Driver Perempuan: Orderan, Keamanan, dan Kecemasan
Menjadi driver perempuan awalnya hanya pekerjaan pengisi waktu. Sesuatu yang saya ambil karena saya bosan mengerjakan skripsi. Sesuatu yang saya anggap ringan dan sementara. Saya hanya ingin mengantarkan makanan. Bukan manusia. Karena makanan tidak bisa berbuat jahat. Tidak bisa memperkosa. Tidak bisa melukai. Makanan hanya diam. Di dalam tas termal. Tidak akan mengganggu saya.
Saya memilih jadi driver ShopeeFood, bukan Grab atau Gojek. Bukan karena bayarannya lebih besar atau aplikasinya lebih canggih. Tapi karena saya takut. Takut pada manusia. Takut pada laki-laki. Menjadi pengantar makanan memberi saya ilusi keamanan. Saya pikir, dengan hanya mengantar makanan, saya tidak akan tersentuh. Tidak akan disentuh. Tidak akan menjadi korban. Saya salah.
Hari-hari saya dihabiskan dengan menunggu. Nongkrong di warung kopi di pinggir jalan Nologaten. Bersama teman-teman sesama ojol. Laki-laki semuanya, kecuali saya dan satu perempuan lain yang lebih suka menunggu di kamar kos. Di antara mereka, saya merasa aman. Tapi kadang juga merasa asing. Di antara mereka, saya tertawa. Tapi sering juga merasa sendirian. Saya hidup dari pesanan. Dari notifikasi yang berbunyi seperti doa. Shopee. Shopee. Shopee. Setiap kali notifikasi masuk, jantung saya berdetak lebih cepat. Setiap pesanan datang, saya merasa hidup. Tapi hari itu berbeda.
Baca juga kisah driver perempuan lain disini
Hari itu hujan. Orderan banyak. Saya mengambil semuanya. Sampai malam. Sampai saya merasa lelah tapi senang. Sampai saya menerima satu pesanan martabak di Demangan. Saya antar seperti biasa. Tidak ada yang aneh. Tidak ada firasat buruk. Sampai saya pulang. Sampai saya menerima pesan-pesan dari nomor tak dikenal.
“Halo mbak.”
“Boleh kenalan nggak?”
“Saya yang tadi jualan martabak.”
Saya tidak membalas. Tapi pesan terus masuk. Sampai akhirnya panggilan video datang bertubi-tubi. Saya kesal. Saya angkat. Dan saya menyesal. Wajahnya muncul di layar. Lalu tubuhnya. Lalu tangannya. Lalu gerakan itu. Saya membeku. HP jatuh dari tangan. Saya gemetar. Saya merasa dijamah. Tanpa disentuh. Tapi luka itu nyata.
Keesokan paginya saya bangun dengan sisa ketakutan yang belum pergi. Saya mencari tahu bagaimana dia bisa dapat nomor saya. Saya buka aplikasi. Saya temukan jawabannya. Penjual dan pembeli bisa melihat nomor kami. Tanpa perlindungan. Tanpa filter. Tanpa batas. Saya ingin melapor. Tapi kepada siapa? Shopee hanya menyediakan kolom untuk laporan barang yang terlambat, toko yang tutup, pesanan yang salah. Tidak ada tempat untuk laporan pelecehan. Tidak ada tempat untuk luka. Tidak ada ruang bagi rasa takut perempuan. Saya marah. Tapi saya juga butuh uang. Dua hari kemudian saya kembali bekerja. Kali ini, bukan karena saya ingin. Tapi karena saya harus. Karena hidup tidak bisa menunggu rasa aman datang.
Pesanan pertama hari itu datang dengan rasa semangat yang hampa. Saya menuju lokasi restoran. Saya menunggu. Saya mendapat pesan.
“Mbak, nanti minta tolong dianterin ke depan kamar, ya. Kamar saya lantai dua.”
Pesan disertai foto bagian depan kosnya. Saya balas, “Baik, Kak.” Karena saya takut dibintang satu.
Lalu pesan berikutnya masuk:
“Mbak cantik banget.”
“Mbak umur berapa?”
“Mbak kayaknya teteknya gede ya.”
Saya tidak membalas. Tapi pesan itu sudah cukup untuk membuat saya merasa jijik. Merasa muak. Merasa kecil. Saya tetap mengantar makanannya. Letakkan di depan pagar. Ambil foto. Kirim pesan:
“Maaf, Mas, saya taruh di depan pagar ya. Terima kasih.”
Lalu saya pulang. Dan matikan aplikasi. Hari itu saya sadar, tidak ada tempat aman bagi kami. Kami, para perempuan yang disebut “mitra.” Kami yang hanya dihargai ketika pesanan sampai tepat waktu. Tapi sebagai driver perempuan tidak pernah dilihat ketika tubuh dan rasa aman kami dilanggar. ShopeeFood menyebut kami mitra. Tapi dalam kenyataannya, kami bukan siapa-siapa. Mereka menyebut kami mitra agar tidak perlu menggaji kami. Agar tidak punya kewajiban melindungi kami. Agar bisa lepas tangan ketika kami dilecehkan, dihina, atau diteror.
Saya tahu saya tidak sendiri. Wawancara dengan seorang driver perempuan, membuat kami berefleksi bahwa, banyak driver perempuan lain di luar sana yang mungkin mengalami hal serupa. Yang diam karena takut kehilangan bintang. Yang bungkam karena takut kehilangan pekerjaan. Dan selama sistem ini masih berdiri di atas kepalsuan “kemitraan”, kami akan terus jadi korban.
Baca juga : Perempuan di ruang digital
Editor : Firda Ainun Ula
Ilustrator : Kusnaidi