Print this page

Perempuan dan Jerat patriarkal pada Film Inang (2022) Featured

Written by  Tiara Chaerani dan Sabine Sabtu, 22 Oktober 2022 16:42
Rate this item
(0 votes)

Film Inang yang disutradarai oleh Fajar Nugros mengangkat tentang mitos di Jawa, “Rabu Wekasan”. Film Inang cukup berbeda dengan film horor lainnya. Ada banyak kejutan yang tidak disangka-sangka, mulai dari plot cerita yang beda dari horor Indonesia lainnya, karakterisasi yang solid sampai akting-akting top tier dari para pemerannya. Walaupun slow burn, tetapi tetap enak dinikmati. Film ini berhasil mengangkat horor kultus mitos mistis TANPA menjual sosok menakutkan.

Dalam membangun cerita di atas mitos tersebut, Inang menampilkan isu pengalaman khas yang dirasakan oleh perempuan. Film dibuka dengan kehamilan Wulan, di mana di baliknya terdapat sosok pacar yang tidak bertanggung jawab atas konsensual yang telah dibangun bersama. Namun begitu, di tengah tekanan ekonomi, Wulan memiliki kendali akan kehidupannya dengan tidak memilih untuk merawat bayinya sendiri–ia memutuskan untuk melibatkan orang tua asuh. Sebagai perempuan yang sedang berada di tengah masalah besar, Wulan tetap berdaya dalam menentukan pilihannya sendiri. Karakter perempuan Wulan diperkenalkan dengan apik–membawa isu kemiskinan dan patriarki di tengah kota besar. Wulan menjadi gambaran nyata perempuan kelas menengah ke bawah yang mengadu nasib di kota metropolitan.

Film ini juga menampilkan Nita, teman Wulan, seorang perempuan pekerja miskin yang memiliki gender norm berkebalikan dengan Wulan. Jauh dari gambaran perempuan ideal di masyarakat, Nita adalah perokok dan pembangkang yang sekaligus realistis. Menghadapi kenyataan kehidupan yang tidak selalu berpihak pada dirinya, Nita kerap kali mengambil jalan praktis. Ia membolos di jam kerja dan berhubungan dengan bosnya sebagai cara bertahan hidup, meski ia mengetahui bahwa bosnya adalah sosok patriarkal yang kerap  bertindak sewenang-wenang pada karyawannya. Bosnya dengan sangat nyaman memukul bokong Nita. 

Bersamaan dengan itu, film ini sekaligus memperlihatkan bahwa perempuan menjadi objek seksual, terlebih dalam relasi kuasa yang terbangun antara bos dengan pekerjanya. Di sini, Fajar Nugros juga menampilkan perempuan dengan keterbatasan ekonomi digambarkan mudah untuk dikendalikan, terutama sebagai pemuas hasrat seksual laki-laki. 

Pilihan atas jalan praktis juga ditunjukkan ketika Nita salah satunya mengusulkan Wulan untuk mengaborsi kandungannya. Namun, Wulan dalam film tersebut mempunyai pilihan untuk melawan sikap bos yang memandang perempuan sebatas objek seksual. Meski Nita memiliki pilihan yang berbeda dengan Wulan, tampak Fajar Nugros mencoba menjelaskan bagaimana realitas yang terjadi atas kemiskinan yang dirasakan di tengah lingkungan kerja yang seksis. 

Secara keseluruhan, Inang tetap berhasil membawakan ‘rasa’ horor Indonesia yang baru di tengah gempuran film horor yang hanya menjual keseraman entitas gaib yang sarat adegan pembunuhan.

Read 4594 times Last modified on Jumat, 28 Juli 2023 22:45