Print this page

Kekerasan di Ruang Privat, Mengapa Terjadi Featured

Written by  Wulan Dwi Agustina Senin, 17 Oktober 2022 11:31
Rate this item
(0 votes)

 

Undang – Undang Nomor 23 tahun 2004, mendefinisikan kekerasan dalam ranah privat atau domestik sebagai kekerasan dalam rumah tangga, yaitu setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Setelah banyaknya pemberitaan terkait kasus kekerasan di ranah publik yang seringkali kita lihat, rupanya hingga saat ini kasus kekerasan di ranah privat atau domestik masih mendominasi.

Jenis kekerasan yang dialami korban pun bermacam- macam mulai dari Kekerasan Fisik, yaitu kekerasan yang melibatkan kontak langsung dan dimaksudkan untuk menimbulkan perasaan intimidasi, cedera, penderitaan fisik lain atau kerusakan tubuh bahkan hingga penghilangan nyawa pada korban. Kekerasan Psikologis, perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, juga penderitaan psikis berat pada seseorang. Misalnya penghinaan, ucapan - ucapan yang menyakitkan atau merendahkan, mengurung seseorang dari dunia luar, mengancam atau menakut-nakuti hingga berdampak pada psikologis berupa sakit hati, perasaan malu, merasa terhina, ketakutan, depresi, bahkan hingga muncul keinginan untuk bunuh diri. Kekerasan Ekonomi yaitu pengendalian kemampuan seseorang untuk memperoleh, menggunakan, dan memelihara sumber daya ekonomi juga financialnya. Mengeksploitasi, juga membatasi seseorang untuk mendapatkan akses keuangan. And Last Kekerasan Seksual yaitu setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa juga relasi gender, yang mengakibatkan penderitaan.

Data dari Catahu Komnas Perempuan tahun 2022, sebanyak 212 kasus KDRT seperti: kekerasan terhadap menantu, sepupu, kekerasan oleh kakak/adik ipar atau kerabat lain, 171 kasus, Kekerasan Mantan Suami 92 kasus, dan Kekerasan terhadap Pekerja Rumah Tangga 5 kasus. Bentuk kekerasan di ranah personal yang paling dominan di antaranya adalah kekerasan psikis sebanyak 2.008 kasus (44%), kekerasan seksual 1.149 kasus (25%), disusul kekerasan fisik 900 kasus (20%) dan terakhir kekerasan ekonomi 520 (11%).

Kasus kekerasan di ranah privat barangkali menjadi masalah kompleks dan jumlah kasusnya terbilang besar. Hanya saja karena kasus ini terjadi di ranah privat seringkali sulit di pantau dan terabaikan. Korban juga seringkali dibebani untuk menemukan alat bukti dan penindakan kasus yang tidak berorientasi pada korban.  Belum lagi untuk kasus- kasus tertentu misalnya KDRT, marital rape, sebagian masyarakat masih menganggap dan memandang persoalan ini sebagai masalah internal keluarga atau rumah tangga yang tidak memerlukan campur tangan pihak lain, bahkan beberapa menganggap hal tersebut sebagai sesuatau yang lumrah terjadi. Yang mengerikannya lagi, kasus- kasus kekerasan tersebut justru dianggap aib, sehingga tidak pantas untuk dilaporkan juga diketahui orang lain ditambah lagi penafsiran akan ajaran agama yang salah juga semakin melanggengkan bentuk- bentuk kekerasan tersebut.

Patut kita pahami bahwasanya kekerasan di ranah privat seringkali menjadikan perempuan sebagai korban, hal tersebut tidak terlepas dari relasi kuasa dan ketimpangan gender yang berlaku di masyarakat. Di masyarakat kita masih sangat kuat anggapan bahwa laki- laki memiliki kedudukan lebih tinggi daripada perempuan. Untuk kasus KDRT juga marital rape misalnya, suami dianggap mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada istri, karenannya suami mempunyai kekuasaan penuh dalam menjalankan rumah tangga. Sehingga apapun yang dilakukan suami atas isterinya termasuk perkosaan dalam rumah tangga atau kekerasan lainnya dianggap adalah hal yang dilumrahkan.

Nilai- nilai patriarki yang masih berlaku sampai saat ini juga salah satu akar penyebab kekerasan, khususnya kekerasan di ranah privat. Benih- benih pemukulan isteri, pasangan misalnya berakar pada posisi perempuan yang dianggap lebih rendah daripada laki- laki. Atau berada di bawah otoritas dan kendali laki- laki. Hubungan laki- laki dan perempuan tersebut kemudian dilembagakan di dalam struktur keluarga yang patriarkal dan didukung oleh system keyakinan. Termasuk system religious yang membuat hubungan semacam itu tampak alamiah, adil, juga suci. Pemahaman- pemahaman yang salah terhadap system juga relasi tersebut sudah seharusnya diputus bersama atau dirubah agar tidak berlanjut menjadi warisan yang semakin melanggengkan kekerasan berbasis gender di ranah privat khususnya.

Tatanan perlindungan yang belum memadai juga menjadi salah satu penyebab kekerasan baik itu kekerasan di ranah publik maupun ranah privat seperti yang sedang dibahas. Sistem hukum yang berlaku baik deri segi subtansi, aparat penegak hukum, maupun budaya hukum yang berlaku di masyarakat kurang responsif terhadap kepentingan perempuan.

UU PKDRT

Pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Artinya UU ini sudah berlangsung selama kurang lebih 18 tahun dalam proses implementasinya. Aturan ini adalah sebuah terobosan hukum yang merupakan bagian dari ikhtiar konstitusional dalam rangka memberikan perlindungan, khususnya terhadap perempuan. Secara sosiologis UU PKDRT dilandasi sebuah rasionalitas bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan adalah perempuan, harus mendapat perlindungan dari negara agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan.

Data Komnas Perempuan menunjukkan tren peningkatan angka kekerasan terhadap perempuan dari tahun ke tahun. Dalam 12 tahun terakhir, kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat 792%, atau 8 kali lipat. Pada tahun 2019 tercatat 431.471 kasus, dengan ranah yang paling berisiko bagi perempuan yaitu kekerasan dalam ranah personal, diantaranya dalam ikatan perkawinan atau dalam rumah tangga (KDRT), dan dalam hubungan personal (hubungan pribadi/pacaran) yaitu sebesar 71% atau sebanyak 9.637 kasus. Bentuk kekerasan terbanyak adalah fisik (41%), dan seksual (31%). Ranah pribadi secara konsisten menempati angka tertinggi dalam lingkup kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan selama 5 tahun terakhir dan tidak sedikit diantaranya mengalami kekerasan seksual. Sejak masa pandemi, angka kekerasan terhadap perempuan menunjukkan kenaikan yang mencapai 75%, sebanyak 14.719 kasus, yaitu 75,4% di ranah personal (11.105 kasus), 24,4% di ranah komunitas (3.602 kasus), dan 0,08% di ranah negara (12 kasus). Dari 3.062 kasus di ranah publik, 58% diantaranya adalah kasus kekerasan seksual. Kasus yang paling banyak terjadi adalah jenis kekerasan fisik (2.123 kasus) dan kekerasan seksual (4.898 kasus). Sementara kekerasan ekonomi mencapai 1.528 kasus dan kekerasan khusus terhadap pekerja migran dan trafficking mencapai 601 kasus. Hingga tahun 2021 kasus kekerasan terhadap perempuan dewasa di Indonesia, berdasarkan data yang diakses melalui SIMFONI-PPA (2 Januari 2022), sebanyak 10.247 kasus. Lima provinsi dengan kasus kekerasan terhadap perempuan dewasa paling tinggi adalah Provinsi Jawa Tengah sebanyak 865 kasus, Jawa Barat dengan 862 kasus, Jawa Timur 858 kasus, DKI Jakarta 700 kasus, dan Sulawesi Selatan 698 kasus.

Kasus KDRT tak kalah menjadi tren telebih dimasa pandemic covid-19 angka kekerasan dalam rumah tangga meningkat drastis. Artinya kita perlu mempertanyakan payung hukum terkait KDRT di negara ini. Apakah sudah relevan? atau dalam proses implementasinya masih banyak mengalami kecacatan. 

Bagaimana Implementasinya Sejauh Ini

Sejumlah riset pemantauan pelaksanaan UU PKDRT telah dilakukan, antara lain oleh Rifka Annisa dan Foundation Open Society Institute (2009) di 6 Provinsi (Jawa Tengah, DKI Jakarta, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Jawa Timur, dan Daerah Istimewa Yogyakarta). Ditemukan adanya praktek-praktek baik yang sudah dilakukan oleh aparat penegak hukum meskipun masih minim; misalnya inisiatif melakukan perlindungan sementara terhadap korban KDRT, dan penetapan perlindungan oleh pengadilan. Praktek lainnya adalah ketika APH, khususnya polisi, mengupayakan menjerat terdakwa perkara KDRT dengan pasal berlapis, dan upaya penggabungan ganti rugi terhadap terdakwa perkara KDRT sebagaimana diupayakan oleh Pengadilan Negeri Semarang. Review pelaksanaan UU PKDRT lainnya juga dilakukan oleh Rifka Annisa dan Forum Pengada Layanan (2015).

Ditemukan bahwa pelaksanaan UU PKDRT belum berjalan maksimal. Selain ada beberapa aturan materil dalam UU PKDRT yang dinilai belum memberikan perlindungan hukum yang maksimal kepada korban KDRT, belum optimalnya penerapan UU ini oleh aparat penegak hukum, serta infrastruktur pendukung juga belum tersedia. Diperlukan kebijakan teknis prosedur penanganan kasus KDRT sejak dari tingkat kepolisian sampai pengadilan dan ketersediaan lembaga pemulihan dan perlindungan bagi korban KDRT.

Hasil kajian pemantauan implementasi UU PKDRT di 11 wilayah di Indonesia tahun 2020 yang dilakukan atas kerjasama Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), Friedrich-Ebert-Stiftung (FES) Indonesia, dan Rifka Annisa menunjukkan bahwa telah ada beberapa capaian, yaitu meningkatnya akses layanan korban, adanya sistem pendataan yang terorganisir, adanya pengembangan sumber daya manusia, peningkatan komitmen pemangku kepentingan, berkembangnya sumber-sumber pendanaan (selain APBN dan APBD), munculnya inisiatif masyarakat/komunitas dalam pencegahan dan penanganan KDRT, sinergisitas organisasi masyarakat sipil dan pemerintah, munculnya berbagai inovasi daerah (misalnya penyelenggaraan visum gratis, kerjasama layanan berjejaring, kerjasama penyediaan rumah aman, desa ramah perempuan dan anak, serta meningkatnya jumlah lembaga layanan). Meskipun demikian, kajian pemantauan implementasi UU PKDRT tahun 2020 tersebut masih menemukan beberapa tantangan dan permasalahan di beberapa aspek, diantaranya:

1. Dukungan sosial: a) Perlindungan korban masih belum optimal, b) Minimnya dukungan kelompok/komunitas bagi korban, c) Perspektif domestik pada KDRT, d) Sistem pencegahan belum komprehensif, dan e) Struktur masyarakat yang bias gender.

2. Sumberdaya manusia: Budaya, Kuantitas, Perspektif.

3. Regulasi/kebijakan: Tidak ada aturan turunan, tidak ada SOP, dan adanya disharmonisasi kebijakan.

4. Sarana dan prasarana: Terbatasnya kuantitas dan kualitas ruang pelayanan khusus, terbatasnya kuantitas dan kualitas shelter, dan sarana dan prasarana terbatas di kabupaten/kota. 5. Anggaran: Keterbatasan anggaran di lembaga yang terkait layanan langsung maupun tidak langsung untuk pencegahan dan penanganan KDRT.

6. Inovasi/pendekatan; Satu arah/top down dan minim partisipasi publik.

7. Koordinasi: Pembagian peran lintas stakeholder di tingkat pusat dan daerah belum optimal, minim koordinasi, dan minim komitmen.

Maka dari temuan tersebut perlu adanya sinergitas kerja bersama untuk terus mendorong implementasi UU PKDRT berjalan dengan baik dan efektif untuk terus mendorong semua pihak untuk menumbuhkan kesadaran bersama bahwa KDRT adalah bagian dari kekerasan HAM dan tidak boleh dinormalisasi.

 

 

 

 

Read 4362 times Last modified on Jumat, 28 Juli 2023 22:46