Rifka Annisa WCC bekerja sama dengan Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Gunungkidul untuk menyelenggarakan Workshop “Sistem Berbasis Sekolah untuk Pencegahan dan Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak” pada Kamis—Sabtu, 25– 27 Agustus 2016. Peserta dalam kegiatan ini berjumlah 20 guru dari beberapa SMP dan SMK di Gunungkidul antara lain; SMK N I Wonosari, SMK N Saptosari, SMK N I Gedangsari, SMK N I Ngawen, SMK N 3 Wonosari, SMP N 4 Wonosari, SMA N 2 Wonosari, dan SMP 1 Semanu. Kegiatan yang berlangsung selama tiga hari ini bertujuan untuk memahami dinamika psikologi dan karakter remaja serta memahami penyebab/akar terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak. Selain itu kegiatan ini juga bertujuan untuk memperoleh gambaran pengalaman dari masing-masing sekolah tentang pencegahan dan penanganan kekerasan yang telah dilaksanakan.
Kegiatan workshop guru yang bertempat di @HOM Platinum Hotel, Jl. Gowongan Kidul No. 57 Yogyakarta ini didasari oleh hasil evaluasi kegiatan pendampingan dengan sekolah dan penelitian mengenai kekerasan seksual di Gunungkidul. Rifka Annisa memandang penting adanya sistem berbasis sekolah terkait pencegahan dan penanganan kekerasan dan kekerasan seksual. Hal ini juga senada dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 82 Tahun 2015, tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Sehingga ketika berbicara terkait sistem tersebut, maka penguatan masing-masing unsur di dalam sekolah perlu dilakukan. Unsur tersebut terdiri dari kepala sekolah, guru, serta murid. Diantara peran guru sebagai pendidik, pengajar, dan pembimbing, sesuai dengan UU no. 14 tahun 2005, membuat guru memiliki intensitas yang tinggi dalam berinteraksi dengan peserta didik. Sehingga, guru mempunyai peran yang cukup penting dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan.
Diawal sesi hari pertama, Rifka Annisa mengundang Dra. Mutingatu Sholichah, M.Si, (Staf pengajar Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta dan Pendamping Kekerasan seksual intervensi konseling orangtua, guru, dan anak) sebagai narasumber untuk menyampaikan Dinamika psikologi remaja dan pentingnya peran sekolah dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Dilanjutkan hari kedua membahas tentang relasi kuasa dan ketidakadilan gender. Indiah Wahyu Andari salah satu fasilitator menjelaskan,“ Konstruksi sosial yang ada di masyarakat selama ini menempatkan perempuan pada posisi lebih rendah dibandingkan laki-laki. Perempuan dilekatkan pada peran-peran domestik, dan laki-laki lebih pada peran public.” Indiah Juga menambahkan bahwa akar penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah adanya relasi kuasa, atau relasi yang timpang (tidak setara) antara satu sama lain dan konstruksi gender yang tidak adil. Diantara hal-hal yang mempengaruhi relasi kuasa tersebut adalah tingkat pendidikan, status sosial, senior-junior, usia, pekerjaan, status kesehatan, status ekonomi, mayoritas-minoritas, dan lain sebagainya.
Pada sesi malam peserta diajak praktek tehnik self healing untuk terapi korban kekerasan. Antusias peserta sangat terlihat ketika mereka menggambarkan mimpi kedepan apa saja yang ingin dilakukan. Hari ketiga membahas tentang konseling dan pendampingan, dilanjutkan dengan pembahasan rencana tindak lanjut, kemudian ditutup dengan evaluasi kegiatan.[]
Cita Kartini terhadap kaumnya adalah kemerdekaan. Kaum perempuan yang merdeka, kaum perempuan yang dapat menentukan sendiri pilihan-pilihan dalam hidupnya tanpa adanya paksaan atau ketakutan.
Kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia adalah ketika didengungkan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Namun, hingga 2015 ini ternyata belum sepenuhnya perempuan Indonesia merdeka. Sumber data Rifka Annisa WCC menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2014, ada 21 (dua puluh satu) perempuan yang mengalami kekerasan dalam pacaran, perempuan yang belum bebas dari kekerasan.
Kekerasan dalam pacaran adalah fenomena kekerasan terhadap perempuan yang sangat memprihatinkan. Fakta kekerasan dalam pacaran menunjukkan bahwa ternyata perempuan rentan terhadap kekerasan bukan hanya dalam lingkup keluarga, namun dalam hubungan pacaran. Hubungan pacaran yang seyogyanya bertujuan untuk mengenal secara lebih dekat antara laki-laki dan perempuan sebelum memasuki hubungan pernikahan, ternyata malah menjadi arena konflik yang berujung pada tindakan kekerasan.
Bercermin pada pendampingan klien Rifka Annisa yang mengalami kekerasan dalam pacaran, tidak jarang ditemui klien yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan akibat pemaksaan hubungan seksual oleh pacar. Bermula dari kekerasan seksual ini, klien kemudian dinikahkan dengan pacar. Klien berharap akan ada perubahan perilaku dari pacar setelah menikah, namun ternyata tidak. Setelah menikah bukan hanya kekerasan seksual, namun juga kekerasan fisik dan juga psikis. Itulah mengapa penting bagi perempuan untuk mengenali apa itu kekerasan dalam pacaran. Setelah mengenali apa itu kekerasan dalam pacaran, sebagai perempuan yang merdeka, tentunya kita dapat membebaskan diri dan sahabat-sahabat kita dari kekerasan tersebut.
Awal dari kekerasan dalam pacaran adalah perasaan tidak nyaman. Apabila perempuan sudah merasa tidak nyaman dalam suatu hubungan, maka sampaikanlah. Jangan pernah menduga atau merasa orang lain akan tahu apa yang membuat kita merasa tidak nyaman tanpa menyampaikan hal tersebut. Itulah mengapa komunikasi asertif sangat penting dalam suatu hubungan.
Dampak dari kekerasan dalam pacaran bagi perempuan sangat kompleks, terutama pada kasus kehamilan tidak diinginkan. Berbeda dengan laki-laki yang tidak mengalami kehamilan, perempuan yang mengalami kehamilan tidak diinginkan bukan hanya gelisah karena hamil, namun juga perasaan malu dan kekhawatiran menjadi orangtua tunggal pada saat ia tidak siap.
Belum lagi ditambah dengan fakta yang menunjukkan bahwa perempuan yang mengalami kehamilan tidak diinginkan sebagai akibat kekerasan dalam pacaran ketika dilakukan penyelidikan oleh kepolisian, ternyata tidak terbukti ada kekerasan. Temuan polisi karena hubungan tersebut didasari pada rasa suka sama suka. Padahal, tidak ada kesetaraan dalam hubungan. Apalagi jika disertai ingkar janji dari salah satu pihak yang kemudian merugikan pihak lain.
Belajar dari fakta tersebut, penting bagi perempuan untuk bersikap kritis. Penting juga bagi perempuan untuk mempunyai kemerdekaan pemikiran bahwa hubungan antara laki-laki dan perempuan adalah hubungan kesetaraan. Hubungan sebagai partner yang setara, bukan relasi subordinasi antara yang dominan dan yang patuh.
Ketika pacar berperilaku kekerasan dan tidak menunjukkan perubahan perilaku; suka mengancam untuk bunuh diri atau menyebarkan berita kita secara tidak baik, maka berpikirlah ulang tentang hubungan tersebut. Tentunya sebagai perempuan merdeka sebagaimana cita-cita Kartini, kekerasan apapun terhadap perempuan tidak dapat ditolerir. Perempuan yang merdeka harus dapat mengatakan stop terhadap segala macam bentuk kekerasan terhadap dirinya atau terhadap orang lain. Sudah saatnya perempuan bangkit dari relasi tidak setara atas nama cinta atau pun janji manis. Karena pada dasarnya, di balik perempuan yang kuat adalah dirinya sendiri. Diri yang merdeka, yang berani menentukan hidupnya sendiri tanpa rasa takut dan paksaan. (*)
*) Penulis adalah relawan di Divisi Pendampingan Rifka Annisa. Dapat dihubungi melalui email Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya..