Selasa, 04 Juli 2017 14:37

“Saat suami saya nyapu, dikomentarin tetangga, ‘Wah, kok, rajin bener.’ Terus suami saya jawab, ‘Lha wong laki-laki peduli, kok.’ Saya senang sekali dengar jawaban itu.” Kegembiraan bu Winarni tersebut disampaikan pada FGD evaluasi kelas ibu Kulon Progo, 12 Desember 2015. Selama ini, bu Wiwin, demikian dia akrab disapa, menganggap pekerjaan rumah tangga adalah tugas istri. Rutinitasnya mengerjakan tugas-tugas domestik ia lakukan tanpa bantuan suami. Pekerjaan yang ia rasa cukup berat itu masih ditambah mengurus dua anak laki-laki yang masih kecil.

Kesibukan suami mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga membuat bu Wiwin tidak berani meminta bantuannya dalam mengurus rumah tangga. Pikirnya, bukankah sudah demikian tugas istri dan suami dalam keluarga? Kebiasaan masyarakat dan tafsir Al-Quran yang ia pahami juga menyatakan bahwa tugas istri adalah mengurus rumah tangga, sedangkan tugas suami mencari nafkah. Tidak berbeda dengan Wiwin, Abdillah, sang suami, juga berpendapat demikian. Menurutnya, sebagai pemimpin rumah tangga, dia hanya bertugas mencari nafkah agar kebutuhan keluarga tercukupi.

Pandangan bu Wiwin dan pak Abdi adalah pandangan yang lazim berkembang di masyarakat dan itu diyakini sebagai kodrat Tuhan sehingga tidak bisa diganggu gugat. Lewat obrolan dan diskusi, kami mulai membahas apakah ini kodrat Tuhan atau bukan. Sebagai community organizer (CO) atau pendamping masyarakat dan fasilitator diskusi, saya mengajak para peserta membedakan mana yang kodrat, mana yang bukan. Mulai dari sana, peserta memahami bahwa kodrat adalah suatu hal yang diberikan Tuhan dan tidak bisa diubah, sifatnya universal, tak terbatas ruang dan waktu, misalnya laki-laki memiliki penis dan perempuan memiliki vagina. Selain kodrat, ada juga yang disebut gender, yaitu pandangan atau konstruksi masyarakat yang menempatkan laki-laki dan perempuan pada posisi tertentu, misalnya laki-laki pemimpin, sedangkan perempuan orang yang dipimpin. Perempuan lemah dan laki-laki kuat. Padahal, kondisi tersebut belum tentu benar. Pola pengasuhan, kebiasaan, atau wilayah geografis bisa membuat posisi laki-laki dan perempuan berubah. Tidak selamanya laki-laki memimpin atau kuat, demikian juga tidak selamanya perempuan lemah dan tidak bisa memimpin.

Kami berdiskusi sebulan sekali. Biasanya diadakan di balai desa. Malam hari untuk kelas ayah, menyesuaikan dengan jadwal mereka yang mayoritas bekerja pada siang hari. Kelas ibu biasanya dilakukan pada siang hari ketika para ibu sudah lebih selo[1] dalam menjalankan aktivitas mereka.

Pada setiap diskusi, pak Abdi terlihat menyimak dengan tekun. Beliau selalu mencatat dan mengerjakan pekerjaan rumah (PR) yang diberikan pada akhir sesi. PR yang diberikan, misalnya, mempraktikkan hal-hal yang belum pernah dilakukan sebelumnya terkait dengan materi yang dibahas. Banyak pengalaman menarik yang didapat oleh peserta saat mengerjakan PR, termasuk pak Abdi. Pada sesi Manajemen Marah, beliau menceritakan kesulitannya mengendalikan kemarahan, terutama kepada anak. “Biasanya saya marah jika anak tidak mau mandi dan mengaji. Saya memang tidak memukul tapi suara saya selalu tinggi kalau nyuruh anak sehingga anak-anak takut pada saya. Setelah tahu materi ini, saya mencoba mendekati anak. Saya ajak mereka mandi tetapi mereka tidak mau. Bahkan ketika saya berusaha membujuk, mereka langsung lari ke umi-nya. Begitu juga kalau belajar.” Ini juga berkaitan dengan materi pengasuhan, banyak keluarga yang membebankan soal pengasuhan hanya kepada ibu, sehingga tidak ada kedekatan antara ayah dan anak. Padahal di lain sisi, ibu sangat menginginkan anak-anak dekat dengan ayahnya sehingga mereka bisa berbagi peran.

Materi lain yang sangat menarik bagi bu Wiwin dan pak Abdi adalah komunikasi. “Suami saya itu dulunya pendiam. Sekarang, kalau ada sesuatu, dia mulai berkomunikasi, banyak ngobrol,” ungkap bu Wiwin.

           “Dulu, kalau pergi, saya nggak pernah bilang. Ketika ditanya istri, nggak bisa jawab. Dulu, saya berpikir pergi untuk berbuat baik, jadi nggak perlu pamit dan itu nggak disukai oleh istri. Sekarang saya usahakan pamit kalau ke mana-mana,” curhat pak Abdi.

Peserta-peserta lain juga mengatakan bahwa komunikasi yang mereka lakukan selama ini adalah bicara seperlunya. Komunikasi tidak dimaknai sebagai sebuah hal yang penting dalam membangun keluarga. Yang penting sudah bicara. Kalau marah atau jika tidak suka dengan sesuatu, diekspresikan dengan nada tinggi atau kata-kata kasar, atau kadang hanya diam. Masing-masing beranggapan, dengan demikian pasangan sudah tahu apa yang dimaksud. Saya jelaskan, ada beberapa macam komunikasi: komunikasi pasif, ketika kita lebih banyak diam dalam merespons sesuatu; komunikasi agresif, sikap ataupun ucapan yang bisa memunculkan kekerasan; terakhir, komunikasi yang paling disarankan, yaitu komunikasi asertif, komunikasi dua arah sehingga kedua belah pihak bisa mengutarakan dan memahami pesan dan perasaan satu sama lain.

Pak Abdi dan bu Wiwin mempraktikkan komunikasi asertif. Bu Wiwin mencoba menyampaikan perasaan dan keinginannya. Misal, ketika pak Abdi mengajak berhubungan seksual. “Ketika dia pegang kaki saya panas, saya bilang, ‘Saya capek, Bi, kalau pekerjaan rumah tangga mbok bantu, mungkin jadi nggak akan terlalu capek.’ Saya mengungkapkan sejujurnya. Dan, dia tidak tersinggung.”

“Suami mulai mendekati anak, anak dipangku saat diajari membaca. Ketika sudah mulai dekat dengan sang abi, anak juga mulai bisa mengungkapkan keinginannya, ‘Mbok Abi belajar bikin susu yang enak.’ Setelah belajar membuat susu yang enak dan rasanya sama dengan buatan saya, anak jadi suka. Setelah itu, saya merasa pekerjaan saya lebih ringan,” ungkap bu Wiwin.

Dengan metode reflektif, peserta merefleksikan apa yang terjadi dalam kehidupan mereka. Pola pengasuhan yang mereka terapkan dalam keluarga tidak terlepas dari pola pengasuhan yang mereka dapatkan dari orang tua. Cara lama mendidik anak seperti memukul dan memarahi, membuat anak jauh dari ayah mereka. Sosok ayah hanya menjadi “monster” bagi anak. Tidak hanya itu, dalam hal pekerjaan domestik, mereka juga mencontoh dari para pendahulu. Jika ada pekerjaan domestik yang dianggap sebagai pekerjaan istri, kemudian dilakukan oleh suami, sang suami dinilai layak mendapat celaan atau hinaan.

Sebagai keluarga dengan latar belakang agama yang sangat kuat dan pemahaman yang kaku, perubahan yang terjadi menjadi tidak mudah karena masih adanya nilai-nilai lama yang masih tetap diyakini. Belum lagi kondisi masyarakat yang belum memiliki pemahaman yang sama sehingga tekanan sosialnya tinggi. Laki-laki yang melakukan pekerjaan rumah tangga akan dianggap suami takut istri atau bahkan bukan laki-laki.

Di lain pihak, banyak istri yang ingin melakukan pekerjaan rumah tangga bersama-sama. Pekerjaan rumah tangga memang tidak menghasilkan uang seperti bekerja di pabrik atau kantor. Akan tetapi, jika dihitung jumlah jam dan jenis pekerjaannya, penghasilan istri akan jauh lebih banyak dibandingkan dengan hasil pekerjaan suami. Hal ini diamini oleh semua peserta diskusi. Pada diskusi dengan materi Gender, mereka diminta menghitung jumlah pekerjaan yang dilakukan suami dan istri dalam sehari. Sebelum matahari terbit, istri sudah bangun dan mulai menyiapkan segala kebutuhan anak dan suami. Setelah anak berangkat sekolah dan suami pergi bekerja, istri lanjut mencuci piring dan pakaian, menyapu, kemudian belanja. Setelah itu memasak, menjemput anak sekolah, menemani bermain dan belajar sampai malam. Hampir seluruh waktunya dihabiskan untuk mengurusi rumah sehingga ia tidak memiliki kesempatan untuk merawat atau mengembangkan diri, berbeda dengan para suami yang sedari bangun tidur segala kebutuhannya sudah disiapkan oleh sang istri. Ketika bekerja, mereka masih punya kesempatan untuk mencari hiburan, bahkan mengembangkan diri. Saat pulang ke rumah, mereka masih punya kesempatan untuk bersosialisasi atau melakukan aktivitas lainnya.

Menyadari banyaknya beban istri, pak Abdi mulai melakukan pekerjaan rumah tangga. Beliau membantu memasakkan air untuk mandi anak-anak, menemani mereka belajar, juga menyapu halaman.

Sesuk nek kalian nduwe anak, aku arep ndelok piye carane mendidik anak.”[2] Candaan itu disampaikan para peserta di akhir sebuah diskusi. Sebagai pendamping masyarakat, saya dinilai sudah “selesai” dengan semua persoalan yang menjadi topik dalam diskusi sehingga mereka ingin melihat contoh langsung bagaimana menerapkannya dalam rumah tangga. Saya dan suami selalu berbagi tugas pekerjaan rumah tangga. Mencuci piring, menyapu, dan menjemur pakaian itu tugas suami saya. Saya lebih sering memasak dan mencuci pakaian. Karena belum memiliki anak, kami belum memiliki pengalaman dalam mendidik anak.

“Nah, itu yang susah, Mbak. Niatnya nggak marah atau pukul anak tapi pas anak rewel, kita dalam posisi capek, ada masalah, kadang-kadang nggak sadar membentak. Setelah itu menyesal.” Saya selalu memposisikan diri sejajar dengan peserta. Ketika mereka diminta merefleksikan kehidupan mereka, saya pun melakukannya sehingga tidak ada jarak antara kami. Karena itu pula peserta lebih terbuka dan mempercayakan hal-hal yang dianggap rahasia dalam kehidupan mereka untuk diceritakan dalam forum. Kepercayaan tersebut disepakati sejak awal pertemuan, ada aturan di mana semua peserta bisa menceritakan semua pengalamannya dan pembahasannya cukup dalam forum diskusi saja sehingga tidak menjadi gosip di luar forum.

Latar belakang peserta diskusi sangat beragam, baik dari sisi pendidikan, ekonomi, ataupun pengasuhan. Semua itu memperkaya dinamika forum. Tidak semua peserta bisa menceritakan pengalamannya secara mendalam, tetapi pak Abdi dan bu Wiwin selalu antusias menceritakan pengalaman dan perubahan yang mereka alami pada setiap sesi. Ini di luar dugaan saya. Awal bertemu dengan pasangan ini saya mengira mereka akan sulit menerima materi-materi yang akan dibahas di kelas diskusi. Kenyataannya, mereka cukup aktif dan mau mencoba melakukan hal-hal yang ditawarkan.

           Diskusi dua jam di komunitas hanyalah salah satu cara untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa membangun keluarga tanpa kekerasan bisa diciptakan. Lewat tema-tema diskusi, masyarakat diajak untuk mengubah cara pandang dan menciptakan nilai baru. Pembagian kerja dan komunikasi yang baik dalam keluarga akan meminimalisasi terjadinya kekerasan. Setidaknya itu yang dirasakan oleh pak Abdi dan bu Wiwin. Kini mereka bisa membahas banyak hal terkait perasaan sampai perencanaan keluarga. Anak-anak juga memiliki kedekatan emosional, tidak hanya pada umi tetapi juga pada abi. Mungkin masih terlalu dini untuk mengatakan bahwa pasangan ini telah sukses membangun keluarga tanpa kekerasan, tapi setidaknya mereka mau mengupayakan agar situasi seperti ini bisa terus terjaga selamanya.


[1] longgar waktunya

[2]Besok jika kalian punya anak, saya mau lihat caranya mendidik.”

Jumat, 09 Jun 2017 12:12

DSC_0025_-_Copy.JPG

Istri pertama saya HP.” Komentar ini saya dengar dari Dwi Hastanto, salah satu peserta diskusi kelas ayah, bapak dari seorang anak perempuan berusia 2,5 tahun. Ungkapan senada juga saya dengar langsung dari istrinya, Hana, di sesi diskusi kelas ibu, “Dia lebih suka dengan HP daripada dengan saya.”

Hana dan Dwi menikah tiga tahun yang lalu, setelah berpacaran selama lima tahun. Mereka tinggal di Desa Bendung, Kecamatan Semin, Kabupaten Gunungkidul, bersama keluarga Hana. Perempuan bertubuh kurus tinggi ini merupakan anak tertua dari tiga bersaudara, adiknya laki-laki semua. Hubungan mereka dengan orang tuanya sangat dekat, mereka saling terbuka, dan pekerjaan rumah selalu dilakukan bersama. Kondisi inilah yang membuat Hana lebih betah tinggal di rumah orang tuanya sendiri dibandingkan dengan tinggal bersama mertua yang otoriter dan tidak hangat. 

Sayangnya kebahagiaan ini hanya dirasakan pada minggu pertama awal pernikahan saja. Setelah itu, pernikahan mereka sering diwarnai pertengkaran. Pemicu utamanya adalah HP. Perselingkuhan pada masa pacaran ternyata masih berlanjut. Melalui HP, Dwi berhubungan dengan selingkuhannya dan teman-teman perempuan lainnya. Dia selalu menanggapi setiap curhatan teman-teman perempuannya. Namun, ketika Hana mengajak bicara, tidak pernah ditanggapi. Hana pernah berkata, “Daripada ngobrol sama temanmu, lebih baik ngobrol dengan aku, istrimu.” Dwi menjawab, “Yo ra asik[1], HP ini satu-satunya hiburanku.”

Beberapa kali Hana meminjam HP mas Dwi tetapi selalu ditolak dengan berbagai alasan. Kalaupun dipinjami, semua pesan sudah dihapus. Namun, Hana tetap mencoba menelisik, dengan cara memindah kartu Dwi ke HP Hana. Di HP Hana, muncullah semua percakapan itu. Hal ini membuatnya sangat marah dan melempar HP ke arah suaminya, bahkan pernah juga ia membanting HP suaminya tetapi Dwi diam saja. Sikap diam ini semakin membuat Hana marah dan tidak mengetahui isi hati suaminya.

Ketika mengetahui dirinya hamil, Hana sempat tidak menginginkan kehamilan ini karena jengkel pada suami. Kandungannya tidak dijaga dengan baik. Ia masih suka pecicilan, misalnya memanjat pohon. Dwi pun tidak pernah menanyakan kondisi kehamilannya. Meskipun empat kali mendampingi periksa kehamilan, ia tidak pernah mempedulikan kesehatan istri dan janin yang dikandungnya. Ketika melahirkan, Dwi memang mendampingi istrinya melahirkan tetapi bukannya mendukung Hana, ia malah bergurau dengan anak-anak sekolah yang sedang praktik di sana. Kekesalan dan kekecewaan Hana pun memuncak. “Tahu gini nggak usah hamil,” ujarnya.

Pasca-melahirkan Hana merasa bahagia meskipun awalnya tidak menginginkan bayi itu. Perasaannya berubah ketika melihat kelucuan bayinya. Pertengkaran pun sedikit mereda karena perhatian mereka beralih ke si buah hati. Dwi pun terlihat bahagia dan mau mencuci pakaian meskipun hanya lima hari. Setelah itu segala pekerjaan rumah tangga dilakukan Hana sendiri. Sampai buah hatinya berusia dua tahun, kondisinya belum berubah. Sehari-hari Hana mengajar di TK dan Dwi mengajar di madrasah aliyah swasta dan pada malam hari berjualan angkringan. Sang putri kecil selalu diajak Hana ke sekolah agar bisa bermain dengan anak-anak seusianya. Pulang dari sekolah, Hana melakukan semua pekerjaan rumah tangga dan mempersiapkan masakan yang akan dijual di angkringan. Hal ini dilakukannya sambil mengasuh anak. Meski repot dan Dwi sama sekali tidak mau membantu, ia tetap menjalaninya

Sepulang mengajar, Dwi tidur atau berkutat dengan HP-nya, tanpa memedulikan kondisi rumah ataupun anaknya. Jika anak mendekat, Dwi malah menjauh, “Kono karo ibukmu.[2] Kondisi ini membuat perempuan berjilbab ini merasa lelah dan marah. “Perasaan saya sebenarnya jengkel, punya suami itu nggak enak, maunya enak sendiri. Kalau secara fisik, sih, dia emang nggak pernah mukul tetapi kalau diminta bantu, katanya sudah capek dengan pekerjaannya,” ujar Hana dengan nada tinggi, saat itu diskusi kelas ibu sedang membahas pembagian peran dalam rumah tangga. Saya bisa merasakan kemarahan Hana. “Pernah, lho, Mbak, ketika anak saya berusia dua bulan, saya taruh saja dia di atas tanah agar saya bisa menyapu halaman rumah. Terkadang, ketika anak rewel, saya biarkan anak menangis lama, dengan harapan suami mau mengangkat dan menenangkan anak itu, tetapi suami sama sekali tidak peduli.” Pada puncak kemarahannya, Hana mengungkapkan penyesalannya menikah dengan Dwi, “Tapi mas Dwi diam saja.”

Sebagai perempuan bekerja dan memiliki anak, saya bisa merasakan posisi Hana. Beban ganda memang berat. Saya merasa beruntung karena sangat didukung oleh suami. Meskipun saya mengisi diskusi pada hari Minggu, suami tidak berkeberatan. Dia akan mengasuh anak di rumah. Pernah suatu kali tetangga berkomentar, “Bundane ke mana? Wah mesakke yo hari libur ditinggal bundane. Lha trus mangane kepiye? Sek ngadusi sopo?[3] Dengan enteng, suami saya menjawab, “Ya, saya sendiri yang melakukan, bundanya ada jadwal kerja.” Bahkan ketika saya banyak melewati hari libur di komunitas, suami dan anak saya akan dengan senang hati ikut meski dengan jarak tempuh dua jam, bahkan dalam kondisi hujan. Kami bahagia melalui itu semua. Kami anggap itu berlibur ke desa, menikmati alam.

Persoalan HP selalu menjadi pemicu percekcokan dalam rumah tangga mereka. “Yang sering dipermasalahkan oleh istri saya adalah HP. Bagi saya, HP itu istri pertama. Istri kedua yang ada di rumah. Kenapa? Karena HP ini selalu menemani ke mana pun saya pergi.” Mereka menyadari, putri kecilnya akan menjauh ketika terjadi percekcokan. Miskomunikasi sering terjadi antara keduanya. “Meskipun bertemu setiap hari tetapi jarang sekali ngobrol,” ujar pria perokok ini pada sesi diskusi tentang komunikasi yang difasilitasi Thonthowi. Kondisi ini diperburuk dengan minimnya waktu bersama di antara mereka. Setiap hari Dwi mengajar, pulang lalu tidur, jam empat sore hingga jam dua dini hari berjualan angkringan. Sepulang berjualan, anak dan istri sudah tidur. Pagi hari ia sibuk mempersiapkan keperluan mengajar. Hana sendiri merasa tidak tenang selama suaminya bekerja satu kantor dengan selingkuhannya. Saat tidur pun pikiran Hana tetap ke suami, kecurigaan itu selalu muncul. “Jangan-jangan, selama berjualan angkringan, suami leluasa berkomunikasi dengan selingkuhan dan teman-teman perempuan lainnya.” Hal ini berdampak pada tubuhnya yang semakin kurus.   

Sensitivitas dan kesadaran Dwi akhirnya muncul. Hal itu diakuinya setelah mengikuti diskusi dua jam di komunitas, utamanya pada sesi komunikasi dan pembagian peran dalam rumah tangga, puncaknya pada meeting couple. Meeting couple memang didesain untuk membantu pasangan mengungkapkan hal-hal yang selama ini tidak bisa dikomunikasikan dengan baik, baik itu masalah pengasuhan, pembagian peran dalam rumah tangga, komunikasi, seksualitas, apa yang disuka dan tidak disuka dari pasangan, dan persoalan lainnya sehingga mereka bisa saling mengerti dan memahami apa yang dirasakan pasangan yang selama ini tidak pernah diungkapkan dan tidak dikomunikasikan dengan baik.

Semenjak itu, muncul komitmen darinya untuk memperbaiki hubungan dengan istri, dimulai dengan mengubah pola komunikasi. Meski awalnya terasa canggung, akhirnya mereka berhasil mencairkan komunikasi yang selalu diawali oleh istrinya. Sehari-hari Hana memang selalu bercerita tentang anak dan aktivitas hariannya kepada suami. Pada mulanya ia hanya mendapat respons sekadarnya, bahkan kadang tidak mendapat respons sama sekali, lama-kelamaan Dwi menanggapinya dengan baik. “Saya ingat pertama kali kami bisa ngobrol dengan lancar itu ketika saya membahas soal Lintang, anak kami. ‘Besok Lintang kita sekolahkan di mana, ya? Pendidikan seperti apa yang akan kita berikan?’” Dwi menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Seterusnya, apa pun yang dibicarakan Hana, Dwi akan merespons dan memberikan masukan. Bahkan, saat ini, Dwi sudah mulai bercerita terlebih dahulu tentang pekerjaannya. Hal ini membuat Hana bahagia karena tahu apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh suaminya. Situasi ini didukung berkurangnya Dwi memegang HP dan semakin banyaknya waktu Dwi untuk keluarga. Saat ini, Dwi memutuskan untuk tidak mengajar dan berjualan angkringan lagi. Ia ingin fokus berdagang buah di pasar dari pagi hingga sore. “Agar lebih banyak waktu untuk keluarga,” ujar laki-laki berambut cepak ini. “Ya masih pegang HP, sih, Mbak, tapi untuk urusan pekerjaan saja, tidak lagi menanggapi BBM curhat teman-teman perempuannya,” tambah Hana.

“Dulu saya beranggapan laki-laki jangan sampai melakukan pekerjaan di rumah. Sekarang saya memahaminya berbeda, pikiran itu ternyata keliru,” ujar Hana pada sesi pembagian peran dalam rumah tangga, “Saat ini, pekerjaan rumah dilakukan suami tanpa menunggu permintaan saya. Sesudah makan sekarang ia mau mencuci piring sendiri. Ketika melihat rumah belum disapu, Dwi akan menyapu. Ketika melihat pakaian belum dicuci pun, dengan serta-merta dia mencucinya. Kalau mau makan, tidak perlu disiapkan. Kalau tidak ada lauk, ya, dia mau bikin sendiri atau beli di warung. Itu yang saya suka dari mas Dwi,” ujar perempuan lulusan sarjana ini. Perasaan kecewa dan kekesalan Hana pun berkurang. Hal ini berdampak pada hubungan intim dengan suaminya, ia mulai menikmati ketika berhubungan intim dengan suaminya karena ada rasa nyaman dan tenang. Dulu, hal itu dilakukan karena terpaksa, “Cuma karena kewajiban sebagai istri saja, Mbak.” Dulu, Hana pernah menolak beberapa kali hingga membuat Dwi marah besar.

Tidak hanya istri, kepada putri semata wayangnya pun sikap Dwi berubah. Meskipun pada awalnya sang anak menolak, dengan dukungan Hana, Lintang mau mendekat. Hana memberi penjelasan kepada Lintang, “Kono pakpung kaleh bapak, ibu lagi repot masak,”[4] atau Kono tumbas kaleh bapak, ibu lagi nyapu.[5] Lama-lama Lintang terbiasa dengan ayahnya. Apalagi saat ini ayahnya sering membelikan makanan ketika pulang, ngeloni saat tidur. Bahkan, sekarang, ketika mau tidur Lintang selalu menanyakan ayahnya. Meskipun merasa repot karena anak ingin selalu dekat dengannya, Dwi bahagia. Pernah suatu hari dia berdua saja dengan putri kecilnya di rumah, istrinya sedang ke Wonosari menghadiri rapat. Hari itu dia berencana membuat kandang ayam. Rencana itu batal total karena ketika hendak bekerja, ia selalu saja dipanggil putri kecilnya untuk diajak main ini dan itu, minta digendong. Hingga sore, tidak satu pun pekerjaan terselesaikan. Meskipun kesal, dia merasa bahagia karena merasa dibutuhkan buah hatinya. Dari kejadian itu dia pun merasakan ternyata mengasuh anak tidak mudah, ia bisa merasakan kerepotan istrinya sehari-hari mengasuh anak sendirian. 

Ketidakdekatan Dwi dengan anak ini bukan tanpa alasan. Dwi kecil tidak dekat dengan ayahnya. Sikap ayahnya yang otoriter dan kesukaannya menjewer membuat anak-anak takut. Sesi pengasuhan membuatnya berefleksi pengalamannya diasuh ketika kecil. Hal yang diingat dari bapak adalah uang. “Ketika SMA, saya tinggal di kos dan waktu itu, setiap Sabtu sore saya pulang dan berangkat lagi Senin pagi. Pada sebuah Sabtu, sepulang dari sekolah, saya melihat uang di meja kamar saya. Ayah menaruhnya di situ untuk bekal sekolah. Biasanya, ibu yang memberikan uang, walaupun uangnya dari ayah.” Hal ini sangat berkesan baginya karena sang ayah tidak pernah berkomunikasi dengannya. Menginjak dewasa, Dwi diajari ayahnya untuk tidak dekat dengan anak karena kalau dekat dengan anak, ia tidak bisa ke mana-mana. Namun, Dwi menampik itu semua. Kedekatan dengan anak membuatnya lebih bahagia dan anakpun sayang padanya. “Semenjak ikut Rifka, anak maunya dengan saya terus,” ujarnya.

Saya yakin perubahan memang tidak mudah dilakukan tetapi sangat mungkin jika ada niat dan terus berusaha, serta ada dukungan dari pasangan. “Dulu terjadi miskomunikasi dengan istri, saya masuk rumah dia keluar rumah. Sekarang berbeda, kami menjadi dekat. Kepercayaan istri juga mulai terbangun setelah saya memutuskan teman selingkuh saya. Dulu, istri saya anggap istri kedua, istri pertama HP. Saat ini, akhirnya saya bisa mengesampingkan HP. Kepercayaan istri dan kedekatan kami semakin terbangun,” komentar Dwi pada sesi evaluasi diskusi.

Kondisi inilah yang kita harapkan bagi pasangan yang mengikuti diskusi, hubungan mereka semakin harmonis dan bahagia. Dalam keluarga yang sehat, anak akan tumbuh bahagia tanpa kekerasan. Hal ini bisa terwujud dengan adanya relasi yang sehat dan berbagai saling: saling mengerti, saling menghargai, saling terbuka, saling percaya, saling membantu, saling mengingatkan, saling dukung, saling menyayangi dan mencintai, saling memberi dan menerima, dan saling-saling lainnya.


[1] nggak asyik

[2] “Sana, sama ibumu.”

[3] “Bundanya ke mana? Wah kasihan, ya, hari libur ditinggal bundanya. Lalu makannya bagaimana? Yang memandikan siapa?”

[4] “Sana mandi sama bapak, ibu sedang repot masak,”

[5] “Sana beli (jajan) sama bapak, ibu sedang menyapu.”

Selasa, 25 Oktober 2016 21:12

IMG-20160930-WA0012.jpg

Setelah sukses terlaksana di Yogyakarta, Pelatihan Fasilitator Pendidikan Kesetaraan Gender Dalam Keluarga kini diselenggarakan di Abepura, Jayapura, Propinsi Papua, oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 28 September-4 Oktober 2016 bersama tim fasilitator dari Rifka Annisa. Turut hadir pula Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise, dalam acara pembukaan pelatihan tersebut.

Pelatihan tersebut diikuti oleh 50 peserta dari aktivis gereja, pendeta, pengurus jemaat, dan mahasiswa. Peserta dibagi menjadi tiga kelompok yaitu kelas ayah, kelas ibu dan kelas remaja. Peserta pelatihan ini nantinya akan menjadi fasilitator diskusi serial di komunitas melalui pendekatan keluarga dengan target pasangan suami-istri dan anak mereka yang masih remaja.

Tim fasilitator dari Rifka Annisa mengajak peserta untuk membongkar kembali dan mendiskusikan tentang relasi dan peran gender yang selama ini ada dalam budaya. Relasi dan peran gender yang adil dan setara dalam keluarga akan berdampak pada penguatan nilai-nilai keluarga yang sehat, positif, dan terhindar dari kekerasan. Manajer Divisi Research and Training Center Rifka Annisa, Muhammad Saeroni, mengatakan bahwa penguatan keluarga tersebut akan memberikan kontribusi terhadap tercapainya ketahanan keluarga. Mengacu pada konsep kerangka ekologis (ecological framework), ketahanan keluarga akan berbanding lurus dengan ketahanan masyarakat dan ketahanan negara. "Penguatan keluarga tentu sangat dibutuhkan untuk peningkatan ketahanan keluarga yang diharapkan akan memberikan dampak positif terhadap ketahanan masyarakat," kata Roni, panggilan akrab Muhammad Saeroni.

Salah satu upaya untuk mencapai penguatan keluarga adalah melalui pendidikan kesetaraan gender di dalam keluarga. Penguatan keluarga melalui pendidikan kesetaraan gender dalam keluarga harus paling tidak menyasar pada perempuan, laki-laki, dan anak remaja dalam keluarga tersebut. Fokus utama dari pendidikan tersebut adalah pada pengetahuan, pemahaman, dan perubahan perspektif serta perilaku terkait nilai dan norma gender. 

Roni menambahkan bahwa melalui pendidikan kesetaraan gender dalam keluarga, diharapkan akan terbangun pola komunikasi yang sehat, pola pengasuhan yang tepat, relasi yang setara di antara anggota keluarga yang secara signifikan tentu akan dapat menghindarkan keluarga tersebut dari perilaku-perilaku berisiko termasuk kekerasan. Ketika kesetaraan gender dalam keluarga sudah terjadi, diharapkan akan mengubah konsep laki-laki yang diidentikkan dengan dominasi, kekuatan, dan superioritas, sebaliknya perempuan diidentikkan dengan kelemahan, inferioritas, ketergantungan dan sebagainya, sehingga mereka tidak berada pada kondisi berisiko dari kekerasan.

“Pendekatan keluarga ini penting untuk diterapkan karena seringkali masalah kekerasan berbasis gender berkorelasi dengan persoalan dalam keluarga,” kata Fitri Indra Harjanti, selaku salah satu fasilitator dari Rifka Annisa. Perempuan yang akrab disapa Fitri ini pun menambahkan bahwa melalui pendidikan kesetaraan gender dalam keluarga, diharapkan akan terbangun pola komunikasi yang sehat, pola pengasuhan yang tepat, relasi yang setara di antara anggota keluarga yang secara signifikan tentu akan dapat menghindarkan keluarga tersebut dari perilaku-perilaku berisiko termasuk kekerasan.

Selama pelatihan tersebut berlangsung, selain mendapatkan materi di kelas dan melakukan simulasi di kelas, para calon fasilitator juga diajak untuk mempraktikkan ilmu yang sudah mereka pelajari dengan langsung mengunjungi komunitas dan memfasilitasi diskusi di komunitas tersebut. []

 

IMG-20160930-WA0011.jpg

45956591
Today
This Week
This Month
Last Month
All
5052
64114
115477
279406
45956591