Dari Eksploitasi ke Empati: Peran Media dalam Pemberitaan Kasus Kekerasan Seksual
Pemberitaan kekerasan seksual di Indonesia mengalami pergeseran penting. Media massa, yang sebelumnya kerap terjebak dalam sensasionalisme dan eksploitasi penderitaan korban, mulai menunjukkan keberpihakannya. Narasi yang diangkat kini lebih berorientasi pada keadilan dan solidaritas, bukan sekadar clickbait atau deskripsi kasus yang dangkal.
Kasus yang menandai perubahan ini salah satunya adalah kasus kekerasan seksual terhadap 15 anak sekolah dasar di Yogyakarta oleh gurunya sendiri pada awal 2024. Ketika berita ini mencuat, media tidak lagi sekadar menyoroti detail peristiwa secara vulgar. Tetapi mulai menghadirkan perspektif yang lebih berpihak pada korban. Media mulai berupaya mengedepankan perlindungan identitas korban, menggunakan terminologi yang tepat, dan memberikan ruang bagi suara para korban serta pendamping mereka.
Pergeseran ini bukan kebetulan. Melainkan hasil dari perjalanan panjang advokasi, kritik publik, dan upaya pendampingan kasus yang dilakukan oleh berbagai pihak dan organisasi. Termasuk Rifka Annisa.
“Dulu, kita sering melihat bagaimana media memberitakan kasus kekerasan seksual dengan cara yang justru memperpanjang trauma korban. Sekarang, mulai tampak perubahan (pemberitaan) lebih baik. Seperti terkait dengan penggunaan istilah yang lebih sensitif gender dan memperhatikan keamanan korban,” ujar Lisa Oktavia, konselor hukum yang telah mendampingi korban kekerasan berbasis gender di Rifka Annisa sejak 2007. “Yang tadinya menyorot korban, sekarang fokus pada tindak kriminal pelaku. Sudah lebih bernuansa edukatif ketimbang sensasional” lanjutnya. Artinya, media mulai memahami perannya dalam membangun keadilan, bukan sekadar menyajikan cerita mengerikan.
Media, Pemberitaan, dan Pendampingan Berkelanjutan
Perubahan ini tidak hanya terjadi dalam cara penulisan berita, tetapi juga dalam keberlanjutan pemberitaan sebagai bentuk pengawasan kasus. Jika sebelumnya kasus kekerasan seksual cepat tenggelam dari perhatian publik, kini ada upaya untuk terus mengawal proses hukum dan pemulihan korban. Media mulai mengajak publik memahami kekerasan seksual sebagai persoalan struktural, bukan sekadar insiden individu.
Siti Darmawati, konselor psikologi Rifka Annisa, menambahkan, pemberitaan yang lebih empatik juga berdampak positif bagi para korban. “Kami melihat bagaimana korban merasa lebih didengar dan didukung ketika media tidak lagi sekadar menggali luka mereka. Tetapi juga mengangkat cerita perjuangan dan pemulihan mereka. Ini membantu membangun keberanian mereka untuk berbicara dan mencari keadilan.” Lebih lanjut, Siti menerangkan bahwa media yang tidak mengandung nuansa victim-blaming (tindakan menyalahkan korban), misalnya, telah turut berperan membangun kepercayaan diri korban.
Adapun perubahan ini tidak terjadi dalam ruang hampa. Sejak beberapa tahun terakhir, berbagai inisiatif telah muncul untuk memperbaiki standar peliputan kasus kekerasan seksual maupun mengupayakan ekosistem pers di Indonesia yang lebih aman terhadap kekerasan seksual.
Salah satu inisiasi datang dari Project Multatuli—media berbasis organisasi jurnalisme nirlaba—yang menerbitkan “Panduan Meliput Kekerasan Seksual bagi Persma dan Jurnalis” pada 2022 dengan menekankan keberpihakan pada korban dalam pemberitaan. Sementara itu, pada 2024, Remotivi, sebuah lembaga studi dan pemantauan media, meluncurkan kampanye “Ganti Ilustrasi Pemberitaan Kekerasan Seksual”. Gerakan ini ditujukan untuk mengkritik penggunaan ilustrasi korban yang cenderung melemahkan mereka dan mereproduksi stereotip negatif. Spirit yang sama dilakukan pula oleh Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) dengan membuat “Modul Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) untuk Jurnalis dan Pekerja Media” untuk meningkatkan ekosistem pers yang ramah korban kekerasan.
Kebutuhan untuk Menyentuh Struktur
Di tingkat kebijakan, perubahan ini didorong oleh Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang disahkan pada 2022. Sejak itu, pemerintah mulai mendorong praktik jurnalistik yang lebih berpihak pada korban. Dewan Pers merilis berbagai panduan dan rekomendasi untuk memastikan bahwa media tidak lagi mereproduksi stigma terhadap korban kekerasan seksual. Pada 2024, Dewan Pers merumuskan pedoman pemberitaan kekerasan berbasis gender bekerja sama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, serta meluncurkan “Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Pers” guna membangun ekosistem yang lebih berkeadilan.
Perubahan dalam pemberitaan kekerasan seksual juga berdampak pada meningkatnya kesadaran publik. Dengan pemberitaan yang lebih empatik, masyarakat mulai memahami bahwa kekerasan seksual adalah isu sistemik yang memerlukan perubahan struktural. Perlahan, ini turut mendorong pergeseran pandangan publik terhadap kekerasan seksual. Bukan lagi dianggap sebagai aib atau tabu, melainkan sebagai persoalan yang perlu dibicarakan secara terbuka. Hal ini memberikan ruang aman bagi penyintas untuk berbicara dan mencari keadilan. Pemberitaan kekerasan seksual yang berpihak pada korban tidak hanya memberikan informasi, tetapi juga membangun kepercayaan bagi korban untuk mencari bantuan.
Tentu, perubahan ini belum sempurna. Masih ada media yang terjebak dalam pola lama. Masih ada pemberitaan yang mengobjektifikasi korban, dan masih ada suara penyintas yang terabaikan. Namun, langkah maju ini patut diapresiasi dan terus diperjuangkan. Peran media signifikan dalam membentuk persepsi publik terhadap kekerasan seksual. Ketika media berpihak pada korban, mereka tidak hanya menciptakan narasi yang lebih adil. Tetapi juga membangun solidaritas publik untuk mendukung perubahan kebijakan dan sistem yang lebih baik.
Di tahun-tahun mendatang, tantangannya adalah memastikan standar ini terus diterapkan. Bukan hanya karena tekanan sosial, tetapi karena kesadaran bahwa setiap pemberitaan memiliki dampak nyata. Sebab, dalam setiap kata yang ditulis, ada suara yang diperjuangkan; dalam setiap cerita yang diangkat, ada keadilan yang harus ditegakkan.
Penulis: Syaima Sabine Fasawwa
Editor: Firda Ainun Ula
Artikel ini merupakan bagian dari Wajah Kekerasan 2024, yaitu laporan refleksi pengalaman pendampingan kasus kekerasan berbasis gender Rifka Annisa Women’s Crisis Center.