Print this page

Islam Ramah dan Usaha Menghadang Kekerasan terhadap Perempuan

Written by  Shinta Maharani Senin, 07 Januari 2019 12:35
Rate this item
(0 votes)

DSC01814 min

Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Pengasih, Kulon Progo, Abdul Rohman gelisah dengan banyaknya kasus kekerasan terhadap perempuan. Ia mendengar dari pemberitaan tentang pemukulan, pelecehan seksual, pemerkosaan terhadap perempuan, dan mutilasi. Lelaki asal Kuningan, Jawa Barat ini terbayang pada ibu dan saudara perempuannya bila mengalami hal yang sama. Pasti sungguh menyakitkan. 

Beragam kasus kekejian terhadap perempuan mengusiknya. Yang dia tahu agama Islam tak pernah membenarkan kekerasan dan pembunuhan terhadap perempuan. Islam mengajarkan kasih sayang. Itu mengapa dalam Al Quran terdapat ucapan pembuka, basmalah. Bismi-illahi ar-rahmani ar-rahimi yang artinya dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. “Allah tidak mungkin membolehkan manusia berbuat zalim dalam segala bentuk kekerasan,” kata Abdul Rohman di Kantor KUA Pengasih. 

Alumnus Fakultas Adab IAIN Yogyakarta ini kerap melihat praktek yang tidak adil terhadap perempuan di lingkungan sekitarnya. Dia lahir dan tumbuh di daerah yang kuat dengan dominasi laki-laki. Di Kuningan, Jawa Barat, perempuan umumnya ruang geraknya dibatasi, mereka hanya boleh mengerjakan tugas-tugas domestik. 

Perempuan di rumah tugasnya menumpuk yakni membereskan pekerjaan rumah tangga seperti mengurus anak, memasak, mencuci, menyeterika, membersihkan rumah. Suami juga menuntut isterinya untuk berusaha mempercantik diri. Sedangkan, laki-laki rata-rata bekerja di ranah publik atau mencari uang. 

Abdul Rohman, 48 tahun, beruntung lahir dari keluarga yang menghargai kesetaraan gender. Ibundanya membiasakan anak-anaknya untuk melihat tugas domestik bukan sesuatu melekat pada perempuan. Sejak bocah, Abdul Rohman terbiasa menyapu dan mencuci. Rohman ingat ketika ibunya mengajarinya mengulek sambal dan memasak ketika ia masih kecil. “Keluarga kami melawan pandangan mainstream soal peran domestik. Saya bersyukur punya ibu yang membiasakan saya mencuci dan menyapu,” kata dia. 

Tahun 1995, Abdur Rohman ke Yogyakarta untuk kuliah di Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Selama kuliah di IAIN Sunan Kalijaga, Abdur Rohman aktif mengikuti acara-acara yang digelar Pusat Studi Wanita. Tahun 2009 ia juga datang ke acara PSW UII. Waktu itu ia penasaran mengapa tidak ada pusat studi 

laki-laki dan hanya pusat studi wanita. Lalu ia banyak belajar bahwa penyebabnya adalah ketidakdilan terhadap perempuan. 

Di Yogyakarta, ia juga resah ketika melihat realitas ketidakadilan gender. Ia mencontohkan seringkali memperhatikan isteri bekerja keras di luar rumah, sedangkan suaminya hanya bersantai di rumah, misalnya duduk-duduk sembari minum kopi dan merokok. 

Dari situlah, ia terus gelisah dan semakin tertarik dengan ide-ide kesetaraan gender. Nilai-nilai keluarganya yang menghargai pembagian peran-peran domestik inilah yang Abdul Rohman terapkan pada keluarganya di Yogyakarta. Abdul Rohman berbagi peran domestik bersama isterinya, Solikat Empat Fatimah dan dua anaknya yakni Putra Eki Aulia Abdurrahman dan Emri Lutfan Abdurrahman. Mereka berbagi tugas mencuci baju, mencuci piring, menyapu, memasak, dan berbelanja kebutuhan keseharian. 

Berbagi peran membuat pekerjaan lebih enteng dan mereka tak perlu mendatangkan jasa asisten rumah tangga untuk mengerjakan tugas-tugas domestik. Kesetaraan gender menurut Abdul Rohman bisa dimulai dari lingkungan terkecil, yakni keluarga. 

Sebagai tokoh agama dan tokoh masyarakat, Abdul Rohman sadar tak mudah untuk menyebarluaskan ide-ide kesetaraan gender dan penghapusan kekerasan berbasis gender. Langkah itu dimulai ketika ia menjabat Kepala KUA Pengasih. Ia tak mau kantornya hanya terkesan sebagai pencatat atau melakukan kerja-kerja administrasi pernikahan saja. Mencatat pernikahan dan semuanya selesai. Buat dia itu tak cukup. 

Banyak persoalan yang mendera pasangan keluarga hanya karena tak punya perspektif yang baik tentang kesetaraan gender. Ia berpikir harus menemukan formula yang pas untuk penguatan keluarga. Tahun 2012 ia bertemu pegiat Rifka Annisa Women Crisis Center. Abdul Rohman berbincang mengenai apa saja kerja sama yang bisa dilakukan untuk mengkampanyekan keadilan gender dan penghapusan kekerasan berbasis gender. 

Gayung bersambut. Tahun 2013 hingga 2015, Rifka Annisa menjalankan program MenCare+ di Kecamatan Pengasih. Pendampingnya adalah Abdur Rohim. Program itu berjalan di Desa Tawangsari dan Karangsari. Tahun 2018 Rifka Annisa menjalankan program Prevention+, kelanjutan dari program MenCare+ di Desa Sendangsari dan Sidomulyo. Ada kelas ayah, kelas ibu, dan kelas remaja yang masing-masing sesi berjalan selama dua jam. Kelas ayah dan kelas ibu merupakan pasangan suami isteri. Keduanya dilibatkan agar mendapatkan informasi yang sama. 

Tujuannya untuk membangun kesadaran dan bersama-sama melakukan perubahan di rumah tangga agar lebih adil dan setara. 

Abdur Rohman mengisi kelas ayah di desa-desa tersebut. Di kelas, ia bicara soal bagaimana keluarga berbagi peran di ranah domestik. Seringkali ia mendapatkan pertanyaan soal peran-peran domestik. Misalnya kalau ayah mencuci dan memasak itu kira-kira baik tidak, menyalahi kodrat tidak. 

Abdur Rohman menekankan dalam kelas ayah bahwa dominasi laki-laki di keluarga tidak layak dipertahankan. Ia mengutip konsep kesetaraan gender yang ia dapatkan ketika mengikuti acara Rahima, lembaga non-pemerintah yang menaruh perhatian pada Islam, kesetaraan gender, dan memperjuangkan hak-hak perempuan. Rahima yang kerap menggelar acara di Yogyakarta merupakan mitra Rifka Annisa. 

Belum lama ini, Abdur Rohman juga mengikuti pelatihan Rahima tentang pencegahan kekerasan terhadap perempuan bagi tokoh agama di Jakarta. Rahima memberikan modul tentang mubadalah dalam Islam. 

Konsep mubadalah (Bahasa Arab), yang punya arti timbal balik atau kesalingan. Konsep ini bermakna suami dan isteri saling tenggang rasa, saling membantu, dan mencintai. Nabi Muhammad SAW bersabda sebaik-baiknya kalian adalah yang paling baik terhadap keluarga (isterinya). Dan aku adalah orang yang paling baik di antara kalian terhadap keluarga (isteriku). 

Itu berarti kekuatan laki-laki tak boleh digunakan untuk menindas, melainkan menyayangi dan menghormati perempuan. Bila laki-laki dan perempuan saling berbagi peran, maka rumah tangga berjalan baik. “Selama salah satunya mendominasi yang lainnya akan tersakiti. Hasilnya tidak akan muncul kebaikan,” kata Abdur Rohman. 

Ayat-ayat dalam Al Quran banyak menyingung soal kesetaraan gender. Abdur Rohman mencontohkan dalam surat Ar-Rum. Surat tersebut menyebutkan Allah menciptakan laki-laki dan perempuan. Bagimu pasangan dari jenismu sendiri. Perempuan agar kamu menjadi tenang, saling mencintai, dan saling kasih sayang. 

Di kelas ayah, ia kerap mencontohkan bagaimana ia melakukan pekerjaan domestik seperti mencuci baju dan mencuci piring. Tugas-tugas rumah tangga itu ia jalani tanpa beban sepulang dari kantor dan ia anggap sebagai penyegaran. 

Ketika menyampaikan materi kesetaraan gender, Abdur Rohman kerap mendapatkan gugatan dari peserta di kelas. Misalnya apakah ketika laki-laki mengerjakan peran domestik tidak menyalahi kodrat Tuhan. Kepada peserta itu, ia menimpali bahwa rumah tangga yang baik menghargai kesetaraan gender. Laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga itu mitra, bukan dominasi dari satu pihak. Rumah tangga bukan hubungan antar-buruh dan majikan (salah satu mendominasi), tapi hubungan yang setara. 

Gugatan lainnya yang muncul adalah bila suami berbagi peran domestik, maka suami takut bahwa isteri akan ngelunjak atau memperlakukan suami seenaknya. Ada juga yang memberikan pernyataan bahwa bila suami memasak ia merasa harga dirinya jatuh. 

Kepada peserta di kelas ia menjelaskan di dalam rumah tangga tidak boleh ada penindasan dan tak boleh seenaknya memperlakukan pasangannya. Rumah tangga berjalan melalui kesepakatan, tidak boleh ada paksaan dan harus saling menghormati. Ada peran-peran tertentu yang tak bisa digantikan, misalnya secara biologis yakni perempuan melahirkan. Tapi, di luar itu laki-laki harus punya kesadaran untuk berbagi peran domestik. 

Gugatan dan pernyataan-pernyataan itu tak hanya muncul di kelas ayah, melainkan juga di sejumlah pengajian di kampung-kampung yang dia isi. Abdur Rohim harus berjuang untuk menyampaikan pandangan kesetaraan gender. Di desa-desa tantangannya cukup keras karena pemahaman keagamaan yang belum tuntas dan didukung budaya patriaki yang kuat. 

DSC01790 min

Pemahaman keagamaan yang tidak tuntas itu menurut Abdur Rohman misalnya cara pandang laki-laki yang dominan dan boleh melakukan apa saja sesuai kemauannya terhadap isterinya. Pandangan itu didukung sejumlah tokoh agama yang tidak menafsirkan ayat lebih jauh atau sekadar mencomot ayat dalam Al Quran. Laki-laki hanya dianggap sebagai pemimpin, imam, pencari nafkah, dan mendapatkan harta waris dua kali lebih besar ketimbang perempuan. Orang sekadar melihat ayat-ayat itu menempatkan laki-laki pada posisi superior. Posisi itu dipahami sebagai sesuatu yang mengalahkan perempuan. 

Seharusnya posisi superior tadi dipahami sebagai kekuatan kasih sayang kepada yang lain bukan untuk menyakiti perempuan. Suatu hari ia menemukan seorang laki-laki yang menyiksa isterinya. Kepada Abdur Rohman, laki-laki itu bilang sebagai suami ia wajib mendidik dengan cara-caranya sendiri. 

Abdur Rohman lalu menimpali laki-laki itu bahwa mendidik boleh tapi jangan menggunakan cara-cara kekerasan. Islam melarang laki-laki menyakiti, melecehkan, dan menyiksa perempuan. 

Islam memuliakan perempuan. Itu tergambar dari bagaimana Nabi Muhammad SAW menempatkan Siti Khadijah bukan hanya sebagai isteri, melainkan juga penasihat. Setelah Siti Khadijah meninggal, Nabi Muhammad menjadi duda. Lalu ia menikahi Siti Aisyah perempuan cerdas yang punya derajat yang tinggi. 

Islam sangat menghargai perempuan dan membela praktek monogami. Selama ini, banyak orang membaca ayat dalam Al Quran secara tak tuntas. Poligami hanya dibaca di bagian kata empat. Padahal, Allah dalam ayat itu mengatakan silakan kamu menikahi perempuan satu, dua, tiga, empat kalau kamu bisa adil. 

Pertaanyaannya adalah apakah manusia bisa adil. Poligami sesuatu yang mustahil dan tidak masuk akal diterapkan. Dia mencontohkan bagaimana Siti Aisyah cemburu pada Siti Khadijah. Nabi Muhammad pada waktu itu konteksnya menikahi janda-janda miskin dalam situasi perang dan konteks dakwah. Poligami tak lagi bisa diterapkan dalam situasi sekarang yang situasinya berbeda. Tapi, sayangnya banyak orang yang menganggap poligami itu sunnah dan surga. 

Abdur Rohman meragukan manusia bisa adil dalam mempraktekkan poligami. Dia menempatkan poligami sebagai pembawa masalah. “Poligami itu ibarat jalan kecil, gelap, banyak lubang dan batu-batu besar, menanjak, dan licin,” katanya. 

Orang gampang tergelincir dan membuat pernikahan tak bahagia. Dampaknya adalah dosa karena menyakiti pasangan. Ketika ada yang menggugat bahwa poligami itu baik, Abdur Rohman menjelaskan perlunya melihat maslahah (manfaat) dan mudarat (kerugian). Untuk menjawabnya, praktek poligami juga harus ditanyakan kepada perempuan tidak hanya laki-laki saja. Banyak perempuan yang mengatakan poligami tidak baik. 

Bila laki-laki yang menjadi suami perempuan itu menyatakan penolakan poligami isteri sebagai sesuatu yang durhaka dan tidak taat, maka yang terjadi adalah pemaksaan. “Itu artinya menyakiti isteri dan agama melarang manusia menyakiti orang lain,” kata Abdur Rohman. 

Di kelas ayah, ia juga bicara soal berbagi peran di ranah publik, misalnya pekerjaan. Dalam kelas itu Rifka Annisa punya materi tentang keuangan keluarga dalam modulnya. Pernikahan membutuhkan banyak persiapan, di antaranya ekonomi. 

Abdur Rohman mengajak peserta menghitung program keuangan keluarga. Model penghitungannya adalah semacam pemeriksaan keuangan keluarga. Kebutuhan bapak apa, penghasilan bapak berapa. Setelah itu dihitung pendapatan dan pengeluaran. Ternyata ada yang tidak seimbang. Lalu dia bertanya kepada peserta apakah boleh tidak ibu bekerja untuk ekonomi keluarga? 

Semula ada peserta yang bilang bahwa dia tidak suka bila isteri punya penghasilan ekonomi yang lebih besar ketimbang suami. Alasannya bila perempuan bekerja maka mengalahkan harga dirinya sebagai laki-laki. 

Kepada peserta itu, Abdur Rohman bertanya ibu yang bekerja untuk kepentingan siapa? Keluarga kan? Lalu kenapa harus gengsi? Bukankah isteri adalah orang terdekat suami. Tapi, ia juga menekankan bahwa ketika isteri bekerja bukan berarti suaminya seenaknya santai-santai di rumah. Keduanya juga harus saling berbagi peran. 

Di sisi kesehatan rumah tangga misalnya, ia juga mengajarkan bahwa suami harus bergerak cepat mengantisipasi penyakit-penyakit yang terjadi karena kurang menjaga kebersihan rumah. Misalnya penyakit malaria. Bersih-bersih rumah, kamar mandi dan segala tempat yang berpotensi menjadi sarang nyamuk bukan hanya tugas perempuan. Kelalaian itu jangan disalahkan pada ibu, tapi ayah bisa jadi tidak peduli untuk membersihkan rumah sehingga penyakit datang. 

Untuk materi pengasuhan anak, ia memberikan contoh bagaimana mendidik anak yang baik. Sebaiknya orang tua tidak memperlakukan anak dengan kasar. Misalnya menyuruh mencuci baju. Berikan penjelasan yang baik bagaimana berbagi tugas di rumah dengan ibu, ayah, dan saudara-saudaranya. 

Usaha Abdur Rahman menyebarkan nilai-nilai kesetaraan gender tak semuanya berjalan mulus. Di pengajian-pengajian, ia kerap mendengar orang berbisik menuduhnya sebagai orang yang sekuler. Untuk mengatasinya Abdur Rohman memberikan penjelasan melalui ayat-ayat dalam Al Quran dan hadist nabi yang mendukung kesetaraan gender. Konsep mubadalah menjadi pijakannya. Kesalingan mengajarkan kalau anda ingin dicintai maka anda harus mencintai. Kalau anda ingin diberi maka anda harus memberi. Kalau anda ingin dihormati maka anda harus menghormati. 

Perlahan-lahan konsep mubadalah dipahami dan berdampak. Perubahannya adalah peserta kelas ayah kini lebih menghargai isteri, sayang pada isteri, dan menganggap peran-peran domestik bukan lagi melekat pada perempuan. “Mereka tidak lagi gengsi menyapu, memasak, mencuci, dan belanja kebutuhan rumah,” kata dia. 

KUA Pengasih punya program bernama Gerbang Sakinah yang sejalan dengan program Rifka Annisa. Gerbang Sakinah yang berjalan sejak 2016 bicara soal penguatan keluarga. Dalam program ini KUA Pengasih semacam memberikan konsultasi untuk pasangan yang hendak menikah. Misalnya konsultasi tentang merencanakan anak yang melibatkan penyuluh Keluarga Berencana (KB) dan bagaimana membangun rumah tangga yang kokoh. Dia juga menjalankan peran penting lainnya yaitu menginisiasi nota kesepahaman atau MoU pencegahan perkawinan anak dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di Pengasih. 

Nota kesepahaman melibatkan Musyawarah Pimpinan Kecamatan. Mereka di antaranya dari Pusat Kesehatan Masyarakat, Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Anak, dan Petugas Lapangan Keluarga Berencana. Nota kesepahaman itu lalu berlanjut dengan pembuatan pedoman pencegahan perkawinan anak dan KDRT. Pedoman ini menjadi acuan para pemangku kebijakan, perangkat desa, dan organisasi masyarakat dalam mencegah dan menangani perkawinan anak serta KDRT. 

Peran penting tokoh agama dan tokoh masyarakat untuk mengatasi kekerasan berbasis gender di desa-desa tak bisa diabaikan. Mereka merupakan orang-orang yang membawa harapan untuk keadilan gender. Ketimbang terus meratapi masalah yang muncul karena kekerasan berbasis gender, lebih baik menyalakan lilin dan harapan untuk keadaan yang lebih baik. Caranya terus berkawan dan membangun jaringan yang lebih kuat di desa-desa untuk melawan segala bentuk kekerasan berbasis gender.

 

Tentang penulis: Shinta Maharani adalah koresponden Majalah Tempo dan penulis lepas Vice. 

Read 7501 times Last modified on Rabu, 23 Januari 2019 14:55