Dalam sistem budaya yang seringkali menghadirkan ketidakadilan bagi perempuan, dengan kontruksi sosial tubuh perempuan menjadi liyan dari dirinya sendiri. Kondisi biologis perempuan yang memiliki Rahim (meski beberapa ada yang tidak memiliki Rahim), memiliki vagina, memiliki payudara lebih jauh memiliki fungsi biologis untuk mestruasi, hamil, melahirkan dan menyusui. Hal ini adalah mutlak hanya dimiliki oleh perempuan. Inilah yang biasa disebut dengan kodrat perempuan, memiliki kemampuan untuk menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui.
Sebagai pemilik alat reproduksi perempuan menanggung seluruh risiko itu, baik yang bersifat fisik, psikis maupun sosial. Hal ini dimiliki namun kemudian juga menimbulkan persoalan, seberapa jauh perempuan dapat menentukan sendiri penggunaan alat reproduksi yang ia miliki? Apa benar perempuan sudah memiliki kontrol terhadap tubuhnya sendiri?.
Tubuh yang ada adalah milik setiap individu, bukan milik individu diluar dirinya, kelompok atau publik, karena yang berhak mengatur dan menjaga tubuh adalah pemiliknya bukan orang lain. Namun tidak demikian, kenyataan yang situasi hari ini banyak kegelisahan-kegelisahan yang terjadi akan kekuasaan tubuh. Semua tubuh-tubuh manusia terutama perempuan telah dijadikan objek dengan istilah lain tubuh yang dipatuhkan adalah tubuh yang ditundukkan, dikuasai, dikekang, tidak diberikan kebebasan atau hak kuasa pada tubuh. Semua telah dikontrol melalui ruang budaya, agama, aturan adat, norma dan konstruk yang melekat pada tubuh itu sendiri, dengan begitu saja dan tanpa disadari.
Gadis Arivia dalam “Negara dan Kekerasan Terhadap Perempuan”, mengutip teori Jaques Lacan, seorang filsuf Perancis yang membahasakan ini sebagai “aturan simbolis”. Lebih jauh Lacan mengatakan bahwa setiap masyarakat diatur lewat suatu rangkaian tanda (simbol) yang saling berhubungan, serta peranan-peranan, dan ritual yang ada di masyarakat. Dengan kata lain, “aturan simbolis” mengatur masyarakatnya melalui bahasa masyarakatnya, menginternalisasikan aturan-aturan tertentu seperti peranan gender dan peranan kelas.
Hal ini menunjukkan bahwa dalam konstruksi sosial budaya yang dikemas oleh rasionalitas patriarki, menempatkan perempuan dalam posisi subordinat, dikenai beragam aturan, norma, serta berbagai bentuk kontrol lain yang menempatkan perempuan dalam posisi “the other”, atau disebut sebagai liyan. Liyan dimaksudkan sebagai kondisi keterasingan individu terhadap konstruksi sosial yang berlaku. Perempuan sebagai “liyan” berada di luar konsensus, bukan subjek yang ikut serta merumuskan peran dan status sosialnya. Dalam perkembangannya, kebersepakatan dan upaya yang dilakukan perempuan untuk memenuhi konsensus tersebut menyebabkan keterasingan pada diri setiap individunya.
Kenyataan yang paling sering dijumpai bahwa penyebab utama berkurangnya hak perempuan atas tubuhnya sendiri bersumber dari kenyataan bahwa tubuh perempuan telah dipakai sebagai lembaga yang berfungsi untuk memenuhi kepentingan masyarakat. Ekosistem yang ada membuat perempuan sebagai pemilik tubuh seringkali harus mengakomodasi keputusan atau kepentingan diluar dirinya sendiri. Meski demikian tidak selamanya pula perempuan menyerah pada nilai yang dianut di masyarakat. Namun bagian penting dari keduanya adalah tubuh perempuan dikondisikan untuk “harus” memenuhi tuntutan sosial yang justru tuntutan tersebut mereduksi peran perempuan dalam pengambilan keputusan akan tubuhnya sendiri.
Keterbatasan pemenuhan hak perempuan akan tubuhnya muncul sejak, perempuan tidak mendapat informasi terkait tubuh dan fungsinya secara utuh, tidak dapat memilih pakaian yang akan dikenakan dengan atas kemaunnya, hingga pada hal yang sering terjadi dimasyarakat adalah menentukan apakah dia akan hamil atau tidak sampai ke soal jenis kelamin, jumlah anak dan ragam alat kontrasepsi yang akan dipiih. Keputusan untuk hamil atau tidak biasanya akan melibatkan banyak pihak selain perempuan, mulai dari suami, nenek, kakek, orang tua dan lainnya. Disisi lain kehamilan seringkali diterjemahkan sebagai sarana biologis bagi sutau proses sosial yang bertujuan untuk melanggengkan keberadaan manusia di muka bumi. Maka dalam kehamilan banyak pihak yang seolah berhak menentukan kehamilan perempuan mulai dari legitimasi agama, budaya, aturan adat, norma dan aturan negara.
Tak pelak kehadiran berbagai elemen telah berpengaruh bahkan seringkali menghilangkan suara pemilik rahim itu sendiri. Padahal tidak ada yang dapat membantah bahwa proses mulai dari kehamilan, melahirkan sampai menyusui perempuanlah yang paling utama mengalami kerentanan dan harus menanggung banyak risiko atas kehamilan yang seringkali keputusan tersebut bukan atas dasar kesadaran dirinya yang utuh.
Oleh karena itu sebagai sesama manusia mari bersama-sama menghormati dan menghargai hak terhadap otoritas tubuh perempuan. Kita perlu beranjak dari pemikiran yang melihat perempuan sebagai objek, perempuan merupakan manusia yang utuh dan berhak menentukan pilihan atas tubuhnya, berhak atas keputusan yang ia mau.