Relasi suami-istri selalu dibayangkan sebagai relasi yang didasari perasaan cinta kasih. Demikian pula dalam relasi seksual. Tetapi, penuturan Ny Ana di bawah ini adalah fakta yang tak terbantahkan bahwa tidak semua relasi seksual di dalam rumah itu selalu dikehendaki masing-masing pasangan.
Kasus:
"Pengasuh Rifka Anissa yang baik. Saya ibu rumah tangga berusia 33 tahun, memiliki tiga orang anak. Saya telah menikah selama sembilan tahun dengan laki-laki pilihan saya sendiri.
Sebelum menikah kami berdua sudah bekerja di kantor swasta. Setelah menikah kami tinggal di rumah mertua saya. Karena ingin "mandiri" kami memutuskan kontrak rumah dan jadilah kami sebagai "kontraktor", berpindah dari satu kontrakan ke kontrakan yang lain.
Awal perkawinan sampai menginjak tahun kedua perkawinan sikap suami masih terlihat baik dan belum kelihatan sebagai pemarah. Namun, sejak kelahiran putri kami yang pertama suami mulai menunjukkan kebiasaan buruknya: pemarah, pemukul, dan merusak barang-barang rumah tangga bila sedang marah. Saat kejadian pertama saya memang terkejut karena ternyata suami saya menyimpan kebiasaan buruk. Namun, saya bersabar dengan pikiran mungkin suami kelelahan dan pekerjaannya menuntut konsentrasi penuh. Karena saya juga punya pekerjaan maka kejadian itu segera terlupakan.
Dalam kenyataan kejadian tersebut berulang dan karena tidak tahan dengan situasi seperti itu, saya pernah menyampaikan kepada suami untuk mengakhiri perkawinan. Selalu suami minta waktu sampai betul-betul siap untuk berpisah, karena setiap saya membulatkan keinginan untuk berpisah setiap waktu itu juga suami memaksa saya untuk "berhubungan badan". Pernah saya loncat dari jendela karena suami memaksa melakukan hubungan seksual. Terakhir saya sadar itu cara suami agar saya hamil lagi.
Gugatan cerai saya tidak dapat berlanjut karena dalam perjalanan sidang perceraian ternyata saya hamil. Hakim meminta saya menunda sidang perkara sampai anak kami lahir. Suami juga tidak segan-segan memukul anak-anak dan menyekap mereka bila menurutnya bersalah. Ibu pengasuh yang baik, apakah saya dapat berpisah dengan suami karena dia selalu mengatakan ’hanya kematian yang dapat memisahkan kita’..."
(Ny Ana di Kota J)
Jawaban:
Kalau Ny Ana sempat membaca pemberitaan di beberapa surat kabar terakhir ini akan Anda temukan banyak berita tentang masalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), Mengapa? Karena pada saat yang sama sedang dilakukan pembahasan RUU Penghapusan KDRT di Dewan Perwakilan Rakyat (Undang-undang Penghapusan KDRT telah disahkan pada hari Selasa (14/9) pekan lalu).
Salah satu aspek penting yang diperdebatkan adalah kekerasan seksual dalam rumah tangga. Ada sekelompok orang yang menolak ada kekerasan seksual dalam rumah tangga, tetapi apa yang Ny Ana tuturkan adalah fakta yang tak terbantah tentang bentuk kekerasan itu.
Fakta lain pun banyak kami temukan seperti dalam kesempatan sebelumnya rubrik konsultasi ini pernah membahas masalah yang sama. Dalam surat konsultasi yang lain juga ada pertanyaan dari ibu rumah tangga yang pada saat melakukan hubungan seksual alat kelaminnya dimasuki jagung oleh suaminya. Beberapa kasus lain yang kami terima juga menunjukkan ada istri yang menuturkan mengalami pemaksaan hubungan seksual dari suaminya pada saat "menstruasi".
Kekerasan seksual terhadap istri merupakan fenomena yang sering kali muncul, namun hal ini tidak mudah bagi perempuan atau istri untuk mengungkapkannya. Karenanya adalah hal yang patut dihargai ketika Ny Ana memiliki keberanian untuk mengungkap persoalan ini.
Pengalaman kami menunjukkan kekerasan seksual yang dialami istri akan terungkap setelah beberapa kali dilakukan konseling. Selain itu, kekerasan seksual juga tidak pernah dijadikan sebagai suatu alasan oleh para istri dalam melakukan perceraian. Biasanya yang terungkap pada saat sidang di pengadilan perceraian terjadi cukup dengan satu alasan "tidak adanya kecocokan". Padahal terjadinya kekerasan seksual dalam rumah tangga dapat dijadikan alasan untuk perceraian.
Ny Ana, apa yang Anda tuturkan secara gamblang menunjukkan Anda telah menjadi korban kekerasan seksual dari suami, yaitu suatu bentuk kekerasan yang berupa pemaksaan hubungan seksual atau perkosaan; karena pada saat itu Anda tidak menghendakinya.
Kekerasan seksual yang dilakukan suami memang sulit dibuktikan selama ketentuan hukum acara di negara kita masih menganggap saksi korban bukan "saksi penting". Mencari saksi-saksi dari orang lain yang berada di luar lingkup keluarga juga sangat sulit karena masyarakat kita cenderung memprivatkan persoalan KDRT sehingga tidak mudah bagi orang lain untuk bersaksi terhadap kasus kekerasan dalam rumah tangga. Hal inilah yang sebenarnya dicari jalan keluarnya melalui UU Penghapusan KDRT.
Ny Ana yang baik, berkaitan dengan proses perceraian Anda, saran pengadilan atau hakim untuk menunda persidangan sangatlah merugikan karena tidak ada dasar hukum yang jelas untuk menghentikan jalannya persidangan dikarenakan kehamilan. Menurut Kompilasi Hukum Islam yang diatur adalah berkaitan dengan masa tunggu (iddah) ketika pihak mantan istri nantinya ingin menikah lagi yakni setelah anak dilahirkan.
Dengan demikian menunggu kelahiran anak tidak berkaitan dengan proses perceraian. Untuk itu ada baiknya Anda didampingi penasihat hukum yang mengerti atau setidaknya mempunyai perspektif perempuan untuk memberikan pengertian kepada hakim bahwa perkawinan tidak ada manfaatnya dilanjutkan.
Lalu apa yang dapat Ny Ana lakukan selagi proses hukum berjalan?
Untuk sementara barangkali Anda perlu mencari "tempat aman" untuk diri Anda dan anak-anak sehubungan dengan ancaman suami. Hal yang dapat dilakukan adalah Anda dapat melibatkan keluarga dekat yang menurut Anda dapat membantu Anda atau cobalah menghubungi lembaga layanan pendampingan perempuan korban kekerasan yang ada di kota Anda. Bila Anda belum menemukan jalan keluar selama menunggu proses hukum, Anda dapat menghubungi kami. Salam.*
Kompas, Selasa 21 September 2004