Studi Tiru Mitra Papua
Berita, Kategori

Studi Tiru Mitra Papua dalam Program BERDAYA Rifka Annisa : Menguatkan Jejaring, Merawat Harapan

Rifka Annisa WCC melakukan studi tiru untuk menguatkan jejaring juga terus berkomitmen bersama-bersama dalam mendorong layanan perlindungan perempuan yang lebih adil, inklusif, dan kontekstual.  Salah satu program Rifka Annisa WCC berada di wilayah Papua, Rifka Annisa Women’s Crisis Center (WCC) bersama The Asia Foundation (TAF) dan New Zealand Ministry of Foreign Affairs and Trade (MFAT) menyelenggarakan kegiatan Studi Tiru Mitra Papua dalam Program BERDAYA (Meningkatkan Akses pada Layanan Hukum dan Sosial bagi Perempuan di Papua). Kegiatan ini dilaksanakan pada tanggal 16 hingga 20 Juni 2025 di Yogyakarta dan diikuti oleh organisasi masyarakat sipil dari wilayah Jayapura dan Merauke diantaranya, LP3A-Papua, YHI Papua, LBH APIK Jayapura dan Perkumpulan Petrus Vertenten Merauke dan diikuti juga oleh lembaga pemerintahan dari wilayah Jayapura dan Merauke diantaranya DP3AP2KB Kabupaten Merauke, UPTD PPA Kabupaten Merauke, UPTD PPA Provinsi Papua, DP3AKB Provinsi Papua, dan Dinsos P3A Provinsi Papua Selatan.

Kegiatan ini secara resmi dibuka pada 16 Juni 2025 bertempat di Aula Rifka Annisa WCC. Pembukaan dihadiri oleh berbagai mitra strategis dari Papua, perwakilan lembaga pemerintah, organisasi layanan, serta jajaran tim program dari Rifka Annisa dan The Asia Foundation. Studi tiru ini merupakan ruang pembelajaran bersama antar-mitra untuk memperkuat kapasitas kelembagaan dan membangun model layanan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan yang responsif terhadap keragaman sosial dan budaya di Papua.

Dalam sambutan pembukaan, Plt. Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (P3AKB) Provinsi Papua, Ibu Josefintje B. Wandosa, SE., M.Si., menyampaikan refleksi kritis terkait tantangan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan di Papua.

Menurutnya, kompleksitas kondisi sosial-politik di Papua, termasuk konflik berkepanjangan, keterisolasian geografis, serta dinamika adat dan budaya yang khas, menjadikan pendekatan layanan yang selama ini berkembang di wilayah lain tidak bisa serta-merta diterapkan begitu saja di Papua. Ia menekankan pentingnya penguatan kapasitas berbasis lokal dan dialog antar lembaga untuk memastikan layanan benar-benar berpihak pada korban.

Sementara itu, Direktur Rifka Annisa WCC, Indiah Wahyu Andari, menyambut baik pelaksanaan studi tiru ini sebagai ruang berbagi pengetahuan dan pengalaman lintas wilayah. Dalam sambutannya, Indiah menyampaikan bahwa Rifka Annisa tidak hadir sebagai institusi yang “mengajari”, melainkan sebagai mitra pembelajar yang juga ingin belajar dari praktik baik yang dilakukan LP3AP, YHI, LBH APIK Jayapura, dan Perkumpulan Petrus Vertenten Merauke. Ia menekankan bahwa pendekatan yang dua arah akan menjadi dasar kuat untuk membangun sistem perlindungan perempuan yang saling menguatkan.

Kegiatan studi tiru ini disusun dengan pendekatan partisipatif dan kontekstual, memungkinkan para peserta terlibat aktif dalam proses pembelajaran dan refleksi bersama. Selama lima hari pelaksanaan, peserta diajak untuk mengeksplorasi pengalaman Rifka Annisa dalam membangun sistem layanan terpadu bagi perempuan korban kekerasan berbasis pendekatan feminis, berbasis komunitas, dan berorientasi pada pemulihan korban. Selain sesi materi di aula, peserta juga melakukan kunjungan lapangan ke berbagai mitra lokal seperti PPA DIY, RDU, FPKK, Dinas P3AP2 DIY, BPRSW, SAPDA, UPTD PPA Kulon Progo dan Kota  termasuk Rifka Annisa sendiri yang relevan dengan praktik kerja di Papua.

Salah satu fokus utama dalam kegiatan ini adalah membangun pemahaman tentang pentingnya kerja kolaboratif lintas sektor: antara lembaga pemerintah, LSM, tokoh adat, dan masyarakat akar rumput. Para peserta juga berdiskusi tentang tantangan khusus yang dihadapi dalam konteks Papua, seperti keterbatasan sumber daya manusia, akses geografis yang sulit dijangkau, serta norma budaya yang masih kerap menghambat perempuan untuk melapor dan mendapatkan perlindungan.

Baca juga

Di sisi lain, peserta juga mengapresiasi kesempatan untuk belajar langsung dari pengalaman Rifka Annisa yang telah lebih dari 30 tahun bekerja dalam isu kekerasan berbasis gender, termasuk dalam advokasi kebijakan, pendampingan psikologis, layanan hukum, serta edukasi publik. Kegiatan ini juga membuka ruang pertukaran cerita, strategi, dan refleksi kritis antara mitra. Dalam beberapa sesi diskusi, peserta dari Jayapura dan Merauke juga membagikan pendekatan-pendekatan lokal yang telah mereka bangun, termasuk bagaimana mereka bekerja sama dengan tokoh agama dan adat dalam memediasi kasus kekerasan atau membangun sistem rujukan yang efektif di wilayah yang sulit dijangkau oleh negara.

Kegiatan studi tiru ini merupakan bagian dari Program BERDAYA yang telah berjalan sejak 2022 dan dirancang untuk berlangsung selama lima tahun. Program ini bertujuan memperbaiki akses perempuan korban kekerasan terhadap layanan hukum dan sosial di Papua, dengan pendekatan yang adaptif, berkelanjutan, dan menghormati kearifan lokal. Rifka Annisa, bersama TAF dan MFAT, berkomitmen untuk terus memperluas dampak program melalui penguatan kapasitas mitra lokal, peningkatan kualitas layanan, serta advokasi kebijakan di tingkat daerah dan nasional.

Sebagai penutup kegiatan hari pertama, para peserta menyampaikan harapan agar momentum ini tidak berhenti sebagai kunjungan singkat, tetapi menjadi awal dari jejaring pembelajaran yang berkelanjutan antar-lembaga, baik dari Papua maupun Yogyakarta. Kegiatan ini diharapkan mampu menumbuhkan solidaritas dan semangat bersama dalam membangun layanan yang berpihak pada hak-hak perempuan, di mana pun mereka berada.