Lima tahun yang lalu tepatnya tanggal 30 Juli 2012 disahkan UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). UU ini juga sekaligus menggantikan UU No. 3 Tahun 1997 tentang Sistem Pidana Anak yang secara filosofis, yuridis dan sosiologis sudah tidak lagi memadai dalam lingkup perkembangan sistem pidana anak.
Yang menjadi dasar cita-cita hukum (ius constituendum) dalam Politik hukum UU No. 11 tahun 2012 tentang SPPA adalah mewujudkan peradilan yang benar-benar menjamin pelindungan kepentingan terbaik terhadap Anak yang berhadapan dengan hukum (ABH). Anak yang berhadapan dengan hukum itu sendiri bisa dalam posisi, pelaku, korban maupun saksi dari suatu tindak pidana. Untuk mewujudkan hal tersebut maka dalam UU SPPA dikenal konsep pemulihan keadilan (restoratif justice) yang dalam implementasinya dilaksanakan salah satunya melalui penyelesaian kasus pidana melalui jalur diluar hukum acara pidana atau yang sering disebut sebagai diversi.
Secara historis konsep tentang pemulihan keadilan (restorative justice) dengan melibatkan korban, pelaku dan masyarakat sudah menjadi bagian penting dari pemikiran manusia didasarkan pada tradisi keadilan (justice tradition) dari Arab kuno, Yunani, dan Romawi.[1] Bentuk baru dan mapan dari pemulihan keadilan (restoratif justice) menawarkan beberapa cara menyambut menyelesaikan konflik ditengah-tengah masyarakat. Mereka melibatkan individu yang tidak terlepas dari insiden itu, tetapi secara langsung terlibat atau terpengaruh olehnya. Partisipasi masyarakat dalam proses tidak lagi abstrak, melainkan sangat langsung dan konkret. Proses ini sangat disesuaikan dengan situasi di mana pihak berpartisipasi secara sukarela dan masing-masing memiliki kapasitas untuk terlibat penuh dan aman dalam proses dialog dan negosiasi. John Braithwaite menjelaskan bahwa wacana pemulihan keadilan (restoratif justice) tidak hanya berfokus pada masalah pidana, tetapi perlu dicatat bahwa proses restoratif yang digunakan untuk mengatasi dan menyelesaikan konflik sosial di berbagai konteks dan pengaturan lainnya, termasuk sekolah dan hubungan industrial di dunia kerja. [2]
Dalam konteks sistem pemidanaan, pemulihan keadilan (restorarie justice) merupakan suatu konsep sistem pemidanaan kontemporer yang semakin mendapatkan perhatian luas. Konsep tersebut menjadi jawaban atas ketidak puasan masyarakat dengan sistem pemidanaan yang bersifat retributif (retributif justice) maupun restitutif (restitutif justice) yang dalam pendekatan crime control model merupakan upaya memaksimalkan efek jera dengan menghukum pelaku seberat-beratnya (pembalasan) dan sama sekal tidak memperhatikan pemulihan bagi korban dan masyarakat.
Berdasarkan Pasal 1 angka 6 UU No. 11 Tahun 2012 tentang SPPA memberikan definisi mengenai Keadilan Restoratif yaitu penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Sedangkan diversi didefinisikan sebagai pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. (Pasal 1 angka 7 UUNo. 11 Tahun 2012). Proses Diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan Anak dan orang tua/Walinya, korban dan/atau orang tua/Walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesesional. Diversi ini wajib diupayakan dalam setiap tahap dari proses hukum (due process of law) dari mulai tingkat penyidikan, penunututan dan pemeriksaan pada sidang pengadilan. Namun demikian dalam ketentuannya tidak semua kasus pidana anak dapat dilakukan upaya diversi (pengesampingan). Pasal 7 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2012 Tentang SPPA memberikan batasan bahwa Diversi dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan: a. diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan b. bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
Didalam perjalananannya lebih kurang 5 tahun ini pendekatan diversi yang sejatinya digunakan untuk mewujudkan pemulihan keadilan (restorative justice) tidak lepas dari persoalan yang cukup berpengaruh dalam penegakkan hukum. Persoalan-persoalan tersebut dapat dilihat dalam tiga hal secara mendasar terkait dengan substansi hukum, struktur, dan budaya (kultur) masyarakat dalam menerima dan mengimplementasikan UU SPPA.
Persoalan penegakkan hukum untuk menegakkan restorative justice dengan pendekatan diversi pada kasus pidana anak dapat diidentifikasi sebagai berikut: 1. Pada tataran substansi maka munculnya disparitas penafsiran atas ruang lingkup diberlakukannya diversi menjadi persoalan. APH masih melihat bahwa diversi dilakukan pada semua kasus pidana anak, padahal Pasal 7 ayat (3) UU No. 11 tahun 2012 sudah jela membatasinya. 2. Pesoalan terkait dengan kapasitas penegak hukum baik polisi, jaksa dan hakim dalam pelaksanan diversi. Fokus restorative justice dengan menggunakan diversi pada dasarnya diletakan pada pemulihan keadilan bagi korban, namun karena kapasitas APH yang belum responsif korban, maka yang menjadi target adalah kecepatan penyelesaian kasus bukan lagi pemulihan keadilan. 3. Kondisi sosial budaya (kultur) juga sangat berpengaruh dalam pelaksanaan diversi. Status sosial dan ekonomi di masyarakat khususnya didaerah rural masih menjadi tembok penghalang dalam melahirkan keadilan utamanya bagi korban. Hal ini misalnya terjadi pada kasus yang pelakunya berasal dari keluarga yang secara pengaruh sosial ekonomi lebih baik dari korban/keluarga. Kondisi tersebut ternyata berpengaruh dalam menjaga objektivitas aparat penegak hukum, hingga pada akhirnya korban tidak mendapatkan keadilan. 4. Pemberian tindakan yang tidak tepat sebagai sanksi atas perbuatan pidana juga mengakibatkan tidak adanya efek jera dan rentan dengan keberulangan perbuatan pidana (residive). Tidak dipidananya seorang pelaku anak yang melakukan perbuatan pidana pada kenyataannya berakibat tidak adanya efek jera dan sangat jarang dilakukan pengulangan perbuatan pidana (residive). 5. Minimnya koordinasi APH dalam monitoring perkara yang diputus dengn tindakan khususnya dikembalikan kepada orang tua mengakibatkan pelaku yang telah melakukan perbuatan pidana tidak terkontrol. 6. Tidak dilakukannya tindakan rehabilitasi (reparasi) bagi pelaku tindak pidana dan tidak adanya lembaga yang bertanggung jawab atas itu berakibt pada kerentanan pelaku mengulangi perbuatannya
Terhadap persoalan tersebut maka harus segera direspon dengan solusi dan terobosan hukum yang tepat. Penulis masih meyakni bahwa jika pendekatan diversi sebagai suatu upaya untuk melahirkan restorative justice ini dilakukan secara tepat maka akan sangat bermanfat khususnya bagi anak-anak yang memang memerlukan perlakukan khusus (spesial treatment) dalam sistem pemidanaan kita. Penulis berharap restorative justice dalam perkembangannya kedepan harus menjadi paradigma dalam sistem pemidanaan secarra umum. Hal ini tentu bukan suatu yang berlebihan,mengingat apa yang menjadi tujuan sebenarnya dari restorative justice itu sudah cukup komprehensif. Jika dibandingkan dengan konsep pemidanaan yang hanya mengacu pada pembalasan terhadap pelaku. Dalam proses yang demikian korban dan masyarakat kemudian menjadi subyek yang terpinggirkan dalam penegakkan hukum.
Restoratif justice melalui proses diversi yang tepat, menjadi suatu konsep dari tujuan pemidanaan yang solutif dimasa yang akan datang. Hal itu karena dalam restorative justice terdapat cara bagaimana korban dipulihkan, bagaimana pelaku dihukum dan direhabilitasi, dan bagaimana keseimbangan masyarakat yang terganggu oleh pelanggaran hukum itu dipulihkan (restitutio an integrum). Hal tersebut dapat dilaksanakan dengan baik manakala dipenuhi syarat substantif yang jelas dan tidak menimbulkan multitafsir, struktur (sarana dan prasarana) penegakkan hukum yang memadai, dan kultur masyarakat yang responsif. Dengan demikian maka retorative justice melalui penegakkan hukum diversi dapat menghasilkan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan bagi seluruh bangsa indonesia tidak saja dalam konteks anak yang berkonflik dengan hukum tetapi menjadi pendekatan pemidanaan yang menjanjikan dalam kasus-kasus pidana umum lainnya dimasa yang akan datang.
[1] Mardjono Reksodiputro (1), Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana. Kumpulan Karangan Buku Kedua, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan Dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, 2007, hlm. 140.
[2] Sebahagian ahli hukum menggunakan istilah Sistem Informasi Peradilan Pidana Terpadu atau Integrated Criminal Justice Information Systems(ICJIS), dan sebahagian lagi menggunakan istilah Criminal Justice Administration (CJA).
---------------------------------------------
Tentang penulis:
Triantono SH., M.H. adalah Research and Legal Officer pada lembaga Rifka Annisa Yogyakarta
Rubrik Rifka Annisa, Harian Jogja 19 Oktober 2017