Setelah sukses terlaksana di Yogyakarta, Pelatihan Fasilitator Pendidikan Kesetaraan Gender Dalam Keluarga kini diselenggarakan di Abepura, Jayapura, Propinsi Papua, oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 28 September-4 Oktober 2016 bersama tim fasilitator dari Rifka Annisa. Turut hadir pula Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise, dalam acara pembukaan pelatihan tersebut.
Pelatihan tersebut diikuti oleh 50 peserta dari aktivis gereja, pendeta, pengurus jemaat, dan mahasiswa. Peserta dibagi menjadi tiga kelompok yaitu kelas ayah, kelas ibu dan kelas remaja. Peserta pelatihan ini nantinya akan menjadi fasilitator diskusi serial di komunitas melalui pendekatan keluarga dengan target pasangan suami-istri dan anak mereka yang masih remaja.
Tim fasilitator dari Rifka Annisa mengajak peserta untuk membongkar kembali dan mendiskusikan tentang relasi dan peran gender yang selama ini ada dalam budaya. Relasi dan peran gender yang adil dan setara dalam keluarga akan berdampak pada penguatan nilai-nilai keluarga yang sehat, positif, dan terhindar dari kekerasan. Manajer Divisi Research and Training Center Rifka Annisa, Muhammad Saeroni, mengatakan bahwa penguatan keluarga tersebut akan memberikan kontribusi terhadap tercapainya ketahanan keluarga. Mengacu pada konsep kerangka ekologis (ecological framework), ketahanan keluarga akan berbanding lurus dengan ketahanan masyarakat dan ketahanan negara. "Penguatan keluarga tentu sangat dibutuhkan untuk peningkatan ketahanan keluarga yang diharapkan akan memberikan dampak positif terhadap ketahanan masyarakat," kata Roni, panggilan akrab Muhammad Saeroni.
Salah satu upaya untuk mencapai penguatan keluarga adalah melalui pendidikan kesetaraan gender di dalam keluarga. Penguatan keluarga melalui pendidikan kesetaraan gender dalam keluarga harus paling tidak menyasar pada perempuan, laki-laki, dan anak remaja dalam keluarga tersebut. Fokus utama dari pendidikan tersebut adalah pada pengetahuan, pemahaman, dan perubahan perspektif serta perilaku terkait nilai dan norma gender.
Roni menambahkan bahwa melalui pendidikan kesetaraan gender dalam keluarga, diharapkan akan terbangun pola komunikasi yang sehat, pola pengasuhan yang tepat, relasi yang setara di antara anggota keluarga yang secara signifikan tentu akan dapat menghindarkan keluarga tersebut dari perilaku-perilaku berisiko termasuk kekerasan. Ketika kesetaraan gender dalam keluarga sudah terjadi, diharapkan akan mengubah konsep laki-laki yang diidentikkan dengan dominasi, kekuatan, dan superioritas, sebaliknya perempuan diidentikkan dengan kelemahan, inferioritas, ketergantungan dan sebagainya, sehingga mereka tidak berada pada kondisi berisiko dari kekerasan.
“Pendekatan keluarga ini penting untuk diterapkan karena seringkali masalah kekerasan berbasis gender berkorelasi dengan persoalan dalam keluarga,” kata Fitri Indra Harjanti, selaku salah satu fasilitator dari Rifka Annisa. Perempuan yang akrab disapa Fitri ini pun menambahkan bahwa melalui pendidikan kesetaraan gender dalam keluarga, diharapkan akan terbangun pola komunikasi yang sehat, pola pengasuhan yang tepat, relasi yang setara di antara anggota keluarga yang secara signifikan tentu akan dapat menghindarkan keluarga tersebut dari perilaku-perilaku berisiko termasuk kekerasan.
Selama pelatihan tersebut berlangsung, selain mendapatkan materi di kelas dan melakukan simulasi di kelas, para calon fasilitator juga diajak untuk mempraktikkan ilmu yang sudah mereka pelajari dengan langsung mengunjungi komunitas dan memfasilitasi diskusi di komunitas tersebut. []
Dua peristiwa terjadi beruntun, dua perempuan kehilangan nyawa, di Yogyakarta yang katanya istimewa. Dua peristiwa ini meneguhkan pernyataan Jaringan Perempuan Yogyakarta di awal 2013 lalu, darurat kekerasan seksual bukanlah sekedar seruan tetapi persoalan yang harus diselesaikan melalui komitmen negara. Kematian seorang mahasiswi saat melahirkan menyentak nuranikita, inikah wajah kemanusiaan kita saat ini? Sedemikian acuhkah kita hari ini? Belum usai duka kita, kemanusiaan kita kembali dikoyak oleh kejadian kekerasan dan pembunuhan perempuan muda.
Media yang semestinya berperan sebagai corong faktual dalam advokasi kekerasan seksual, justru sering melakukan viktimisasi yang tidak mengindahkan kode etik jurnalistik. Dengan penulisan identitas yang jelas dengan penyebutan nama, pemberitaan yang dilakukan secara gamblang melanggar prinsip penghargaan kepada yang sudah mati dan menghilangkan empati pada keluarga korban.
Pemberitaan yang sensasional dan bombastis tidak seharusnya disajikan terutama dalam pemberitaan kedua peristiwa di Yogya belakangan ini. Peran media sebagai sumber berita yang aktual dan faktual tetap penting dan publik harus mampu kritis untuk menjaga peran tersebut berjalan baik.
Di sisi lain, pemerintah yang mempunyai kewenangan pengawasan seringkali lalai melakukan fungsi pengawasannya. Pengawasan publik dan pemerintah terhadap pemberitaan sudah harus bisa mengingatkan dan mengarahkan media untuk bisa melakukan pemberitaan yang lebih berperspektif korban.
Peristiwa tersebut harusnya menjadi lonceng peringatan sekaligus mempertanyakan kembali apa yang terjadi di masyarakat kita. Setidaksensitif itukah kita dan apakah kita akan terus lalai sehingga dua nyawa melayang menggenaskan dan luput dari perhatian kita? Jogja berhati nyaman sudah tidak lagi sejalan dengan realita, seolah kemanusiaan mulai tergerus dalam paradoks pembangunan.
Menyikapi peristiwa ini dan juga pemberitaan yang dilakukan oleh sejumlah media, Jaringan Perempuan Yogyakarta, One Billion Rising, Perempuan Mahardika, dan JPPRT mendesak hal-hal berikut:
1. Kepekaan media dalam memberitakan yang mengedepankan prinsip non diskriminasi dan perlindungan korban, kami menuntut media memberikan koreksi pemberitaan atas berita yang mengabaikan kode etik jurnalistik
2. Komitmen para kepala daerah untuk mengambil sikap dan melakukan aksi nyata pencegahan melalui perluasan informasi dan akses terhadap layanan kesehatan reproduksi dan perlindungan terhadap perempuan
3. Kami menyerukan kepada masyarakat Yogyakarta untuk menghidupkan kembali kepedulian, rasa saling menghormati, melindungi dan menjaga serta kepekaan sosial terhadap sesama warga-sebagai bagian dari identitas Yogyakarta.
Yogyakarta, 5 Mei 2015
Cita Kartini terhadap kaumnya adalah kemerdekaan. Kaum perempuan yang merdeka, kaum perempuan yang dapat menentukan sendiri pilihan-pilihan dalam hidupnya tanpa adanya paksaan atau ketakutan.
Kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia adalah ketika didengungkan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Namun, hingga 2015 ini ternyata belum sepenuhnya perempuan Indonesia merdeka. Sumber data Rifka Annisa WCC menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2014, ada 21 (dua puluh satu) perempuan yang mengalami kekerasan dalam pacaran, perempuan yang belum bebas dari kekerasan.
Kekerasan dalam pacaran adalah fenomena kekerasan terhadap perempuan yang sangat memprihatinkan. Fakta kekerasan dalam pacaran menunjukkan bahwa ternyata perempuan rentan terhadap kekerasan bukan hanya dalam lingkup keluarga, namun dalam hubungan pacaran. Hubungan pacaran yang seyogyanya bertujuan untuk mengenal secara lebih dekat antara laki-laki dan perempuan sebelum memasuki hubungan pernikahan, ternyata malah menjadi arena konflik yang berujung pada tindakan kekerasan.
Bercermin pada pendampingan klien Rifka Annisa yang mengalami kekerasan dalam pacaran, tidak jarang ditemui klien yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan akibat pemaksaan hubungan seksual oleh pacar. Bermula dari kekerasan seksual ini, klien kemudian dinikahkan dengan pacar. Klien berharap akan ada perubahan perilaku dari pacar setelah menikah, namun ternyata tidak. Setelah menikah bukan hanya kekerasan seksual, namun juga kekerasan fisik dan juga psikis. Itulah mengapa penting bagi perempuan untuk mengenali apa itu kekerasan dalam pacaran. Setelah mengenali apa itu kekerasan dalam pacaran, sebagai perempuan yang merdeka, tentunya kita dapat membebaskan diri dan sahabat-sahabat kita dari kekerasan tersebut.
Awal dari kekerasan dalam pacaran adalah perasaan tidak nyaman. Apabila perempuan sudah merasa tidak nyaman dalam suatu hubungan, maka sampaikanlah. Jangan pernah menduga atau merasa orang lain akan tahu apa yang membuat kita merasa tidak nyaman tanpa menyampaikan hal tersebut. Itulah mengapa komunikasi asertif sangat penting dalam suatu hubungan.
Dampak dari kekerasan dalam pacaran bagi perempuan sangat kompleks, terutama pada kasus kehamilan tidak diinginkan. Berbeda dengan laki-laki yang tidak mengalami kehamilan, perempuan yang mengalami kehamilan tidak diinginkan bukan hanya gelisah karena hamil, namun juga perasaan malu dan kekhawatiran menjadi orangtua tunggal pada saat ia tidak siap.
Belum lagi ditambah dengan fakta yang menunjukkan bahwa perempuan yang mengalami kehamilan tidak diinginkan sebagai akibat kekerasan dalam pacaran ketika dilakukan penyelidikan oleh kepolisian, ternyata tidak terbukti ada kekerasan. Temuan polisi karena hubungan tersebut didasari pada rasa suka sama suka. Padahal, tidak ada kesetaraan dalam hubungan. Apalagi jika disertai ingkar janji dari salah satu pihak yang kemudian merugikan pihak lain.
Belajar dari fakta tersebut, penting bagi perempuan untuk bersikap kritis. Penting juga bagi perempuan untuk mempunyai kemerdekaan pemikiran bahwa hubungan antara laki-laki dan perempuan adalah hubungan kesetaraan. Hubungan sebagai partner yang setara, bukan relasi subordinasi antara yang dominan dan yang patuh.
Ketika pacar berperilaku kekerasan dan tidak menunjukkan perubahan perilaku; suka mengancam untuk bunuh diri atau menyebarkan berita kita secara tidak baik, maka berpikirlah ulang tentang hubungan tersebut. Tentunya sebagai perempuan merdeka sebagaimana cita-cita Kartini, kekerasan apapun terhadap perempuan tidak dapat ditolerir. Perempuan yang merdeka harus dapat mengatakan stop terhadap segala macam bentuk kekerasan terhadap dirinya atau terhadap orang lain. Sudah saatnya perempuan bangkit dari relasi tidak setara atas nama cinta atau pun janji manis. Karena pada dasarnya, di balik perempuan yang kuat adalah dirinya sendiri. Diri yang merdeka, yang berani menentukan hidupnya sendiri tanpa rasa takut dan paksaan. (*)
*) Penulis adalah relawan di Divisi Pendampingan Rifka Annisa. Dapat dihubungi melalui email Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya..
Tepat di hari kamis, tanggal 23 April 2015, seorang bapak sedang bercakap dengan anak laki-lakinya perihal sebuah brosur yang menginfokan tentang khitanan massal. Sang Bapak kemudian mengajak anaknya untuk segera mendaftar khitan ke panitia. Awalnya si anak penasaran, mengapa ia harus dikhitan. “Iya karena kamu laki-laki,” jawab Sang Bapak. Si anak pun bersemangat untuk mengikuti khitanan massal tersebut.
Begitulah sepenggal cerita dari drama yang dipentaskan oleh kelompok remaja laki-laki pada sesi awal kegiatan Youth Camp “Pendidik Sebaya untuk Pencegahan dan Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak” 23-26 April 2015 di Dusun Tanjung 1, Desa Bleberan, Kec.Playen. Di sesi tersebut, para peserta diajak untuk menceritakan tentang kapan pertama kali mereka menyadari bahwa dirinya laki-laki. Dengan mementaskan drama tentang khitan, kelompok pertama hendak menyampaikan pesan bahwa mereka menyadari dirinya laki-laki yaitu ketika melakukan khitan. Khitan sebagai bagian dari keharusan yang dilakukan laki-laki demi menjaga kebersihan kelamin sekaligus menjalankan perintah agama, menurut peserta.
Peserta lain mengungkapkan dalam puisinya bahwa menjadi laki-laki itu tidak seperti menjadi perempuan. Menjadi laki-laki tak perlu merasakan sakit ketika melahirkan. Laki-laki dan perempuan memiliki organ kelamin yang berbeda sehingga berimplikasi terhadap fungsi organ. Perempuan bisa melahirkan, laki-laki tidak bisa. Sementara dalam kebiasaan sehari-hari, laki-laki dikatakan (harus) kuat, menjadi pemimpin, dan mencari nafkah. Namun, bagaimana jika ada laki-laki yang tidak seperti itu?
Diskusi tersebut membuka sesi tentang bagaimana seks dan gender pada laki-laki. Fitri Indra Harjanti, selaku fasilitator, menjelaskan bahwa setiap laki-laki memiliki pengalaman yang berbeda-beda. Di masyarakat, laki-laki selalu dilekatkan dengan pelabelan maupun sifat-sifat tertentu. Laki-laki sering terlibat perkelahian, laki-laki dituntut untuk menjadi kuat, laki-laki tak boleh menangis, dan terkadang ketika mengalami persoalan berat pun laki-laki dituntut harus kuat dengan dirinya sendiri.
Seketika seorang peserta meminta perhatian fasilitator dan teman-temannya. Ia menceritakan bagaimana pengalamannya menjadi laki-laki. Begitu susahnya menjadi laki-laki ketika menghadapi persoalan berat dan harus mencari pelarian tapi justru ke hal negatif. Menurut peserta yang tak mau disebutkan namanya ini, ia pernah direhabilitasi karena dulu suka mengonsumsi minuman keras dan obat terlarang. “Para tetangga mencemooh bapak saya,” katanya. Namun, bapaknya tetap menguatkan dengan berpesan bahwa ia tak perlu minder menghadapi hal tersebut. “Dari situ saya sadar. Saya adalah seorang laki-laki yang harus bertanggungjawab apapun yang telah saya lakukan,” tambahnya.
Di kalangan remaja, citra diri dan nilai menjadi laki-laki masih kuat melekat bahwa laki-laki harus seperti itu. Mereka mulai menyadari bahwa laki-laki harus menanggung serentetan tuntutan yang ada di masyarakat. Menjadi laki-laki pun, mereka juga terbebani dengan tuntutan diri maupun tuntutan keluarga. Dan jika tidak bisa, mereka akan dihina, dicemooh, dibulli, dikatakan bahwa mereka bukan laki-laki.
Berbagai opini tentang menjadi laki-laki terungkap di sesi tersebut. Peserta mulai merefleksikan bahwa tidak ada yang lebih mudah maupun lebih sulit tentang menjadi laki-laki dan perempuan. Dari kecil laki-laki sudah terbiasa dengan tuntutan, bahwa laki-laki harus kuat, berani, sedangkan perempuan harus lembut dan penuh kasih sayang. Pemberani, bertanggung jawab dan pekerja keras itu adalah maskulinitas yang positif, yang negative dikembalikan pada diri masing-masing. Akan ada momen dalam hidup yang terkadang mengarahkan kita ke hal negative. Setiap laki-laki diberi pilihan bagaimana mereka merekonstruksi "menjadi laki-laki" ke hal-hal yang lebih positif. Tidak perlu terbebani maupun merasa terancam jika tidak bisa memenuhi tuntutan. Apalagi melakukan kekerasan.
“Sebagai manusia kita banyak emosi, jengkel, marah, cemburu. Ketika suatu saat tumpukan emosi itu keluar, maka akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya berkelahi, mudah marah dan sebagainya,” ungkap Fitri.
"Manusia disebut laki-laki atau perempuan itu secara biologis karena laki-laki memiliki penis dan perempuan memiliki vagina dan rahim. Sementara secara sosial laki-laki dan perempuan bisa berbagi peran dengan yang lain"
Fitri menambahkan, perempuan terkadang bisa lebih ekspresif dan itu dianggap wajar oleh masyarakat. Tetapi kalau laki-laki berbeda. Laki-laki tidak dibiasakan mengekspresikan perasaannya. Akibatnya bisa mengarah ke pelarian yang negatif atau pun berujung kekerasan. Manusia disebut laki-laki atau perempuan itu secara biologis karena laki-laki memiliki penis dan perempuan memiliki vagina dan rahim. Sementara secara sosial laki-laki dan perempuan bisa berbagi peran dengan yang lain, misalnya ketika sudah menikah bisa berbagi tanggung jawab dengan pasangan. Keduanya memiliki sisi feminin dan maskulin, karena itu wajar sebagai manusia.
“Sikap feminin yang dimiliki ayah-ayah kita nanti itu tidak akan menghilangkan sisi kelelakiannya. Ayah kita tetap menjadi laki-laki yang sangat hebat dengan sikap feminin itu,” pungkasnya. (*)