Teknologi, Tubuh, dan Kekerasan: Memaknai Kembali Ruang Digital
Ruang digital menjanjikan kebebasan, konektivitas, dan efisiensi. Namun, bagi banyak perempuan, ruang ini justru menjadi medan baru bagi bentuk-bentuk kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE) yang semakin beragam. Sepanjang 2024, Rifka Annisa mencatat transformasi kompleksitas KSBE tersebut yang bersembunyi di balik algoritma, anonimitas, dan kecerdasan buatan (AI). Di balik kenyamanan yang diciptakan oleh teknologi, ada ketakutan, kekhawatiran, dan ketidakamanan yang menghantui tubuh digital kita.
Melalui refleksi kasus-kasus yang ditangani selama satu tahun terakhir, terlihat jelas bahwa kekerasan seksual tidak lagi mengenal batas ruang dan waktu. Wawancara dengan konselor Rifka Annisa menunjukkan bahwa kekerasan di ruang digital melalui Instagram dan X—atau sebelumnya Twitter—masih menjadi pintu masuk utama kekerasan digital, diikuti oleh obrolan intens melalui WhatsApp. Dari komunikasi ringan, lalu berubah menjadi manipulasi emosional, bujuk rayu, iming-iming pulsa atau uang saku, hingga pertemuan fisik yang mengarah pada kekerasan seksual. Dalam banyak kasus, pertemuan yang awalnya dianggap sukarela justru berakhir dengan pemaksaan, ancaman, bahkan penyekapan.
Ironisnya, ketika korban berusaha menempuh jalur hukum, tantangan yang dihadapi tak kalah besar. Pelaku kerap kali beroperasi secara anonim, pseudonim, memalsukan identitas, dan bahkan menggunakan teknologi kecerdasan buatan untuk menyamarkan wajah atau menciptakan konten palsu. Dalam satu kasus, seorang korban menyadari bahwa wajahnya telah ditempelkan ke tubuh orang lain dalam video yang diedarkan. Ini merupakan hasil dari rekayasa digital yang canggih.
Teknologi dan Keberpihakan pada Korban
Di sisi lain, minimnya alat bukti membuat banyak laporan tidak dapat ditindaklanjuti. Sering kali, korban hanya memiliki satu ponsel. Namun, mereka diminta menyerahkan perangkat itu sebagai barang bukti. Padahal, itu satu-satunya alat komunikasi mereka. Tak ada sistem pendampingan digital yang memadai. Belum lagi, banyak korban akhirnya memilih jalur damai sebagai pilihan terakhir karena tidak tahan dengan proses hukum yang melelahkan dan kerap kali tak berpihak. Tahun 2024 mencatat bahwa tidak satu pun kasus KBGO yang berhasil diproses hingga vonis inkrah. Hal ini bukan karena kasus-kasus tersebut ringan atau sepele, melainkan karena sistem belum mampu merespons kompleksitas yang dihadirkan oleh kekerasan digital.
Yang membuat semakin mengkhawatirkan, kekerasan di ruang digital yang melibatkan pelaku dari luar negeri, menandakan bahwa kejahatan digital kini sudah lintas negara. Salah satu kasus bahkan sempat ditangani oleh unit siber Polda DIY sebelum akhirnya korban mengurungkan niat melanjutkan proses hukum karena tekanan dan beban psikologis yang berat. Bahkan, ada kasus pelaku yang datang dari tempat tak terduga, yaitu lembaga pemasyarakatan. Pelaku melakukan kejahatan dari balik jeruji dengan memanfaatkan akses terhadap telepon genggam. Ini membuktikan lemahnya pengawasan sistemik dalam menghadapi kejahatan digital.
Pertanyaan besar yang muncul kemudian adalah siapa yang bertanggung jawab atas semua ini? Dalam ruang digital yang tanpa batas, akuntabilitas menjadi kabur. Ketika konten penyiksaan seksual tersebar di media sosial, apakah yang bersalah hanya pelaku? Bagaimana dengan platform yang gagal menyediakan sistem pelaporan yang efektif, atau yang membiarkan konten kekerasan beredar selama berhari-hari sebelum akhirnya diturunkan?
Dalam banyak kasus, algoritma justru mendorong visibilitas konten kekerasan karena dianggap lebih “engaging” dan menarik klik. Hal ini menunjukkan bahwa kekerasan digital bukan sekadar efek sampin. Melainkan bagian dari struktur sistemik yang membentuk dan mempertahankan perhatian publik, dengan mengorbankan tubuh dan martabat perempuan.
Ruang Digital dan Kekosongan Hukum Pengaturan Teknologi AI
Sayangnya, situasi darurat ini belum diiringi dengan komitmen global yang serius untuk merespons perkembangan teknologi informasi yang melesat jauh lebih cepat dari kebijakan dan regulasi. Dunia seperti tertinggal dalam upaya merumuskan etika dan sistem perlindungan di tengah disrupsi digital. Negara-negara bergerak sendiri-sendiri dengan pendekatan hukum yang sering kali kedaluwarsa. Tak mampu menjangkau teknologi baru seperti AI, deepfake, dan jaringan terenkripsi.
Di masa depan, kekerasan tidak lagi membutuhkan tubuh fisik. Dalam metaverse, pelaku bisa “menyentuh” atau memanipulasi avatar korban dengan dalih permainan. Teknologi deepfake memungkinkan penciptaan narasi kekerasan seksual yang tidak pernah terjadi secara fisik, tetapi meninggalkan luka psikologis nyata. Teknologi memungkinkan seseorang “mengalami” kekerasan seksual secara virtual, dan itu pun bisa direkam, disebarkan, atau dijadikan alat eksploitasi. Dalam konteks ini, kita ditantang untuk merumuskan ulang apa itu kekerasan, pelanggaran, dan pemulihan dalam bentuk-bentuk baru yang belum pernah kita kenal sebelumnya.
Baca juga: Pengalaman Perempuan di Ruang Digital
Yang juga harus disoroti adalah beban pemulihan korban yang luar biasa berat. Dari kebutuhan konseling psikologis, dukungan medis, hingga proses administratif seperti akta kelahiran untuk anak yang dilahirkan oleh perempuan korban kekerasan, semuanya masih bergantung pada jaringan pendamping dan inisiatif lokal. Negara belum hadir secara menyeluruh. Ketika pelaku tidak ditemukan atau proses hukum kandas, maka pemulihan menjadi satu-satunya jalan. Tapi jalan ini pun masih diliputi banyak tantangan: layanan psikologis yang terbatas, stigma sosial, dan trauma yang berkepanjangan.
Masa depan kekerasan digital bukan hanya soal teknologi. Ia juga menyangkut ketimpangan akses dan pengetahuan. Mereka yang tak dibekali literasi digital akan lebih mudah dieksploitasi, dan justru semakin jauh dari perlindungan hukum yang berpijak pada bukti digital. Tanpa kebijakan inklusif, teknologi justru memperluas jurang ketidakadilan.
Masa Depan Ruang Digital dan Tantangan Keadilan Gender
Catatan ini bukan hanya rekaman dari kekerasan yang terjadi, tetapi juga seruan untuk masa depan. Kita sedang menghadapi bentuk-bentuk kekerasan baru yang belum pernah ada sebelumnya dalam sejarah. Teknologi adalah pisau bermata dua—ia bisa membebaskan, tapi juga bisa menjerat. Kita membutuhkan kerja lintas sektor, regulasi yang berpihak pada korban, pendidikan digital yang inklusif, teknologi yang beretika, serta sistem pendampingan yang adaptif terhadap zaman. Di titik ini, kita butuh lebih dari sekadar regulasi—kita perlu membayangkan sebuah internet yang feminis.
White Paper on Feminist Internet Research tahun 2022 menawarkan internet sebagai sebuah kerangka berpikir dan gerakan politik yang memperjuangkan ruang digital yang adil, aman, dan memberdayakan bagi semua orang. Terutama perempuan dan kelompok terpinggirkan, dengan prinsip-prinsip kesetaraan gender, kebebasan berekspresi, dan kontrol atas teknologi. Internet feminis juga tidak hanya menuntut kesetaraan akses terhadap teknologi. Tetapi juga memperjuangkan kontrol atas representasi diri, keamanan digital, kritik terhadap algoritma yang bias gender, dan pembangunan teknologi yang membebaskan, bukan menindas.
Kekerasan seksual di era kecerdasan buatan bukanlah keniscayaan yang harus diterima begitu saja. Ia adalah konsekuensi dari ketidaksiapan kita sebagai masyarakat global dalam menghadapi kemajuan teknologi informasi yang terlalu cepat. Kasus-kasus KSBE mengajarkan bahwa keadilan di era digital tidak bisa ditawar. Setiap angka dalam laporan ini adalah nyawa, setiap statistik adalah jeritan yang tengah mencari keadilan.
Jika hari ini kita membiarkan korban berjuang sendiri, esok, ruang digital akan menjadi medan perang yang semakin kejam. Tapi jika kita bergerak bersama—memperkuat regulasi, mendesak akuntabilitas platform, mendorong etika teknologi, dan mendengar suara korban—maka suatu hari nanti, teknologi benar-benar bisa menjadi alat dalam perjuangan, bukan pemantik kekerasan.
Penulis: Firda Ainun Ula
Editor: Syaima Sabine Fasawwa
Artikel ini merupakan bagian dari Wajah Kekerasan 2024, yaitu laporan refleksi pengalaman pendampingan kasus kekerasan berbasis gender Rifka Annisa Women’s Crisis Center.