Cowok mau pakai skincare, mikir dua kali—takut disebut bencong, enggak gagah. Cewek mau lanjut studi S3, harus tanya pendapat orang lain dulu—takut nanti enggak ada yang mau lamar karena dikata ‘ketinggian’. Fenomena apa ini?
**
Keputusan-keputusan seseorang dalam hidupnya menunjukkan pilihan individual yang telah ditentukannya. Di sisi lain, seseorang tersebut hidup dalam suatu lingkungan dengan situasi dan cara hidup tertentu, yang tak bisa tidak, turut memengaruhi tindakan seseorang tersebut. Termasuk tindakan mengenai jalinan relasi dengan orang lain berdasarkan identitas gendernya.Studi Universitas Cambridge soal kesehatan mental menunjukkan bahwa tinggal di daerah tertinggal dapat menyebabkan depresi, terutama pada laki-laki, ketimbang perempuan (Rames O., dkk, 2019).
Risiko depresi berat pada konteks lingkungan tersebut didorong oleh faktor pribadi, yakni diagnosis penyakit kronis dan pengalaman traumatis; kekerasan fisik maupun seksual, serta dibesarkan dalam keluarga disfungsional rentan konflik.Namun, di samping itu terdapat karakteristik di luar level individu—seperti atribut dalam komunitas tempat tinggal—yang dapat menimbulkan efek mendalam pada kesejahteraan mental seseorang.
Pada laki-laki, risiko depresi lebih dipengaruhi oleh kegagalan pada prestasi kerja dan kegagalan untuk menyediakan kebutuhan keluarga yang memadai, sebagaimana ditemukan oleh studi Virginia Commonwealth University (Kendler & Gardner, 2019). Tampak bahwa laki-laki lebih sensitif terhadap penyebab yang terkait pekerjaan dan keuangan. Adapun Organisasi Kesehatan Dunia menunjukkan bahwa dari hampir 40% negara yang memiliki lebih dari 15 kematian akibat bunuh diri per 100.000 pria; hanya 1,5% yang menunjukkan tingkat lebih tinggi untuk perempuan (BBC, 2019).Perbedaan tren kesehatan mental pada perempuan dan laki-laki pada akhirnya tidak dapat dilepaskan dari isu gender yang berkembang—yang berkelindan dengan budaya patriarki.
Budaya yang mengutamakan laki-laki pada berbagai posisi strategis termasuk sebagai pengambil keputusan dan sebagai provider (penyedia, pihak yang memenuhi kebutuhan) pada gilirannya menuntut laki-laki untuk bertindak maskulin. Implikasinya, laki-laki diharapkan menjadi sosok kuat dan berani, yang di antaranya berarti merupakan pekerja keras yang selalu bisa diandalkan; tidak boleh sedih; tidak boleh lemah. Adapun anggapan ini yang telah diturunkan pada sekian generasi. Sehingga, saat terjadi situasi yang tidak sesuai dengan standar tersebut, laki-laki rentan tertekan.
Colman O'Driscoll dari Lifeline (badan amal Australia yang menyediakan dukungan krisis 24 jam dan layanan pencegahan bunuh diri) pada laporan BBC (2019) menerangkan bahwa pola pikir demikian diturunkan pada seseorang sejak masa kanak-kanak. Bahwa orang tua mengondisikan anak laki-laki sejak usia dini untuk tidak mengekspresikan emosi, karena mengekspresikan emosi berarti lemah.
Sehingga, laki-laki tumbuh dengan kesulitan tersendiri untuk mengakui saat dirinya membutuhkan bantuan, baik pada diri sendiri, teman, keluarga. Laki-laki juga menjadi lebih segan untuk menemui bantuan profesional. Studi British Medical Journal Inggris menemukan, tingkat konsultasi perawatan primer umum 32% lebih rendah pada laki-laki daripada perempuan, di mana pada studi ini tingkat konsultasi untuk depresi dinilai dengan apakah pasien menerima resep antidepresan, 8% lebih rendah pada laki-laki daripada perempuan (BBC, 2019).
Psikolog Jill Harkavy-Friedman, Wakil Presiden Divisi Penelitian American Foundation for Suicide Prevention memaparkan, laki-laki lebih jarang mencari bantuan kesehatan mental bukan berarti laki-laki tidak punya masalah yang sama dengan perempuan. Melainkan, laki-laki biasanya lebih jarang mengetahui kondisi kesehatan mentalnya, termasuk soal resiko bunuh diri.Meski patriarki memberi banyak ruang bagi laki-laki untuk menjadi dominan pada berbagai posisi dan relasi, pada waktu yang sama, patriarki memberi beban tuntutan pada laki-laki. Maka, bukan hanya perempuan saja yang terkena imbas patriarki, di mana perempuan diharapkan jadi sosok feminin yang bertugas melayani laki-laki dan bertanggung jawab di bidang domestik—hingga kesempatan dan aksesnya dibatasi dalam megembangkan diri di ranah publik.
Di akhir, budaya patriarki merugikan semua orang, hingga memberi kontribusi pada setiap pertimbangan keputusan personal seseorang, bahkan termasuk keputusan soal melanjutkan atau mengakhiri hidup.Sebagai bagian dari suatu lingkungan komunitas, menjadi penting bagi semua orang untuk saling melepas ekspektasi terhadap peran seseorang berdasarkan konstruksi gender. Alih-alih saling menuntut, setiap diri kita bisa saling menunjukkan sikap terbuka pada pertukaran peran domestik maupun publik, daripada terjebak pada dikotomi maskulin dan feminin.
Sumber:
Remes O, Lafortune L, & Wainwright N, dkk. (2019). Association between area deprivation and major depressive disorder in British men and women: a cohort study. BMJ Open, 9(11), doi: 10.1136/bmjopen-2018-027530
Kendler, K. S. & Gardner, C. O. (2019). Sex Differences in the Pathways to Major Depression: A Study of Opposite-Sex Twin Pairs. AM J Psychiatry, 141(4): 426-435, doi: 10.1176/appi.ajp.2013.13101375
Schumacher, H. (2019). Kenapa lebih banyak laki-laki meninggal karena bunuh diri? BBC News Indonesia. Diakses dari: https://www.bbc.com/indonesia/vert-fut-47862671