Selasa, 30 Jun 2020 23:13

 

Banyak dari kita paham bahwa pengasuhan bukan menjadi peran ibu atau perempuan saja. Ayah atau laki-laki juga bisa terlibat dalam dan tentunya memiliki peran penting dalam pengasuhan. Tapi perlu dipahami bahwa keterlibatan pengasuhan oleh ayah tidak terbatas pada pemberi nasihat, mengantar ke sekolah atau menemani bermain. Pengasuhan oleh ayah bisa lebih luas ranahnya selayaknya yang dilakukan oleh ibu.

Ayah bisa dengan mudah menyusui anaknya karena ada teknologi yang bisa menyimpan ASI. Sekarang, ibu atau perempuan punya banyak ruang dan kesempatan untuk berkarir maupun bersosialisasi. Sehingga sudah sewajarnya keluarga melakukan kesalingan dalam pekerjaan rumah termasuk pengasuhan.

Jane B. Brooks (dalam Nefrijanti, 2018) berpendapat bahwa pengasuhan merupakan proses interaksi yang dilakukan orang tua untuk mendukung perkembangan anak. Ketika pengasuhan dipahami sebagai interaksi, maka hubungannya tidak satu arah saja. Dalam pengasuhan, anak maupun orang tua sama-sama belajar hal baru dan saling menerima dampaknya. Menariknya, ketika ayah terlibat dalam pengasuhan secara penuh, banyak dampak positif bagi anak, ibu maupun ayah itu sendiri.

Bagi anak, keterlibatan ayah dalam pengasuhan dapat mempengaruhi kesehatan fisik maupun mental seorang anak (Wahyuningrum, 2011). Ketika ayah terlibat dalam pengasuhan, anak laki-laki akan memiliki pemahaman tentang nilai kesetaraan gender. Sedangkan anak perempuan akan memiliki pandangan tentang laki-laki yang peduli dan supportif. Pengalaman bersama sosok ayah dan ibu dalam pengasuhan tentunya bisa menjadi bekal positif bagi anak ketika mereka dewasa dan bersosialisasi atau menjalin hubungan.

Bagi perempuan/ibu, peran suami bekerja sama melakukan pengasuhan dapat meringankan beban berlebih yang biasanya terjadi. Studi dari berbagai negara menemukan bahwa ketika suami hadir mendampingi proses pra-kelahiran hingga waktu kelahiran, istri mengalami persalinan yang lebih aman dan mengurangi risiko depresi pasca-persalinan. Selain itu, para perempuan di berbagai negara mengaku lebih puas dalam hubungan mereka ketika pasangan atau suami banyak terlibat di rumah (Heilman, et al., 2016:47).

Bagi laki-laki/ayah, ketika ikut terlibat pengasuhan maka akan ada kecenderungan memiliki  pola hidup yang lebih sehat. Banyak laki-laki merasa lebih puas dengan kehidupan mereka ketika bisa terlibat penuh dalam pengasuhan (Heilman, et al., 2016:47). Semakin banyak momen dilakukan bersama anak, semakin banyak pula laki-laki akan melakukan hal-hal positif seperti bergerak atau tidak merokok. Bahkan tingkah laku anak seringkali membuahkan tawa dan menjadi pelepas penat dari hari yang berat.

Bagi kualitas hubungan, melakukan pengasuhan tentunya bisa menambah momen bersama anak maupun pasangan. Ketika orang tua bisa dekat dengan anak, maka akan menumbuhkan kedekatan dan kepercayaan anak. Sehingga anak akan memiliki kecenderungan untuk terbuka dengan orang tua ketika ada persoalan di dalam hidupnya. Bukan menggunakan internet atau lingkungan pergaulannya yang bisa jadi kurang tepat untuk membantu menyikapi.

Banyak orang tua mengharapkan yang terbaik bagi anaknya namun tidak sedikit dari mereka yang kurang tepat memilih cara. Sekarang kita menyadari bahwa dalam keluarga perlu ada kerja sama dan saling peduli. Sebagai sebuah keutuhan, setiap anggota mempunyai peran. Ayah bukan hanya pencari nafkah. Ayah bukan lagi sosok yang suka marah-marah demi menjaga “wibawa”. Ayah juga punya peran di rumah. Karena ayah sama pentingnya dengan Ibu dan anak sebagai sebuah keluarga. Selamat belajar menjadi keluarga yang penuh cinta.

Referensi:

Heilman, B., Cole, G., Matos, K., Hassink, A., Mincy, R., Barker, G. (2016). State of America’s Fathers: A MenCare Advocacy Publication. Washington, DC: Promundo-US.

Nefrijanti. (2018). Definisi dan Pendapat Para Ahli tentang Pengasuhan (Parenting). Diakses pada 20 Juni 2020, dari https://pusatkemandiriananak.com/definisi-dan-pendapat-para-ahli-tentang-pengasuhan-parenting/

Wahyuningrum, Enjang. (2011). Peran Ayah (Fathering) Pada Pengasuhan Anak Usia Dini. Yogyakarta: Universitas Kristen Satya Wacana.

Selasa, 03 Juli 2018 09:15

Kepada Rifka Annisa Women’s Crisis Center

Saya Laksono, laki-laki yang tinggal di Surabaya. Menarik membaca pengalaman perempuan yang mendapat kekerasan. Saya turut bersimpati dengan semua penderitaan yang terjadi. Meski demikian, saya juga ingin protes kepada Rifka Annisa, kenapa lebih terkonsentrasi mendampingi perempuan?

Laki-laki banyak juga yang mendapat kekerasan. Bukankah ini salah satu bentuk diskriminasi? Barangkali protes saya memang subyektif karena saya merasa menjadi bagian kaum laki-laki. Saya mengakui ada beberapa perempuan yang mendapat perlakuan tidak enak dari suami atau orang lain, tetapi berapa persentasenya? Jangan-jangan suaranya saja yang besar, tetapi faktanya kecil. Apa sebenarnya dampaknya? Jangan terlalu didramatisir ah!

Kasus yang terjadi pada artis kita, misalnya. Saya pikir itu hanya akal-akalan mereka mendapat publisitas gratis guna mendongkrak kepopuleran. Yah, lumayan terkenal menjadi artis infotainment meski enggak dapat order sinetron

Terima kasih!

(Laksono)

 

Jawaban :

Yang terhormat Pak Laksono (jawaban ini juga ditujukan untuk Y dan I di Jakarta, serta S di Bali). Terima kasih atas perhatiannya terhadap kolom kami. Suara Bapak mewakili pandangan serupa di kalangan masyarakat dunia yang juga tidak habis pikir mengapa perempuan mendapat perhatian dan prioritas untuk masalah ini. Di seluruh dunia, setiap kali persoalan kekerasan terhadap perempuan dibahas, maka serta-merta pernyataan dan gugatan itu muncul.

Masalah kekerasan terhadap perempuan dalam kehidupan domestik (rumah tangga) terangkat ke permukaan dan menjadi perhatian ilmuwan sosial sejak awal tahun 1970-an. Pada masa itu banyak riset dilakukan untuk melihat apa sebetulnya yang dialami perempuan karena kebutuhan yang terus mendesak untuk adanya rumah aman guna menampung perempuan yang terpaksa lari menyelamatkan diri dari rumahnya akibat perlakuan kasar suami atau pasangan lelakinya.

Ternyata riset menunjukkan banyak perempuan mengalami persoalan berat dalam rumah tangga akibat perlakuan fisik, psikis, maupun seksual yang sifatnya ”menganiaya”, ”meneror”, atau ”menyakitkan” dari suami atau pasangan lelakinya.

Riset terus dikembangkan untuk melihat bagaimana sebetulnya peluang lelaki dan perempuan menjadi pelaku dan korban kekerasan. Beberapa studi pun dilakukan dengan cara mendokumentasikan laporan yang masuk di kantor polisi, rumah sakit, dan pengadilan, untuk melihat laporan dan pengaduan dari masyarakat berkaitan dengan penganiayaan, keluhan fisik, dan psikis akibat penganiayaan dan gugatan perceraian.

Temuan dari studi di beberapa kota dan negara yang berbeda menunjukkan memang ada fakta lelaki dan perempuan sama-sama dilaporkan sebagai pelaku dan juga korban kekerasan domestik, tetapi persentase lelaki sebagai pelaku jumlahnya 7-8 kali lipat dari jumlah perempuan yang dilaporkan melakukan kekerasan domestik.

Hasil riset ini juga memberi petunjuk, kekerasan yang dilakukan perempuan kepada pasangan lelakinya biasanya dimotivasi upaya pembelaan diri karena mereka telah ditekan selama ini. Jadi, lebih merupakan ”pukulan balik” kepada pasangan lelakinya dan karena ekspresi emosi/kemarahan semata. Sementara, kekerasan oleh lelaki umumya dimotivasi dominasi, maskulinitas, dan ekspresi kekuasaan terhadap istri atau pasangan perempuan.

Perbedaan lain adalah dampaknya. Sama-sama mengalami kekerasan domestik, perempuan menderita lebih banyak konsekuensi negatif, mulai dari kesehatan mental, fisik, fungsi reproduksi, hingga kehidupan sosial, dan pekerjaan. Perempuan juga berisiko lebih tinggi untuk terbunuh, mengalami teror, dan ketakutan berkepanjangan, walaupun mereka telah berpisah atau bercerai dari suami atau pasangan lelaki yang menganiayanya. Pola semacam ini hampir tidak dijumpai pada lelaki yang melaporkan diri menjadi korban kekerasan domestik.

Jadi, Pak Laksono, membicarakan kekerasan domestik memang tidak sesederhana yang kita duga. Ini bukan sekadar memanjakan perempuan atau mendiskriminasi lelaki, tetapi memang ada situasi kultural dan struktural yang rumit di banyak tempat yang menjadikan nilai kemanusiaan lelaki dan perempuan menjadi tidak setara.

Rachel Jewkes, dokter asal Afrika Selatan, dalam tulisannya di jurnal internasional Violence Against Women April 2002, menulis teori bahwa kekerasan domestik merupakan fenomena yang kompleks karena faktor penyebabnya berlapis-lapis. Jewkes yang melakukan meta-analisis dari ratusan riset tentang kekerasan domestik di berbagai negara menyebutkan, ada dua penyebab paling dasar, yaitu ideologi superioritas lelaki di masyarakat (rendahnya posisi tawar perempuan), dan kultur kekerasan dalam penyelesaian konflik. Kedua faktor dasar itu dibumbui faktor lain seperti stres, kemiskinan, minum alkohol, peran model dari ayah yang kasar kepada ibu, dan sebagainya, menjadikan kekerasan domestik lebih prevalen dilakukan suami/lelaki terhadap istri/perempuan pasangannya.

Jadi, itu sebabnya prioritas diberikan kepada perempuan. Dikatakan Jewkes, perempuan yang terdidik dan berasal dari budaya tidak merendahkan perempuan terbukti sebagai faktor penting yang menghindarkan perempuan dari tindak kekerasan ini.

Demikian Bapak Laksono, penjelasan kami. Semoga bermanfaat! Salam, Rifka Annisa.

 

Kompas, Sabtu 29 Oktober 2005

Senin, 02 Juli 2018 14:03

Seorang laki-laki saat ini tengah bertekat menghentikan kekerasan yang dia lakukan terhadap istrinya. Dia juga tengah berusaha keras mengubah peri lakunya.

Kasus:

"Saya seorang laki-laki, ingin ikut berbagi dengan Rifka Anissa.

Usia saya 31 tahun, sudah menikah dengan 1 anak laki-laki berumur 4 tahun, saat ini bekerja di sebuah perusahaan swasta. Saya tertarik ikut berbagi dengan Rifka karena kok selama ini pembahasan di rubrik ini hanya persoalan perempuan. Sementara persoalan yang dialami laki-laki menurut saya juga tidak kalah berat, seperti pengalaman saya. Hanya saja laki-laki pada umumnya tidak akan mengeluh.

Saya tidak bermaksud mencari simpati karena saya anggap inilah risiko hidup sebagai laki-laki yang harus menjadi pemimpin, pelindung, kuat, dan sebagai panutan dalam keluarga.

Jujur saya jarang mengungkapkan persoalan berat kepada istri karena tidak ingin istri saya justru sedih, lagi pula saya tidak yakin istri bisa memahami. Bukannya saya merendahkan dia, tetapi memang pendidikan dia lebih rendah dari saya. Meskipun begitu, saya tetap menyayanginya karena dia adalah perempuan idaman saya, cantik, tidak banyak membantah, dan ibu yang cukup perhatian bagi anak saya meski secara intelektual saya tidak berharap banyak.

Namun, terkadang dia menjadi emosional sekali kalau sedang marah, malah kesannya terlalu menuntut, kurang bisa melihat situasi sehingga membuat saya cepat marah. Dulu dia tidak begitu, tetapi sejak dia mencurigai saya ada hubungan dengan teman kerja saya di kantor, sikap dia banyak berubah.

Saya menjadi sulit mengontrol emosi. Saya akui beberapa kali menampar dia agar diam. Tentunya dengan pukulan yang ringan saja, tidak bermaksud menyakiti. Saya sebenarnya tidak ingin memukul dia, tetapi rasanya emosi ini cepat naik melihat dia begitu emosional sementara kondisi saya sedang capai.

Saya memang dekat dengan teman kerja perempuan, tetapi saya tidak selingkuh. Dia tidak percaya. Kalau dia begini terus, bisa-bisa saya malah selingkuh beneran.

Bagaimana ya, saya tidak ingin menyakiti istri, tetapi juga ingin dia menghargai kejujuran dan usaha saya menjadi suami yang baik. Apalagi saya baca di media, sekarang sudah ada UU Anti-Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang sempat jadi perbincangan saya dengan teman-teman sesama suami. Bisa-bisa saya masuk bui hanya karena bertengkar dengan istri.

Terima kasih untuk masukannya..."

( G di Yahoo)

Jawaban:

Hallo Saudara G. Tentu saja kami senang Anda bersedia berbagi pengalaman dengan kami. Tidak sedikit laki-laki yang juga memanfaatkan hotline kami karena merasa menjadi korban kekerasan dan mereka protes karena kami hanya menyediakan konsultasi bagi perempuan korban kekerasan.

Rifka Annisa memang memilih untuk memberi pendampingan untuk perempuan korban kekerasan. Pilihan ini atas dasar fakta bahwa secara statistik perempuan karena keperempuannya lebih banyak dan lebih sering menjadi korban kekerasan daripada laki-laki, meskipun kami tidak mengelak kekerasan dapat menimpa siapa saja tak terkecuali laki-laki.

Selain itu kami melihat perempuan korban kekerasan memiliki pilihan terbatas untuk mendapat pertolongan yang berperspektif perempuan, sementara laki-laki memiliki banyak pilihan untuk mendapat pertolongan atau pendampingan seperti lembaga bantuan hukum, lembaga konsultasi psikologi, dan sebagainya.

Untuk kasus Anda, satu hal yang kami hargai adalah kesadaran Anda bahwa apa yang Anda lakukan terhadap istri adalah sesuatu yang keliru. Seingat kami, hanya sedikit suami yang melakukan pemukulan (atau kekerasan dalam bentuk lain) terhadap istrinya bersedia mengakui hal itu sebenarnya tidak boleh dilakukan.

Saudara G, ungkapan bahwa pemukulan itu tidak keras dan dimaksudkan tidak untuk menyakiti, rasanya itu khas disampaikan para suami yang melakukan pemukulan. Namun perlu Anda ketahui, toleransi terhadap sesuatu hal sering kali bersifat berjenjang. Maksudnya, mungkin memang pukulan Anda ketika itu hanya pelan dan tidak menyakitkan, akan tetapi ketika Anda nanti berkonflik lagi dengan istri dan Anda menggunakan pemukulan lagi, sangat mungkin pukulan itu meningkat intensitasnya tanpa Anda sadari. Sangat mungkin pukulan berikutnya menyebabkan istri Anda menjadi benar-benar kesakitan atau meninggalkan bekas seperti memar. Walaupun Anda katakan pukulan Anda tidak menyakitkan dan tidak meninggalkan bekas fisik pada istri Anda, kami yakin "luka" yang ditimbulkan lebih bersifat psikologis. Hati istri Anda yang terluka.

Selain itu, penyelesaian masalah yang Anda pilih yakni dengan menampar istri, sepenuhnya menjadi tanggung jawab Anda karena sebenarnya Anda memiliki pilihan lain seperti mengajak bicara istri dengan baik-baik atau cara nonkekerasan lainnya. Oleh karena itu, Anda tidak dapat membebankan kesalahan kepada istri dengan mengatakan karena istri Anda emosional atau membuat permakluman bahwa Anda lepas kendali.

Saudara G, memang tidak mudah bagi laki-laki yang dibiasakan untuk menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan konflik dan perbedaan untuk berubah memilih jalan nonkekerasan dalam menyelesaikan masalah, namun bukan berarti tidak mungkin. Untuk mengubahnya Anda perlu pendampingan dan latihan.

Lalu mengenai keinginan Anda menghentikan pemukulan itu, kami optimistis Anda bisa melakukannya karena Anda sudah punya modal besar yaitu "keinginan untuk menghentikan". Kami menyarankan Anda berdua melakukan konseling yang dapat memediasi Anda berdua mengurai persoalan dan mencari alternatif solusi bagi perbaikan hubungan Anda berdua.

Khusus untuk Anda sebagai suami, seperti yang sudah kami singgung, memerlukan pendampingan dan penanganan tentang komunikasi dan perilaku nonkekerasan, seperti teknik pengendalian emosi dan sebagainya. Sekiranya Anda berdomisili di Yogyakarta, Anda dapat datang ke Rifka Annisa karena kami mulai menawarkan pendampingan untuk laki-laki yang ingin menghentikan perilaku kekerasannya. Dalam program ini Anda akan didampingi konselor laki-laki yang dilatih khusus untuk menangani masalah seperti yang Anda hadapi.

Mengenai Undang Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, pada tanggal 14 September 2004 lalu memang telah disahkan DPR RI. Jika Anda sudah memiliki tekat untuk menghentikan kekerasan yang Anda lakukan, Anda tidak perlu takut dengan UU itu, justru UU itu dapat memotivasi Anda untuk mengubah perilaku Anda. Kecuali jika Anda tidak memiliki keinginan mengubah perilaku kekerasan Anda, sepatutnya Anda takut dengan UU itu.

Saudara G, semoga masukan ini bermanfaat bagi Anda, dan silakan hubungi kami melalui hotline atau datang langsung bila Anda membutuhkan layanan kami. Salam dari Rifka Annisa.

 

Kompas, 18 Oktober 2004

Kamis, 15 Maret 2018 12:46

“Kita pernah mendengar ungkapan Jawa: Jaran Kepang Jaran Kore, Wong Lanang Menangan Dhewe (laki-laki maunya menang sendiri, red.) Itu bagaimana Pak? Apakah prinsip itu bisa memicu KDRT?” tanya moderator kepada Jatmiko diikuti gelak tawa penonton.

Jatmiko, seorang bapak dari Desa Bendung Kecamatan Semin, Gunungkidul, hari itu berkesempatan berbagi cerita dan pengalaman di acara diskusi yang diadakan oleh Rifka Annisa dalam rangkaian event Jagongan Media Rakyat (JMR) di Jogja National Museum, Kamis (8/3). Event Jagongan Media Rakyat ini dikoordinasikan oleh Combine Resource Institution (CRI), dan Rifka Annisa sebagai mitra JMR menghelat diskusi dengan judul “Masyarakat Berdaya, Cegah Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak.”

Bagi Jatmiko, ‘Laki-laki Peduli’ itu identitas baru sekaligus proses yang harus ia jalani. “Itulah kenapa kami menamakan ‘laki-laki peduli’ karena kami merasa yang diluar sana sudah biasa, bahkan mereka tidak peduli. Kami ingin menjadi yang tidak biasa,” kata Jatmiko.

Laki-laki hidup dalam bayang-bayang keistimewaan sekaligus ketakutan yang dibawa budaya patriarki. Budaya patriarki itu tertanam sejak dulu dan diwarisi hingga saat ini. Kita hidup di rentetan budaya yang saat ini pun masih banyak keluarga yang memegang teguh prinsip itu. Jatmiko menceritakan, di masyarakat sekitarnya masih ada yang percaya bahwa laki-laki itu harus kuat, harus dominan, sementara kalau perempuan itu masih dianggap urusannya hanya ‘dapur-sumur-kasur’.

Katanya, perempuan sekolah SD saja cukup, wong nanti urusannya dapur-sumur-kasur. Nek laki-laki tanggung jawabnya besar. Wong lanang (laki-laki,red.) harus bisa menghidupi perempuan, menghidupi anak-anaknya,” jelasnya.

Orang Jawa itu, lanjut Jatmiko, apa-apa selalu disangkutkan dengan namanya. Misalnya sebutan wanita itu artinya ‘wani ditata’. Mau tidak mau, perempuan itu harus mau ditata salah satunya oleh laki-laki. Ia menceritakan, bahkan di keluarganya sampai saat ini masih berpegang teguh dengan hal itu. Mertuanya tidak pernah setuju kalau ia berbagi peran dengan istrinya.

“Saya masak, saya mencuci piring. Mertua saya tidak setuju. Beliau bilang, wong lanang (laki-laki, red) kok mengerjakan pekerjaan perempuan. Itu tidak pantas,” curhatnya.

Ia sering menjelaskan kepada mertuanya bahwa ini bukan sesuatu yang hina seolah-olah kalau laki-laki mencuci piring itu derajatnya dari atas langsung terjun bebas. Bukan seperti itu yang dimaksudkan, tapi kemudian bagaimana antara Jatmiko dan pasangannya bisa saling bertanggung jawab dalam berumah tangga. Ia menambahkan ketika mereka saling berbagi peran dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan anak, imbal baliknya bisa mereka rasakan. “Istri jadi makin sayang dan waktunya jadi lebih banyak untuk saya. Ya semua itu yang bisa kami rasakan,” kata Jatmiko.

Pemicu Kekerasan

Laki-laki peduli tidak melulu soal berbagi pekerjaan, tetapi juga peduli pada hubungan dengan pasangan serta pengasuhan anak. Dua hal tersebut disadari atau tidak seringkali menjadi pemicu munculnya konflik antara suami istri hingga berujung pada kekerasan dalam rumah tangga.

Jatmiko menuturkan, di sekitar tempat tinggalnya kekerasan dalam rumah tangga banyak sekali dilatarbelakangi karena permasalahan ekonomi. Ketika ia bergabung di kelas laki-laki peduli yang diselengarakan oleh Rifka Annisa, ia beserta kelompoknya mendapatkan edukasi seputar komunikasi dengan pasangan, mengelola amarah, pengelolaan ekonomi keluarga dan sebagainya. Namun, dua hal yang menurut Jatmiko sangat berkesan dan ia coba terapkan hingga saat ini yaitu bagaimana kita berkomunikasi dengan pasangan dan mengelola amarah.

Komunikasi sebagai bentuk penyampaian pesan kepada pasangan. Kita sebenarya ingin menyampaikan ini ke pasangan, tetapi kita tidak tahu bagaimana cara menyampaikannya. Ketidaktahuan dan kesalahan dalam berkomunikasi dapat menimbulkan konflik. Ketika komunikasi sudah bisa dibangun sejak awal, tindakan kekerasan terhadap pasangan seharusnya tidak terjadi.

Kemudian, tentang mengelola amarah. Jatmiko dan kelompoknya sangat menyadari bahwa marah itu manusiawi. Kita bisa mengelola itu. Marah seperti sebuah proses, pasti ada akibat dari suatu sebab. Antara emosi dan tindakan ada beberapa detik untuk memikirkan apa yang dipilih untuk dilakukan.

“Marah itu manusiawi. Misalnya kalau marah matanya merah, tangannya pengen mengepal, dibalik itu kita punya waktu untuk memilih bagaimana melampiaskan marah. Bisa jadi kita memilih melampiaskan ke hal yang negatif misalnya segera memukul anak, nyubit anak, atau memukul pasangan. Tetapi kita sebenarnya punya pilihan bagaimana meluapkan marah,” kata Jatmiko.

Ia menjelaskan ada beberapa pilihan yang bisa diambil ketika marah. Salah satunya dengan cara diam. Menunggu hati dan suasana terkondisikan. Bagi Jatmiko, hal tersebut tidaklah mudah bagi setiap orang. Semuanya butuh proses. Ia pun masih berproses untuk itu.

Tantangan

Semenjak bergabung dalam komunitas laki-laki peduli, Jatmiko selalu ingin membagi ilmu dan pengalamannya kepada orang lain. Tak jarang, ia pun gelisah bilamana mengetahui tetangganya sendiri terlibat konflik hingga terdengar ke lingkungan sekitar.

Dia sempat merasa rikuh awalnya ketika terjadi kemelut di rumah tangga sebelah. Niat hati ingin membantu, namun nanti dikira ikut-ikutan masalah rumah tangga orang. Awalnya ada kekhawatiran kalau dia ikut campur jadinya justru dimusuhi oleh tetangga sendiri. Setelah mempertimbangkan dengan matang, ia pun memberanikan diri untuk mencoba mencegah agar konflik di tetangga tidak berujung pada kekerasan dalam rumah tangga.

“Ketika ada percekcokan di tetangga sebelah, saya datangi. Masuk rumah dan hanya sebatas mengamati saja. Saya berdiri di depan mereka yang sedang cekcok tanpa kata tanpa ekspresi apapun. Ya berdiri saja,” kenang Jatmiko.

Dengan cara seperti itu, Jatmiko beranggapan ia bisa mengantisipasi agar pertengkaran tersebut tidak sampai main tangan atau bahkan melakukan penganiayaan. Kalau pun sampai terjadi kekerasan fisik, Jatmiko sudah tahu langkah apa yang akan ia lakukan selanjutnya. “Mereka (yang saat itu sedang berkonflik) akan berpikir. Oh iya ya, kemarin habis sosialisasi kalau melakukan kekerasan ada payung hukumnya. Kalau ini dilaporkan ada jalurnya, ada saksinya pula. Dengan begitu kan mereka akan berpikir ulang kalau ingin memukul istrinya saat itu,” tambah Jatmiko.

Selanjutnya, Jatmiko tak lupa mengingatkan agar cara tersebut juga diikuti dengan klarifikasi kepada pasangan yang bersangkutan. Kita perlu menjelaskan maksud kita kenapa kita datang saat tetangga sedang bertengkar, bukan bermaksud menonton tetapi untuk mencegah. Menurut Jatmiko, klarifikasi dan penjelasan ini penting agar yang bersangkutan tidak memusuhi kita.

“Kita jelaskan perlahan-lahan meskipun kemudian kita kena semprot. Dibilang, kamu kok kurang kerjaan, kayak orang paling benar sendiri mengurusi rumah tangga orang. Ya tidak apa-apa. Tapi kita punya satu keyakinan bahwa suatu saat mereka akan berterima kasih ke kita,” tegas Jatmiko.

Tidak Takut Berubah

Untuk menjadi laki-laki peduli, Jatmiko terus berproses untuk perubahan yang lebih baik. Hidup di desa menjadikannya tidak bisa meninggalkan tingginya rasa sosial. Laki-laki peduli tidak hanya peduli pada keluarganya tetapi juga peduli masyarakat sekitarnya. Kalau ada apa-apa di desanya, banyak orang segera ingin tahu. Keingintahuan ini dimanfaatkan Jatmiko untuk mengajak komunitasnya berbicara mengenai permasalahan yang ada di desa mereka.

Saat ini, Jatmiko dan komunitasnya menggandeng tokoh masyarakat dan tokoh agama. Lebih banyak tokoh agama terlibat lebih baik, katanya. Karena ketika tokoh agama mau melakukan perubahan perilaku misalnya memberikan contoh pola pengasuhan dan berbagi peran dalam rumah tangga, itu bisa menjadi bukti nyata.

“Saya selalu bilang ke mereka, Pak Ustadz aja mau mencuci, momong anak, mengerjakan pekerjaan rumah tangga, masa’ kok kita enggak?” begitu salah satu cara Jatmiko mempengaruhi teman-temannya. Upayanya ini juga didukung oleh seorang takmir mushola yang disegani di desanya untuk menyampaikan ke masyarakat luas tentang hal itu.

Cara yang lain adalah Jatmiko tak segan-segan mengajak teman-temannya untuk nongkrong, ngobrol atau ngopi sambil berdiskusi di warung kecil miliknya. Dalam proses pendekatan ini, ia tidak langsung masuk ke permasalahan karena sudah pasti sangat sensitif. Mulanya ia membangun suasana terlebih dulu agar mereka merasa nyaman sehingga kalau bercerita tanpa ada hambatan. Kalau sudah masuk ke inti masalah langsung diajaknya berdiskusi lebih lanjut. Ia tidak pernah melakukan dengan cara menggurui.

“Saya biasanya berbagi pengalaman yang kira-kira hampir sama dengan masalah tersebut. Itu saya kira lebih efektif. Caranya kita sentuh hatinya dulu. Setelah mereka mengamini hal-hal yang dianggapnya bermanfaat bagi dia dan keluarganya, mereka kemudian menjadi kepanjangan tangan untuk menyampaikan ke keluarganya, ke saudaranya, dan teman yang lebih luas. Kita jadi mudah dan terbantu dalam menyampaikan hal ini.”

Terkait dengan pola asuh anak, Jatmiko membuat kesepakatan dengan istri, bahwa pekerjaan di dalam rumah dan pengasuhan anak itu tanggung jawab bersama. Memang susah awalnya, tapi kemudian yang pasti ia selalu menyisihkan waktu efektif buat anak. Sekarang waktu pertama untuk keluarga, ketika pekerjaan rumah sudah beres barulah ia keluar rumah untuk bekerja mencari nafkah. Dia mengakui memang ada beberapa pekerjaan rumah yang tidak bisa ia lakukan, misalnya menyetrika. Konsekuensinya ia harus selalu membayar jasa orang untuk menyetrika.

“Setara itu tidak harus semuanya bisa kita lakukan tapi sesuai dengan proporsi dan kemampuan kita. Kalau kita gak bisa ya ndak usah malu, bilang saja tidak bisa. Jadi memang kalau tidak bisa ya harus diambil alih pasangan saya,” pungkasnya.

44058118
Today
This Week
This Month
Last Month
All
5788
19399
122239
276576
44058118