Print this page

Relasi Kuasa dan Budaya Perkosaan dalam Menara Gading Kampus

Written by  Tuesday, 17 July 2018 08:58
Rate this item
(0 votes)
Ada budaya terstruktur yang bikin pelecehan seksual di kampus langgeng dan susah dilawan.
 
tirto.id - Nyaris tak ada institusi yang merekam secara khusus tentang kejahatan seksual di kampus-kampus di Indonesia. Informasinya sporadis, muncul saat kasus itu menjadi sorotan media, atau mencuat dari sejumlah testimoni lewat blog-blog pribadi, dengan kerahasiaan yang rapat.

Hal macam itu juga jadi kekurangan dalam artikel kami: minim data yang komprehensif mengenai kasus ini membuat kami kesulitan mengidentifikasi seberapa sering prevalensi kasus-kasus kejahatan seksual di kampus, siapa para pelakunya, dan siapa para korbannya. Data macam ini sangat penting bagi kami untuk mengelaborasi dan menguatkan ungkapan yang sering kami dengar saat menulis subjek ini: bahwa pelecehan seksual di kampus terjadi "marak", bahwa kasus ini sudah jadi "rahasia umum kampus".

Meski begitu, ada sejumlah individu dan beberapa lembaga nirlaba yang punya perhatian atas subjek yang sama. Saya bertemu Putri Salsa, koordinator utama HopeHelps—organisasi nirlaba yang dibentuk para mahasiswa Universitas Indonesia yang berfokus pada isu kekerasan seksual di kampus. 

Penggiat organisasi ini tak cuma sering melakukan sosialisasi tentang isu tersebut, tapi juga membuka diri sebagai wadah penerima aduan, bahkan menyediakan jasa advokasi bagi para korban. Namun, pendataan HopeHelps juga masih belum rapi. Mereka memang merekam semua laporan yang datang, tapi belum diolah tertib.

Seingat Salsa, ada 30 kasus pelecehan seksual yang terekam terjadi di UI selama 2015-2016. Sementara setahun terakhir jumlahnya lebih dari 10 kasus. “Tapi, belum diklasifikasikan: mana laporan yang memang datang dari UI, mana yang datang dari orang luar,” ujarnya.

Laporan-laporan itu bersifat rahasia. Dari total belasan pengurus utama, tak semua anggota HopeHelps bisa mengakses laporan pengaduan tersebut. Hal ini dilakukan karena identitas korban sangat dilindungi, terang Salsa. Tak semua yang datang ke mereka menuntut advokasi. Kebanyakan justru hanya ingin bercerita, dan enggan menyebut nama pelaku.

“Dan itu harus dihormati banget. Siapa kita untuk maksa korban harus berbuat apa? Dia tetap orang yang paling harus dihormati keputusannya,” terang Salsa.

Data-data itu amat penting. Sebab banyak kampus menyimpan fenomena "bungkam". 

Dari penelusuran Tirto di beberapa kampus terkenal di Indonesia, setidaknya ada lebih dari selusin mahasiswa yang bercerita pernah jadi korban pelecehan oleh dosen mereka. Ini tidak termasuk beberapa orang yang menolak berbagi kisahnya. 

Kampus-kampus itu secara terpisah punya tabiat buruk yang terendus sebagai sebuah pola, yakni memelihara dosen-dosen mesum sebagai rahasia umum. Tak heran, kasus kejahatan seksual di kampus memang lebih jarang terdengar beredar di media ketimbang kasus kejahatan seksual kepada anak.

“Di negara kita, kekerasan seksual sering dikaitkan dengan moralitas, apalagi kalau terjadi pada perempuan dewasa. Kalau pada anak-anak, jelas semua orang pasti mengutuk pelaku. Tapi, kalau perempuan dewasa biasanya sangat erat dengan konteks moral dan agama,” ujar Sophia Hage, salah satu pendiri Yayasan Lentera Sintas Indonesia, organisasi nirlaba yang fokus pada penghapusan kekerasan terhadap perempuan.

'Takut Disalahkan'

Berdasarkan survei yang pernah dilakukan Lentera, sebanyak 1.636 orang dari 25 ribu responden (lebih dari 6 persen), mengatakan pernah dipaksa, diintimidasi, dan diancam melakukan aktivitas seksual atau pemerkosaan. Dari jumlah itu, sekitar 93 persen korban pemerkosaan memutuskan tak melaporkan kasus. Bahkan, para penyintas mengaku mengisi survei Lentera sebagai pengakuan pertama mereka sebagai korban kekerasan seksual.

Survei yang dilakukan Lentera itu bekerja sama dengan Magdalene dan Change.org adalah satu-satunya data yang mengungkap alasan para penyintas enggan melapor.

Kekerasan seksual, ujar Sophia Hage, kerap terjadi karena ada ketimpangan kuasa. Di kampus, peristiwa ini biasa terjadi antara dosen dan mahasiswa. Dengan mudah dosen akan mengintimidasi mahasiswa lewat otoritasnya. Semisal menahan skripsi, menolak jadi pembimbing studi akhir dan sebagainya. Apalagi jika dosen tersebut punya prestasi dan ternama di kampus.

“Jadi, jika orang punya pilihan untuk membela, orang lebih akan mendengar si dosen atau publik figur ini daripada korban,” ujar Sophia, yang juga seorang dokter.

Namun, selain jebakan relasi kuasa yang kuat dalam birokrasi kampus, "takut disalahkan" menjadi alasan paling tinggi bagi penyintas untuk memilih bungkam. Hal ini terjadi karena “sistem victim-blaming” yang masih tinggi di lingkungan manapun, termasuk kampus.

Komentar seperti "makanya jangan keluar malam", "siapa suruh meeting sama dosen itu di hotel," atau "makanya pakai baju yang sopan"—adalah contoh respons yang sering datang jika seorang perempuan bercerita tentang pengalaman pelecehan yang ia terima. Alasan lain, penyintas takut minim dukungan dari keluarga, dan malah dianggap sebagai "aib." Belum lagi jika ada ancaman dan intimidasi dari pelaku.

'Budaya Perkosaan'

Masih marak budaya menyalahkan korban, menurut Zerlina Maxwell, seorang kolumnis, feminis, dan analisis politik, dalam tulisannya bertajuk "Rape Culture is Real" di Time, adalah salah satu ciri sebuah masyarakat yang masih melanggengkan budaya perkosaan.

Rape culture alias budaya perkosaan merujuk pada fenomena ketika perkosaan dan kekerasan seksual sering terjadi dan dinormalkan atau dianggap biasa. Teori ini berkembang pada 1970-an di Amerika Serikat. Dalam buku Against Our Will: Men, Women, and Rape (1975), Susan Brownmiller menggambarkan pemerkosaan sebagai proses intimidasi secara sadar oleh laki-laki kepada perempuan, lewat peran penting mereka yang ditopang patriarki. Tujuannya, agar perempuan terus berada dalam ketakutan.

Teori budaya perkosaan melihat pemerkosaan sebagai gejala yang sudah dianggap umum dan normal dalam masyarakat, dibentuk dari nilai-nilai sosial yang misoginis dan seksis, buah dari ideologi patriarki. Dalam ideologi itu, perempuan dan segala yang feminin ditempatkan di bawah kepentingan pria dan apa pun yang dianggap mewakili maskulinitas.

Maka, dalam kasus pelecehan, seringkali ada stigma lebih besar kepada para korban (mayoritas perempuan) ketimbang kepada para pelaku (mayoritas laki-laki).

“Semacam standar ganda, yang anehnya cuma berat di korban,” kata Ikhaputri Widiantini, pengajar di Universitas Indonesia yang fokus pada masalah pelecehan seksual di kampus. 

“Lebih sering korban yang disuruh membuktikan dia diapain aja, bukannya pelaku yang dituntut membuktikan kalau dia memang beneran enggak salah,” tambah dosen yang biasa dipanggil Upi.

Stigma-stigma yang melekat pada korban pelecehan memang seringkali berat. Maka, wajar jika banyak dari mereka yang akhirnya takut bercerita. Perempuan, sebagai kelompok korban paling besar, akhirnya memilih diam dan memaklumi pelecehan yang mereka alami.

Tambahan lagi, menurut Putri Salsa, masih banyak perempuan yang misoginis dan gagal paham bila mereka adalah korban.

Keputusan Korban Harus Dihormati

Putri Salsa berkata dari pengalamannya di HopeHelps, lebih banyak korban enggan memperpanjang perkara karena takut dianggap "lebay" atau pencari masalah. Keputusan ini tak bisa dikucilkan. Sebab, dampak trauma yang mereka rasakan tak bisa diremehkan. 

“Kadang, tanggapan orang-orang bisa bikin dampak yang lebih traumatis daripada pengalaman (pelecehan) yang dia (korban) rasakan,” kata Salsa. Sehingga ketakutan para korban untuk menceritakan pengalamannya sangat perlu dihargai.

“Kirim pesan yang benar dulu, bahwa korban diposisikan sebagai korban. Dan pelaku harus sadar bahwa perlakuannya tidak benar,” tambahnya.

Sophia Hage dari Lentera menekankan bahwa keputusan korban yang menolak menceritakan kejadian yang dialaminya harus dihormati, sebab memaksa korban bercerita sama halnya melakukan kekerasan juga kepada mereka.

“Ketika kita memaksa korban berbicara, kita kembali mengambil kontrol terhadap korban atas peristiwa yang terjadi pada dirinya, padahal yang kita inginkan adalah mengembalikan kontrol tersebut," ujar Sophie. "Jadi, kalau kita memaksa korban melapor, siklus kekerasannya tidak putus.” 

Itu sebabnya, menurut Sophia, pendekatan kepada korban kekerasan seksual bukan memaksa, melainkan memberdayakan korban untuk bicara. Dan keputusan itu tetap ada di tangan korban.

“Ketika korban memutuskan untuk bicara, dia merasa bahwa dia tidak terancam dan terpaksa. Keputusan yang diambil memang dengan penuh kesadaran, tahu konsekuensi dan menjalani itu karena dia ingin,” ujar Sophia.

Sofia Rahmawati, konselor dari Rifka Annisa, sebuah pusat krisis dan lembaga nirlaba yang berfokus pada penghapusan kekerasan terhadap perempuan berbasis di Yogyakarta, menyarankan agar korban mendatangi lembaga-lembaga nirlaba seperti mereka atau lembaga serupa. 

Lembaga-lembaga ini memiliki terapis dan konselor yang sudah terlatih. Korban akan dipulihkan secara psikologis dengan jaminan kerahasiaan identitas. Namun, keputusan untuk ingin atau tidak konseling tetap tergantung penyintas. Lembaga seperti Rifka tidak bisa memaksa.

Menurut Sophia Hage, kampus perlu membuat campus crisis center atau tempat pengaduan bagi mahasiswa yang jadi korban pelecehan seksual. Organisasi-organisasi macam HopeHelps setidaknya harus disediakan di tiap fakultas, dengan dukungan kebijakan yang kuat. 

“Sampai terwujudnya campus crisis center itu masih panjang, masih banyak PR yang harus dikerjakan," ujar Sophia. Sembari menunggu itu, tambahnya, kampus harus punya aturan soal pelecehan seksual. 

"Jadi, yang diatur itu bukan perempuan saja, tapi juga laki-lakinya, bahwa pelecehan seksual itu salah dan menimbulkan trauma berkepanjangan untuk korban."

Namun, sebelum itu, kampus perlu terus mendidik diri dan paling penting: mengakui budaya perkosaan itu memang ada dan perlu ditangani segera.

========

Sumber artikel: Tirto.id

Reporter: Aulia Adam
Penulis: Aulia Adam
Editor: Fahri Salam

Read 2203 times Last modified on Tuesday, 17 July 2018 09:06