung lebih mudah mengakses layanan dari lembaga setempat, seperti UPTD PPA Kulon Progo, UPTD PPA Gunungkidul, atau lembaga bantuan hukum yang berada di wilayah mereka.
Sejalan dengan prinsip mendekatkan akses layanan bagi korban, pendampingan Rifka Annisa juga memprioritaskan rujukan ke lembaga terdekat jika jarak ke Rifka Annisa lebih jauh dibanding lembaga lain yang berada dalam wilayah korban. Oleh karena itu, data yang dihimpun menunjukkan lebih banyak kasus dari wilayah yang dekat dengan kantor Rifka Annisa dibanding daerah yang lebih jauh, karena adanya mekanisme rujukan tersebut.
Proses Hukum yang Panjang: Dua Kasus Mencapai Tahap Banding
Bagi korban, menempuh jalur meja hijau bukan proses yang mudah, meskipun Rifka Annisa terus memberikan pendampingan hukum berkelanjutan. Dari 53 kasus yang berproses hukum, 41 kasus masih dalam tahap penyelesaian. Sementara itu, 9 kasus lainnya telah berkekuatan hukum tetap (inkrah), 2 kasus berlanjut ke tahap banding, dan 1 kasus dihentikan karena pencabutan laporan.
Adapun dua kasus banding meliputi satu kasus pelecehan seksual dan satu kasus cerai gugat. Banding diajukan karena salah satu pihak merasa tidak puas dengan putusan pengadilan tingkat pertama. Dalam kasus pelecehan seksual, banding diajukan karena putusan lebih rendah dari tuntutan jaksa. Sehingga, baik jaksa maupun penasihat hukum terdakwa mengajukan banding. Proses ini sendiri bisa memakan waktu hingga 3–6 bulan. Dalam kasus cerai gugat, korban mengajukan banding karena gugatan cerainya ditolak akibat kurangnya bukti dalam persidangan. Proses hukum yang panjang demi mencapai rasa keadilan tergambar dari kedua peristiwa tersebut.
Maka, bukan hal mudah untuk bisa meyakinkan korban agar mau menyelesaikan melalui jalur hukum. Sebaliknya, ada pula kasus berakhir dengan penghentian penyelidikan, seperti satu kasus penganiayaan. Korban awalnya melaporkan mantan suaminya ke polisi atas tuduhan penganiayaan, tetapi kasus ini berakhir damai. Korban memilih mencabut laporan setelah mantan suami berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya. Ini dilakukan dengan alasan kasihan terhadap mantan suami dan anak-anak mereka.
Perjalanan jalur hukum penuh tantangan. Tidak hanya karena prosesnya yang panjang, tetapi juga karena kurangnya dukungan memadai. Banyak korban mengakses Rifka Annisa pada 2023 atau sebelumnya, namun baru memutuskan berproses hukum pada 2024. Tidak semua korban yang datang pada tahun tertentu langsung melanjutkan ke proses hukum. Keseluruhan data ini menunjukkan bahwasanya meskipun jalur hukum tersedia, tidak semua korban memilih atau mampu menempuhnya. Dukungan yang kuat dari berbagai pihak menjadi faktor penting dalam memastikan korban dapat menjalani proses hukum dengan lebih baik.
Proses Hukum Mendukung Pemulihan Korban
Keberhasilan pendampingan tidak bisa diukur hanya dari apakah kasus berujung pada putusan berkekuatan hukum tetap. Keputusan untuk menempuh jalur hukum sepenuhnya berada di tangan korban, bukan pendamping. Peran pendamping adalah memberikan informasi, pengetahuan, serta membuka peluang hukum yang bisa ditempuh korban sesuai dengan kasusnya.
Proses hukum berfungsi sebagai pendukung pemulihan korban, terutama dalam memastikan pelaku menerima konsekuensi atas perbuatannya. Melalui proses ini, dapat ditentukan siapa korban dan pelaku berdasarkan bukti, fakta persidangan, serta pemeriksaan yang sesuai prosedur. Putusan hakim pun dibuat berdasarkan aturan hukum yang berlaku.
Dukungan bagi korban tidak hanya berhenti pada pendampingan hukum, tetapi juga harus mencakup penguatan psikososial dan ekonomi. Peningkatan jumlah kasus yang berproses hukum menunjukkan bahwa semakin banyak korban yang berani memperjuangkan keadilan. Namun, angka yang relatif kecil dalam kasus KTI/KDRT menegaskan bahwa masih banyak hambatan yang dihadapi korban dalam mengakses keadilan. Faktor ekonomi, tekanan sosial, hingga minimnya perlindungan hukum yang efektif masih menjadi tantangan besar.
Negara, lembaga hukum, serta masyarakat perlu bekerja sama dalam menciptakan sistem hukum yang lebih ramah korban. Di mana keadilan bukan hanya sesuatu yang harus diperjuangkan dengan susah payah. Melainkan menjadi hak yang benar-benar dapat diakses oleh semua orang yang mengalaminya. Meskipun jalannya panjang dan penuh tantangan, proses hukum tetap memberikan peluang bagi korban untuk mendapatkan keadilan.
Penulis: Arnita Ernauli Marbun
Editor: Syaima Sabine Fasawwa
Tulisan ini merupakan bagian dari Wajah Kekerasan 2024, yaitu laporan refleksi pengalaman pendampingan kasus kekerasan berbasis gender Rifka Annisa Women’s Crisis Center.