Setiap rumah tangga pasti mendambakan kehidupan yang harmonis dan penuh kesalingan. Namun beberapa waktu lalu media sosial ramai pemberitaan terkait Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau domestic violence. Rumah, dipercaya oleh masyarakat sebagai tempat yang paling aman dan nyaman untuk ditempati. Rumah adalah tempat bermuaranya seluruh petualangan, kebahagian dan kelelahan. Di rumahlah orang bersikap paling natural, tidak dibuat-buat, tidak harus jaga image, dan sebagainya. Secara umum berarti masyarakat menganggap situasi diluar rumahlah yang membahayakan. Namun terjadinya kekerasan diruang privat menjadi patahan tersendiri bagaimana Rumah yang dianggap ruang paling nyaman dan aman menjadi sebaliknya.
KDRT atau domestic violence merupakan kekerasan berbasis gender yang terjadi di ranah personal. Kekerasan ini banyak terjadi dalam hubungan relasi personal, dimana pelaku adalah orang yang dikenal baik dan dekat oleh korban, misalnya tindak kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri, ayah terhadap anak, paman terhadap keponakan, kakek terhadap cucu. Kekerasan ini dapat juga muncul dalam hubungan pacaran, atau dialami oleh orang yang bekerja membantu kerja-kerja rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. Selain itu, KDRT juga dimaknai sebagai kekerasan terhadap perempuan oleh anggota keluarga yang memiliki hubungan darah. Pasal 1 UU PKDRT mendefinisikan KDRT sebagai,
... perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Sebetulnya payung hukum untuk kasus KDRT sudah tersedia sejak tahun 2004, dan sekarang sudah hampir mencapai 19 tahun pasca disahkannya UU PKDRT. Ini jadi refleksi bersama bahwa selama hampir 19 tahun berlangsung angka KDRT selalu menduduki urutan pertama dalam kasus kekerasan berbasis gender.Menurut catatan tahunan komnas perempuan tahun 2022 angka Kekerasan terhadap istri mencapai 771 kasus dengan korban paling banyak pada usia 25-35, hal ini menujukan bahwa korban mayoritas adalah pasangan muda.
Mayoritas dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga yang menjadi korban adalah perempuan. Perempuan hampir selalu menjadi korban kekerasan karena budaya dan nilai-nilai masyarakat, kita dibentuk oleh kekuatan patriarkal , yang dengan hal itu laki-laki secara kultural telah dipersilakan menjadi penentu kehidupan. Menurut Foucault, laki-laki telah terbentuk menjadi pemilik ‘kuasa’ yang menentukan arah ‘wacana pengetahuan’ masyarakat. Selain itu laki-laki dan perempuan memiliki peran biologi.
Menurut teori nurture melihat perbedaan biologis sebagai hasil konstruksi budaya dan masyarakat yang menempatkan laki-laki lebih unggul dari perempuan. Kekhasan struktur biologis perempuan menempatkannya pada posisi yang marginal dalam masyarakat. Perempuan dianggap tidak memiliki kekuatan fisik, lemah, emosional, sehingga hanya berhak mengerjakan pekerjaan yang halus, seperti pekerjaan rumah, mengasuh anak, dan lain-lain. Relasi sosial dilakukan atas dasar ukuran laki-laki. Perempuan tidak berhak melakukan hubungan tersebut. Dengan perbedaan semacam ini, perempuan selalu tertinggal dalam peran dan kontribusinya dalam hidup berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Konstruksi sosial menempatkan perempuan dan laki-laki dalam nilai sosial yang berbeda. Konstruksi gender dalam masyarakat itu telah terbangun selama berabad-abad membentuk sebuah budaya yang diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Faktor pemicu terjadinya kekerasan diruang privat sangatlah kompleks mulai dari budaya patriarki, ekonomi, kecemburuan adanya relasi yang timpang, adanya pihak ketiga dalam rumah tangga, beberapa aktivitas yang dapat merugikan pasangan (Mabuk-mabukan, bermain judi, dll). Berbagai faktor pemicu menjadi beragamnya bentuk kekerasan dalam ruang privat mulai dari kekerasan fisik (ditampar, dijambak, ditempeleng, diinjak-injak), kekerasan psikis (caci maki, ancaman), kekerasan seksual (pemaksaan hubungan seksual, dll) dan penelantaran rumah tangga. Beberapa korban memilih untuk diam atas kekerasan yang dialaminya. Hal ini dikarenakan mereka tidak mau terjadi peristiwa yang lebih parah lagi, ini adalah aib yang harus ditutup rapat dan tidak menghendaki permasalahan semakin berlarut-larut. Selain bersikap diam, beberapa korban memilih melawan terhadap suami atas kekerasan yang menimpanya. Perlawanan tersebut sebagai upaya perlindungan atas serangan suami yang mengakibatkan luka fisik maupun nonfisik.
Dampak terjadinya kekerasan di ruang privat sangat beragam mulai dari mengalami sakit fisik, tekanan mental, menurunnya rasa percaya diri dan harga diri, mengalami rasa tidak berdaya, mengalami ketergantungan pada suami yang sudah menyiksa dirinya, mengalami stress pasca trauma, mengalami depresi, dan keinginan untuk bunuh diri. Kondisi demikian tidak hanya dirasakan oleh korban namun juga orang disekitar korban mulai dari anak, rekan kerja sampai dengan orang tua.
Beberapa bulan lalu sempat ramai pemberitaan salah satu Artis yang mencabut laporan KDRT yang dilakukan oleh suaminya, dan netizen merasa diprank, merasa marah, turut merasa kecewa bahkan merendahkan korban. Padahal jika ditinjau dari hal ini korban sangat mungkin untuk mengalami dinamika psikologis, karena dalam kasus kekerasan dalam ruang privat mengalami situasi khusus yang kadang sulit untuk memutuskan apakah harus melanjutkan hubungan atau menyudahinya. Dalam kekerasan privat memiliki kecenderungan terjadi siklus kekerasan oleh karena itu kekerasan diruang privat dapat terjadi secara berulang.
Gambar Siklus Kekerasan
Gambar diatas menujukan gambaran siklus kekerasan yang terjadi di ruang privat berawal dari konflik kemudian menimbulkan kekerasan baik kekerasan fisik, psikis, maupun seksual, kemudian masuk pada fase meminta maaf, pada fase ini pasangan akan melakukan apapun untuk meminta maaf dan merasa bersalah atas apa yang sudah dilakukan, kemudian masuk pada pengejaran Kembali, fase ini adalah masa dimana biasanya pasangan sudah mulai memaafkan dan mencoba melupakan apa yang sudah terjadi, pada fase ini biasanya banyak sikap manis yang ditujukan oleh pasangan, dan masuk pada fase bulan madu, fase ini biasanya Kembali pada fase seperti saat fase awal-awal menikah, penuh bujuk rayu, melakukan apapun demi pasangan dll. Jika terjadi konflik lagi dalam rumah tangga tersebut akan mengalami siklus yang diawal dimulai dengan konflik dan berakhir dengan fase bulan madu.
Siklus kekerasan ini kiranya cukup untuk menjelaskan bagaimana kekerasan di ruang privat terus terjadi secara berulang, dan bagaimana proses dinamika korban berlangsung. Oleh karena itu sebagai masyarakat lebih bijak lagi dalam melihat situasi korban yang terjebak dalam siklus kekerasan ini.
Mari bersama ciptakan ruang aman! Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Nomor 23 Tahun 2004, telah menggeser wilayah persoalan privat menjadi persoalan publik. Perlu untuk bersama-sama mengawal implementasi UU PKDRT No.23 tahun 2004 karena sudah hampir 19 tahun implementasi UU PKDRT namun angka terjadinya KDRT terus meningkat. Sudah waktunya pemerintah bersama-sama masyarakat mencanangkan Zero tolerance terhadap kekerasan. Artinya tidak ada toleransi sekecil apapun terhadap tindakan kekerasan terhadap perempuan, baik dalam keluarga, masyarakat, dan negara.
Sumber :
Catatan Tahunan Komnas Perempuan tahun 2022
Hardani, Sofia dkk. 2010. Perempuan Dalam Lingkaran KDRT.Riau : Program Kajian Wanita – UNRI.
Poerwandari, Kristi. 2006. Penguatan Psikologis untuk Menanggulangi Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Kekerasan Seksual. Jakarta: Program Kajian Wanita – PPs-UI.
Rochmat Wahab. 2010, Jurnal Kekerasan Dalam Rumah Tangga: Perspektif Psikologis dan Edukatif.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).