Setidaknya dalam 3 tahun terakhir, kasus kekerasan terhadap anak terus meningkat signifikan.
Merujuk data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), pada 2019 jumlah kasus kekerasan terhadap anak tercatat sebanyak 11.057 kasus. Pada 2020, meningkat 221 kasus menjadi sejumlah 11.278. Tahun berikutnya, naik menjadi 14.517 kasus. Peningkatan signifikan juga terjadi pada 2022 yang mencapai 16.106 kasus (Republika, 2023).
Sejalan dengan temuan itu, data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 3 tahun terakhir, Indonesia selalu masuk ke dalam Top 3 pelanggaran hak anak, sebagaimana disampaikan oleh Ketua KPAI Ai Maryati Solihah (Detik News, 2023).
Adapun dari kasus-kasus kekerasan tersebut, jenis kekerasan yang paling banyak dialami oleh anak-anak didominasi oleh kekerasan seksual. Terbaru, pada 2022, dari 16.106 kasus yang terjadi, 9.588 di antaranya atau sebesar 60 persen, merupakan kekerasan seksual.
Rentetan kasus-kasus demikian sudah lebih dari cukup untuk menunjukkan bahwa darurat kekerasan seksual pada anak terjadi demikian masif. Pertanyaannya, mengapa anak kerap terjerat kasus kekerasan seksual?
Kerentanan Anak terhadap Kekerasan Seksual
Bukan tanpa sebab, kerentanan anak dalam mengalami kekerasan ini tidak terlepas dari sosok anak yang dianggap lemah di tengah lingkungan sosial masyarakat.
Psikolog Sri Hertinjung menerangkan, anak berisiko tinggi terhadap kekerasan seksual lantaran belum memiliki kekuatan maupun pengetahuan, juga belum bisa mengambil keputusan (Septiani, 2021).
Hal tersebut juga kemudian berkaitan dengan kerentanan mental anak yang lebih mudah diberikan ancaman, paksaan, maupun bujuk rayu menggunakan manipulasi psikologi. Sehingga, anak-anak sebagai individu yang belum mencapai taraf kedewasaan dan belum mampu menilai sesuatu sebagai tipu daya atau bukan, lebih mudah untuk diarahkan mengikuti keinginan pelaku.
Kasus-kasus yang menunjukkan praktik tipu daya tersebut antara lain diwartakan oleh KompasTV (2022), bahwa pelaku umumnya menggunakan modus tertentu untuk melancarkan aksinya.
Misalnya, modus mengisi tenaga dalam dengan cara memijat, memberikan ilmu sakti (khodam), berdalih mengajarkan fiqih akil baligh dan tata cara bersuci. Selain itu, ada pula modus dengan mengajak ritual kemben untuk menyeleksi tenaga kesehatan, hingga tindakan mengancam korban akan dikeluarkan dari ekstrakurikuler jika tidak mau mengikuti kemauan pelaku.
Pada posisi ini, pun anak tidak memiliki keberanian untuk menolak–apalagi jika pelaku merupakan orang terdekat atau orang yang dikenalnya. Terlebih, ditinjau dari hubungan antara pelaku dengan korban, seringkali pelaku merupakan orang dengan posisi superior, seperti guru, pimpinan, pemuka agama, dan orang tua. Situasi ini yang membuat anak berpotensi lebih besar menjadi korban kekerasan seksual dibandingkan usia dewasa (The Conversation, 2023).
Dinamika Psikologis Anak Korban Kekerasan Seksual
Tidak main-main, anak yang mengalami kekerasan seksual beresiko mengalami kerusakan psikologis. Profesor psikiatri Frank W. Putnam menyatakan bahwa trauma kekerasan seksual pada masa kanak-kanak terbukti memiliki konsekuensi psikologis negatif jangka panjang, baik bagi laki-laki maupun perempuan korban kekerasan seksual (Rini, 2020).
Secara garis besar, anak berpotensi mengalami efek goncangan psikologis hebat, yang terbagi ke dalam efek psikologis jangka pendek dan jangka panjang.
Psikolog Bruce Arnow menerangkan bahwa efek jangka pendek yang dialami anak dapat meliputi depresi, kemurungan, gangguan emosional, menyendiri, dan kegelisahan.
Sedangkan efek psikologis jangka panjang dapat terlihat pada gangguan disfungsi seksual, penyimpangan seksual, depresi hebat, kecemasan yang tidak terkendali, ketakutan, kecurigaan berlebih, agresivitas, antisosial, keinginan bunuh diri, dan melakukan kekerasan seksual karena ingin balas dendam (Beitchman et al., 1992., Lanning & Massey-Stoke, 2006., Wurtele & Kenny, 2010 dalam Rini, 2020).
Dampak-dampak tersebut pada gilirannya dapat merusak konsep diri anak. Anak menjadi rendah diri, cenderung menarik diri dari pergaulan sebagai bentuk perlindungan diri dari hal yang tak diinginkannya, karena merasa malu, berbeda, ataupun merasa bersalah.
Dalam pertumbuhannya, anak yang memiliki kecurigaan berlebih antara lain juga bisa menjadi seseorang yang tidak percaya terhadap cinta, lantaran merasa dirinya hanya sebagai objek seksual.
Adapun kasus-kasus penyimpangan seksual seperti pedofilia, masokisme, zoofilia, dan sebagainya, bisa jadi berawal dari pengalaman kekerasan seksual oleh anak. Sebab, seperti yang telah disebutkan, kekerasan seksual pada anak dapat mendorong anak untuk balas dendam dan melakukan kekerasan tersebut pada orang lain.
Ketika lingkungan sosial cenderung tidak acuh dan tidak mengintervensi anak korban kekerasan seksual, saat itu juga suatu masyarakat sedang membahayakan lingkungannya sendiri.
Bagaimana Kita Bisa Mengambil Peran?
Dalam merespons kasus-kasus demikian, belum seluruh masyarakat menyikapinya dengan bijak. Tidak sedikit yang menunjukkan rasa tidak percaya, meremehkan, hingga menjadikannya sebagai lelucon. Dalam jangka panjang, hal ini akan membuat para korban kekerasan ragu untuk melaporkan kasus sehingga tidak mendapatkan keadilan.
Disadari atau tidak, tanggapan yang kita lontarkan ketika mendapati kasus kekerasan seksual pada anak akan turut berdampak terhadap dukungan sosial yang diterima anak.
Tanggapan yang bersifat menyudutkan anak akan membuat anak bungkam, ragu untuk bercerita, tertutup, dan yang terburuk, akan semakin meyakinkan pelaku, bahwa tindakannya tidak menimbulkan konsekuensi signifikan bagi dirinya—bahwa kejahatan seksual yang dilakukannya bisa ditoleransi dan dimaafkan. Sehingga, ia dapat melakukan kejahatannya lagi, secara berulang, tanpa ragu.
Pentingnya dukungan sosial bagi penanganan kekerasan seksual pada anak misalnya tampak pada kasus yang terjadi di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Kasus yang melibatkan ketua remaja masjid sebagai pelaku ini baru terkuak pada Januari 2023, setelah aksi pertamanya yang dilakukan pada 2013.
Salah satu korban (16 tahun) yang menceritakan apa yang dialaminya kepada orang tua dan temannya, akhirnya mendorong korban lain untuk berani mengungkapkan kejadian yang sama, disusul dengan para orang tua akhirnya melaporkan pelaku. Sebagaimana dilaporkan oleh Harian Jogja (2023), korban lain tidak berani menceritakan kejadian yang menimpanya lantaran merasa hal tersebut merupakan aib.
Tampak bahwa ketika lingkungan memberikan dukungan sosial pada anak, anak menjadi yakin untuk terbuka dan meminta pertolongan—tidak ragu apakah dirinya dalam posisi salah atau benar.
Penelitian mengenai dampak psikologis anak juga menemukan bahwa anak yang tidak mendapatkan dukungan sosial, cenderung merasa terasing, sulit bergaul, suka melukai diri sendiri secara fisik, merasa tidak berdaya, merasa bersalah, ingin mengakhiri hidup, menjadi overprotektif, dan memiliki minat seks yang rendah. Sebaliknya, anak yang dapet dukungan sosial, bisa lebih cepat pulih dan berdamai dengan dirinya (Rini, 2020).
Adapun psikolog anak Firesta Farizal menjelaskan bahwa luka psikologis yang dialami anak yang menjadi korban kekerasan seksual bisa dipulihkan apabila traumanya ditangani dengan tepat. Pemulihan anak sangat mungkin tercapai jika lingkungan sosialnya turut membantu prosesnya.
Lebih lanjut, psikolog anak Gisella Tani Pratiwi menerangkan bahwa dalam proses tersebut, manusia memiliki kemampuan untuk pulih dan bounce back (bangkit kembali). Ada daya tahan dan daya juang yang membentuk resilience (ketangguhan) untuk menghadapi dan bahkan melampaui kondisi yang sangat sulit sekalipun (Deutsche Welle, 2021).
Maka, anak memerlukan keterlibatan setiap kita untuk mencapai pemulihan psikologis. Ketika tindakan kita tidak satu suara dengan semangat dukungan sosial, kita sedang melanggengkan rantai kekerasan seksual pada anak.
Sumber:
Artikel The Conversation “Riset di Bandung dan Padang: mayoritas korban kekerasan seksual berusia 10-19 tahun, pelaku kenal korban, dan lambat dilaporkan” oleh Noverika Windasari (2023) https://theconversation.com/riset-di-bandung-dan-padang-mayoritas-korban-kekerasan-seksual-berusia-10-19-tahun-pelaku-kenal-korban-dan-lambat-dilaporkan-197406
Artikel Harian Jogja “10 Tahun Baru Terungkap, Begini Kronologi Terungkapnya Pelecehan Seksual Remaja Masjid terhadap 20 Anak di Sleman” oleh Lugas Subarkah (2023) https://jogjapolitan.harianjogja.com/read/2023/02/06/512/1125493/10-tahun-baru-terungkap-begini-kronologi-terungkapnya-pelecehan-seksual-remaja-masjid-terhadap-20-anak-di-sleman
Artikel Detik News "Lindungi Korban: Catatan Awal Tahun Kekerasan Seksual Terhadap Anak" oleh Ai Maryati Solihah (2023) https://news.detik.com/kolom/d-6529306/lindungi-korban-catatan-awal-tahun-kekerasan-seksual-terhadap-anak
Artikel Deutsche Welle “Trauma Pelecehan Seksual pada Anak Bertahan Lebih Lama” oleh A. Kurniawan Ulung (2021) https://www.dw.com/id/trauma-pelecehan-seksual-pada-anak-bertahan-lebih-lama/a-59113622
Artikel KompasTV “KPAI Catat Ada 12 Kasus Kekerasan Seksual terhadap Anak di Satuan Pendidikan pada Januari-Juli 2022” oleh Isnaya Helmi (2022) https://www.kompas.tv/article/312105/kpai-catat-ada-12-kasus-kekerasan-seksual-terhadap-anak-di-satuan-pendidikan-pada-januari-juli-2022
Artikel Republika.co.id “Kasus Kekerasan Anak Meningkat Signifikan, Didominasi Kekerasan Seksual” oleh Ronggo Astungkoro (2023) https://www.republika.co.id/berita/rp5a4k463/kasus-kekerasan-anak-meningkat-signifikan-didominasi-kekerasan-seksual
Rini. (2020). Dampak Psikologis Jangka Panjang Kekerasan Seksual Anak (Komparasi Faktor: Pelaku, Tipe, Cara, Keterbukaan dan Dukungan Sosial, Jurnal IKRA-ITH Humaniora, 4(3), 156–167
Septiani, R. D. (2021). Pentingnya Komunikasi Keluarga dalam Pencegahan Kasus Kekerasan Seks pada Anak Usia Dini. Jurnal Pendidikan Anak, 10(1), 50–58. https://doi.org/10.21831/jpa.v10i1.40031