Kamis, 15 Maret 2018 12:46

“Kita pernah mendengar ungkapan Jawa: Jaran Kepang Jaran Kore, Wong Lanang Menangan Dhewe (laki-laki maunya menang sendiri, red.) Itu bagaimana Pak? Apakah prinsip itu bisa memicu KDRT?” tanya moderator kepada Jatmiko diikuti gelak tawa penonton.

Jatmiko, seorang bapak dari Desa Bendung Kecamatan Semin, Gunungkidul, hari itu berkesempatan berbagi cerita dan pengalaman di acara diskusi yang diadakan oleh Rifka Annisa dalam rangkaian event Jagongan Media Rakyat (JMR) di Jogja National Museum, Kamis (8/3). Event Jagongan Media Rakyat ini dikoordinasikan oleh Combine Resource Institution (CRI), dan Rifka Annisa sebagai mitra JMR menghelat diskusi dengan judul “Masyarakat Berdaya, Cegah Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak.”

Bagi Jatmiko, ‘Laki-laki Peduli’ itu identitas baru sekaligus proses yang harus ia jalani. “Itulah kenapa kami menamakan ‘laki-laki peduli’ karena kami merasa yang diluar sana sudah biasa, bahkan mereka tidak peduli. Kami ingin menjadi yang tidak biasa,” kata Jatmiko.

Laki-laki hidup dalam bayang-bayang keistimewaan sekaligus ketakutan yang dibawa budaya patriarki. Budaya patriarki itu tertanam sejak dulu dan diwarisi hingga saat ini. Kita hidup di rentetan budaya yang saat ini pun masih banyak keluarga yang memegang teguh prinsip itu. Jatmiko menceritakan, di masyarakat sekitarnya masih ada yang percaya bahwa laki-laki itu harus kuat, harus dominan, sementara kalau perempuan itu masih dianggap urusannya hanya ‘dapur-sumur-kasur’.

Katanya, perempuan sekolah SD saja cukup, wong nanti urusannya dapur-sumur-kasur. Nek laki-laki tanggung jawabnya besar. Wong lanang (laki-laki,red.) harus bisa menghidupi perempuan, menghidupi anak-anaknya,” jelasnya.

Orang Jawa itu, lanjut Jatmiko, apa-apa selalu disangkutkan dengan namanya. Misalnya sebutan wanita itu artinya ‘wani ditata’. Mau tidak mau, perempuan itu harus mau ditata salah satunya oleh laki-laki. Ia menceritakan, bahkan di keluarganya sampai saat ini masih berpegang teguh dengan hal itu. Mertuanya tidak pernah setuju kalau ia berbagi peran dengan istrinya.

“Saya masak, saya mencuci piring. Mertua saya tidak setuju. Beliau bilang, wong lanang (laki-laki, red) kok mengerjakan pekerjaan perempuan. Itu tidak pantas,” curhatnya.

Ia sering menjelaskan kepada mertuanya bahwa ini bukan sesuatu yang hina seolah-olah kalau laki-laki mencuci piring itu derajatnya dari atas langsung terjun bebas. Bukan seperti itu yang dimaksudkan, tapi kemudian bagaimana antara Jatmiko dan pasangannya bisa saling bertanggung jawab dalam berumah tangga. Ia menambahkan ketika mereka saling berbagi peran dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan anak, imbal baliknya bisa mereka rasakan. “Istri jadi makin sayang dan waktunya jadi lebih banyak untuk saya. Ya semua itu yang bisa kami rasakan,” kata Jatmiko.

Pemicu Kekerasan

Laki-laki peduli tidak melulu soal berbagi pekerjaan, tetapi juga peduli pada hubungan dengan pasangan serta pengasuhan anak. Dua hal tersebut disadari atau tidak seringkali menjadi pemicu munculnya konflik antara suami istri hingga berujung pada kekerasan dalam rumah tangga.

Jatmiko menuturkan, di sekitar tempat tinggalnya kekerasan dalam rumah tangga banyak sekali dilatarbelakangi karena permasalahan ekonomi. Ketika ia bergabung di kelas laki-laki peduli yang diselengarakan oleh Rifka Annisa, ia beserta kelompoknya mendapatkan edukasi seputar komunikasi dengan pasangan, mengelola amarah, pengelolaan ekonomi keluarga dan sebagainya. Namun, dua hal yang menurut Jatmiko sangat berkesan dan ia coba terapkan hingga saat ini yaitu bagaimana kita berkomunikasi dengan pasangan dan mengelola amarah.

Komunikasi sebagai bentuk penyampaian pesan kepada pasangan. Kita sebenarya ingin menyampaikan ini ke pasangan, tetapi kita tidak tahu bagaimana cara menyampaikannya. Ketidaktahuan dan kesalahan dalam berkomunikasi dapat menimbulkan konflik. Ketika komunikasi sudah bisa dibangun sejak awal, tindakan kekerasan terhadap pasangan seharusnya tidak terjadi.

Kemudian, tentang mengelola amarah. Jatmiko dan kelompoknya sangat menyadari bahwa marah itu manusiawi. Kita bisa mengelola itu. Marah seperti sebuah proses, pasti ada akibat dari suatu sebab. Antara emosi dan tindakan ada beberapa detik untuk memikirkan apa yang dipilih untuk dilakukan.

“Marah itu manusiawi. Misalnya kalau marah matanya merah, tangannya pengen mengepal, dibalik itu kita punya waktu untuk memilih bagaimana melampiaskan marah. Bisa jadi kita memilih melampiaskan ke hal yang negatif misalnya segera memukul anak, nyubit anak, atau memukul pasangan. Tetapi kita sebenarnya punya pilihan bagaimana meluapkan marah,” kata Jatmiko.

Ia menjelaskan ada beberapa pilihan yang bisa diambil ketika marah. Salah satunya dengan cara diam. Menunggu hati dan suasana terkondisikan. Bagi Jatmiko, hal tersebut tidaklah mudah bagi setiap orang. Semuanya butuh proses. Ia pun masih berproses untuk itu.

Tantangan

Semenjak bergabung dalam komunitas laki-laki peduli, Jatmiko selalu ingin membagi ilmu dan pengalamannya kepada orang lain. Tak jarang, ia pun gelisah bilamana mengetahui tetangganya sendiri terlibat konflik hingga terdengar ke lingkungan sekitar.

Dia sempat merasa rikuh awalnya ketika terjadi kemelut di rumah tangga sebelah. Niat hati ingin membantu, namun nanti dikira ikut-ikutan masalah rumah tangga orang. Awalnya ada kekhawatiran kalau dia ikut campur jadinya justru dimusuhi oleh tetangga sendiri. Setelah mempertimbangkan dengan matang, ia pun memberanikan diri untuk mencoba mencegah agar konflik di tetangga tidak berujung pada kekerasan dalam rumah tangga.

“Ketika ada percekcokan di tetangga sebelah, saya datangi. Masuk rumah dan hanya sebatas mengamati saja. Saya berdiri di depan mereka yang sedang cekcok tanpa kata tanpa ekspresi apapun. Ya berdiri saja,” kenang Jatmiko.

Dengan cara seperti itu, Jatmiko beranggapan ia bisa mengantisipasi agar pertengkaran tersebut tidak sampai main tangan atau bahkan melakukan penganiayaan. Kalau pun sampai terjadi kekerasan fisik, Jatmiko sudah tahu langkah apa yang akan ia lakukan selanjutnya. “Mereka (yang saat itu sedang berkonflik) akan berpikir. Oh iya ya, kemarin habis sosialisasi kalau melakukan kekerasan ada payung hukumnya. Kalau ini dilaporkan ada jalurnya, ada saksinya pula. Dengan begitu kan mereka akan berpikir ulang kalau ingin memukul istrinya saat itu,” tambah Jatmiko.

Selanjutnya, Jatmiko tak lupa mengingatkan agar cara tersebut juga diikuti dengan klarifikasi kepada pasangan yang bersangkutan. Kita perlu menjelaskan maksud kita kenapa kita datang saat tetangga sedang bertengkar, bukan bermaksud menonton tetapi untuk mencegah. Menurut Jatmiko, klarifikasi dan penjelasan ini penting agar yang bersangkutan tidak memusuhi kita.

“Kita jelaskan perlahan-lahan meskipun kemudian kita kena semprot. Dibilang, kamu kok kurang kerjaan, kayak orang paling benar sendiri mengurusi rumah tangga orang. Ya tidak apa-apa. Tapi kita punya satu keyakinan bahwa suatu saat mereka akan berterima kasih ke kita,” tegas Jatmiko.

Tidak Takut Berubah

Untuk menjadi laki-laki peduli, Jatmiko terus berproses untuk perubahan yang lebih baik. Hidup di desa menjadikannya tidak bisa meninggalkan tingginya rasa sosial. Laki-laki peduli tidak hanya peduli pada keluarganya tetapi juga peduli masyarakat sekitarnya. Kalau ada apa-apa di desanya, banyak orang segera ingin tahu. Keingintahuan ini dimanfaatkan Jatmiko untuk mengajak komunitasnya berbicara mengenai permasalahan yang ada di desa mereka.

Saat ini, Jatmiko dan komunitasnya menggandeng tokoh masyarakat dan tokoh agama. Lebih banyak tokoh agama terlibat lebih baik, katanya. Karena ketika tokoh agama mau melakukan perubahan perilaku misalnya memberikan contoh pola pengasuhan dan berbagi peran dalam rumah tangga, itu bisa menjadi bukti nyata.

“Saya selalu bilang ke mereka, Pak Ustadz aja mau mencuci, momong anak, mengerjakan pekerjaan rumah tangga, masa’ kok kita enggak?” begitu salah satu cara Jatmiko mempengaruhi teman-temannya. Upayanya ini juga didukung oleh seorang takmir mushola yang disegani di desanya untuk menyampaikan ke masyarakat luas tentang hal itu.

Cara yang lain adalah Jatmiko tak segan-segan mengajak teman-temannya untuk nongkrong, ngobrol atau ngopi sambil berdiskusi di warung kecil miliknya. Dalam proses pendekatan ini, ia tidak langsung masuk ke permasalahan karena sudah pasti sangat sensitif. Mulanya ia membangun suasana terlebih dulu agar mereka merasa nyaman sehingga kalau bercerita tanpa ada hambatan. Kalau sudah masuk ke inti masalah langsung diajaknya berdiskusi lebih lanjut. Ia tidak pernah melakukan dengan cara menggurui.

“Saya biasanya berbagi pengalaman yang kira-kira hampir sama dengan masalah tersebut. Itu saya kira lebih efektif. Caranya kita sentuh hatinya dulu. Setelah mereka mengamini hal-hal yang dianggapnya bermanfaat bagi dia dan keluarganya, mereka kemudian menjadi kepanjangan tangan untuk menyampaikan ke keluarganya, ke saudaranya, dan teman yang lebih luas. Kita jadi mudah dan terbantu dalam menyampaikan hal ini.”

Terkait dengan pola asuh anak, Jatmiko membuat kesepakatan dengan istri, bahwa pekerjaan di dalam rumah dan pengasuhan anak itu tanggung jawab bersama. Memang susah awalnya, tapi kemudian yang pasti ia selalu menyisihkan waktu efektif buat anak. Sekarang waktu pertama untuk keluarga, ketika pekerjaan rumah sudah beres barulah ia keluar rumah untuk bekerja mencari nafkah. Dia mengakui memang ada beberapa pekerjaan rumah yang tidak bisa ia lakukan, misalnya menyetrika. Konsekuensinya ia harus selalu membayar jasa orang untuk menyetrika.

“Setara itu tidak harus semuanya bisa kita lakukan tapi sesuai dengan proporsi dan kemampuan kita. Kalau kita gak bisa ya ndak usah malu, bilang saja tidak bisa. Jadi memang kalau tidak bisa ya harus diambil alih pasangan saya,” pungkasnya.

Selasa, 04 Juli 2017 14:37

“Saat suami saya nyapu, dikomentarin tetangga, ‘Wah, kok, rajin bener.’ Terus suami saya jawab, ‘Lha wong laki-laki peduli, kok.’ Saya senang sekali dengar jawaban itu.” Kegembiraan bu Winarni tersebut disampaikan pada FGD evaluasi kelas ibu Kulon Progo, 12 Desember 2015. Selama ini, bu Wiwin, demikian dia akrab disapa, menganggap pekerjaan rumah tangga adalah tugas istri. Rutinitasnya mengerjakan tugas-tugas domestik ia lakukan tanpa bantuan suami. Pekerjaan yang ia rasa cukup berat itu masih ditambah mengurus dua anak laki-laki yang masih kecil.

Kesibukan suami mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga membuat bu Wiwin tidak berani meminta bantuannya dalam mengurus rumah tangga. Pikirnya, bukankah sudah demikian tugas istri dan suami dalam keluarga? Kebiasaan masyarakat dan tafsir Al-Quran yang ia pahami juga menyatakan bahwa tugas istri adalah mengurus rumah tangga, sedangkan tugas suami mencari nafkah. Tidak berbeda dengan Wiwin, Abdillah, sang suami, juga berpendapat demikian. Menurutnya, sebagai pemimpin rumah tangga, dia hanya bertugas mencari nafkah agar kebutuhan keluarga tercukupi.

Pandangan bu Wiwin dan pak Abdi adalah pandangan yang lazim berkembang di masyarakat dan itu diyakini sebagai kodrat Tuhan sehingga tidak bisa diganggu gugat. Lewat obrolan dan diskusi, kami mulai membahas apakah ini kodrat Tuhan atau bukan. Sebagai community organizer (CO) atau pendamping masyarakat dan fasilitator diskusi, saya mengajak para peserta membedakan mana yang kodrat, mana yang bukan. Mulai dari sana, peserta memahami bahwa kodrat adalah suatu hal yang diberikan Tuhan dan tidak bisa diubah, sifatnya universal, tak terbatas ruang dan waktu, misalnya laki-laki memiliki penis dan perempuan memiliki vagina. Selain kodrat, ada juga yang disebut gender, yaitu pandangan atau konstruksi masyarakat yang menempatkan laki-laki dan perempuan pada posisi tertentu, misalnya laki-laki pemimpin, sedangkan perempuan orang yang dipimpin. Perempuan lemah dan laki-laki kuat. Padahal, kondisi tersebut belum tentu benar. Pola pengasuhan, kebiasaan, atau wilayah geografis bisa membuat posisi laki-laki dan perempuan berubah. Tidak selamanya laki-laki memimpin atau kuat, demikian juga tidak selamanya perempuan lemah dan tidak bisa memimpin.

Kami berdiskusi sebulan sekali. Biasanya diadakan di balai desa. Malam hari untuk kelas ayah, menyesuaikan dengan jadwal mereka yang mayoritas bekerja pada siang hari. Kelas ibu biasanya dilakukan pada siang hari ketika para ibu sudah lebih selo[1] dalam menjalankan aktivitas mereka.

Pada setiap diskusi, pak Abdi terlihat menyimak dengan tekun. Beliau selalu mencatat dan mengerjakan pekerjaan rumah (PR) yang diberikan pada akhir sesi. PR yang diberikan, misalnya, mempraktikkan hal-hal yang belum pernah dilakukan sebelumnya terkait dengan materi yang dibahas. Banyak pengalaman menarik yang didapat oleh peserta saat mengerjakan PR, termasuk pak Abdi. Pada sesi Manajemen Marah, beliau menceritakan kesulitannya mengendalikan kemarahan, terutama kepada anak. “Biasanya saya marah jika anak tidak mau mandi dan mengaji. Saya memang tidak memukul tapi suara saya selalu tinggi kalau nyuruh anak sehingga anak-anak takut pada saya. Setelah tahu materi ini, saya mencoba mendekati anak. Saya ajak mereka mandi tetapi mereka tidak mau. Bahkan ketika saya berusaha membujuk, mereka langsung lari ke umi-nya. Begitu juga kalau belajar.” Ini juga berkaitan dengan materi pengasuhan, banyak keluarga yang membebankan soal pengasuhan hanya kepada ibu, sehingga tidak ada kedekatan antara ayah dan anak. Padahal di lain sisi, ibu sangat menginginkan anak-anak dekat dengan ayahnya sehingga mereka bisa berbagi peran.

Materi lain yang sangat menarik bagi bu Wiwin dan pak Abdi adalah komunikasi. “Suami saya itu dulunya pendiam. Sekarang, kalau ada sesuatu, dia mulai berkomunikasi, banyak ngobrol,” ungkap bu Wiwin.

           “Dulu, kalau pergi, saya nggak pernah bilang. Ketika ditanya istri, nggak bisa jawab. Dulu, saya berpikir pergi untuk berbuat baik, jadi nggak perlu pamit dan itu nggak disukai oleh istri. Sekarang saya usahakan pamit kalau ke mana-mana,” curhat pak Abdi.

Peserta-peserta lain juga mengatakan bahwa komunikasi yang mereka lakukan selama ini adalah bicara seperlunya. Komunikasi tidak dimaknai sebagai sebuah hal yang penting dalam membangun keluarga. Yang penting sudah bicara. Kalau marah atau jika tidak suka dengan sesuatu, diekspresikan dengan nada tinggi atau kata-kata kasar, atau kadang hanya diam. Masing-masing beranggapan, dengan demikian pasangan sudah tahu apa yang dimaksud. Saya jelaskan, ada beberapa macam komunikasi: komunikasi pasif, ketika kita lebih banyak diam dalam merespons sesuatu; komunikasi agresif, sikap ataupun ucapan yang bisa memunculkan kekerasan; terakhir, komunikasi yang paling disarankan, yaitu komunikasi asertif, komunikasi dua arah sehingga kedua belah pihak bisa mengutarakan dan memahami pesan dan perasaan satu sama lain.

Pak Abdi dan bu Wiwin mempraktikkan komunikasi asertif. Bu Wiwin mencoba menyampaikan perasaan dan keinginannya. Misal, ketika pak Abdi mengajak berhubungan seksual. “Ketika dia pegang kaki saya panas, saya bilang, ‘Saya capek, Bi, kalau pekerjaan rumah tangga mbok bantu, mungkin jadi nggak akan terlalu capek.’ Saya mengungkapkan sejujurnya. Dan, dia tidak tersinggung.”

“Suami mulai mendekati anak, anak dipangku saat diajari membaca. Ketika sudah mulai dekat dengan sang abi, anak juga mulai bisa mengungkapkan keinginannya, ‘Mbok Abi belajar bikin susu yang enak.’ Setelah belajar membuat susu yang enak dan rasanya sama dengan buatan saya, anak jadi suka. Setelah itu, saya merasa pekerjaan saya lebih ringan,” ungkap bu Wiwin.

Dengan metode reflektif, peserta merefleksikan apa yang terjadi dalam kehidupan mereka. Pola pengasuhan yang mereka terapkan dalam keluarga tidak terlepas dari pola pengasuhan yang mereka dapatkan dari orang tua. Cara lama mendidik anak seperti memukul dan memarahi, membuat anak jauh dari ayah mereka. Sosok ayah hanya menjadi “monster” bagi anak. Tidak hanya itu, dalam hal pekerjaan domestik, mereka juga mencontoh dari para pendahulu. Jika ada pekerjaan domestik yang dianggap sebagai pekerjaan istri, kemudian dilakukan oleh suami, sang suami dinilai layak mendapat celaan atau hinaan.

Sebagai keluarga dengan latar belakang agama yang sangat kuat dan pemahaman yang kaku, perubahan yang terjadi menjadi tidak mudah karena masih adanya nilai-nilai lama yang masih tetap diyakini. Belum lagi kondisi masyarakat yang belum memiliki pemahaman yang sama sehingga tekanan sosialnya tinggi. Laki-laki yang melakukan pekerjaan rumah tangga akan dianggap suami takut istri atau bahkan bukan laki-laki.

Di lain pihak, banyak istri yang ingin melakukan pekerjaan rumah tangga bersama-sama. Pekerjaan rumah tangga memang tidak menghasilkan uang seperti bekerja di pabrik atau kantor. Akan tetapi, jika dihitung jumlah jam dan jenis pekerjaannya, penghasilan istri akan jauh lebih banyak dibandingkan dengan hasil pekerjaan suami. Hal ini diamini oleh semua peserta diskusi. Pada diskusi dengan materi Gender, mereka diminta menghitung jumlah pekerjaan yang dilakukan suami dan istri dalam sehari. Sebelum matahari terbit, istri sudah bangun dan mulai menyiapkan segala kebutuhan anak dan suami. Setelah anak berangkat sekolah dan suami pergi bekerja, istri lanjut mencuci piring dan pakaian, menyapu, kemudian belanja. Setelah itu memasak, menjemput anak sekolah, menemani bermain dan belajar sampai malam. Hampir seluruh waktunya dihabiskan untuk mengurusi rumah sehingga ia tidak memiliki kesempatan untuk merawat atau mengembangkan diri, berbeda dengan para suami yang sedari bangun tidur segala kebutuhannya sudah disiapkan oleh sang istri. Ketika bekerja, mereka masih punya kesempatan untuk mencari hiburan, bahkan mengembangkan diri. Saat pulang ke rumah, mereka masih punya kesempatan untuk bersosialisasi atau melakukan aktivitas lainnya.

Menyadari banyaknya beban istri, pak Abdi mulai melakukan pekerjaan rumah tangga. Beliau membantu memasakkan air untuk mandi anak-anak, menemani mereka belajar, juga menyapu halaman.

Sesuk nek kalian nduwe anak, aku arep ndelok piye carane mendidik anak.”[2] Candaan itu disampaikan para peserta di akhir sebuah diskusi. Sebagai pendamping masyarakat, saya dinilai sudah “selesai” dengan semua persoalan yang menjadi topik dalam diskusi sehingga mereka ingin melihat contoh langsung bagaimana menerapkannya dalam rumah tangga. Saya dan suami selalu berbagi tugas pekerjaan rumah tangga. Mencuci piring, menyapu, dan menjemur pakaian itu tugas suami saya. Saya lebih sering memasak dan mencuci pakaian. Karena belum memiliki anak, kami belum memiliki pengalaman dalam mendidik anak.

“Nah, itu yang susah, Mbak. Niatnya nggak marah atau pukul anak tapi pas anak rewel, kita dalam posisi capek, ada masalah, kadang-kadang nggak sadar membentak. Setelah itu menyesal.” Saya selalu memposisikan diri sejajar dengan peserta. Ketika mereka diminta merefleksikan kehidupan mereka, saya pun melakukannya sehingga tidak ada jarak antara kami. Karena itu pula peserta lebih terbuka dan mempercayakan hal-hal yang dianggap rahasia dalam kehidupan mereka untuk diceritakan dalam forum. Kepercayaan tersebut disepakati sejak awal pertemuan, ada aturan di mana semua peserta bisa menceritakan semua pengalamannya dan pembahasannya cukup dalam forum diskusi saja sehingga tidak menjadi gosip di luar forum.

Latar belakang peserta diskusi sangat beragam, baik dari sisi pendidikan, ekonomi, ataupun pengasuhan. Semua itu memperkaya dinamika forum. Tidak semua peserta bisa menceritakan pengalamannya secara mendalam, tetapi pak Abdi dan bu Wiwin selalu antusias menceritakan pengalaman dan perubahan yang mereka alami pada setiap sesi. Ini di luar dugaan saya. Awal bertemu dengan pasangan ini saya mengira mereka akan sulit menerima materi-materi yang akan dibahas di kelas diskusi. Kenyataannya, mereka cukup aktif dan mau mencoba melakukan hal-hal yang ditawarkan.

           Diskusi dua jam di komunitas hanyalah salah satu cara untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa membangun keluarga tanpa kekerasan bisa diciptakan. Lewat tema-tema diskusi, masyarakat diajak untuk mengubah cara pandang dan menciptakan nilai baru. Pembagian kerja dan komunikasi yang baik dalam keluarga akan meminimalisasi terjadinya kekerasan. Setidaknya itu yang dirasakan oleh pak Abdi dan bu Wiwin. Kini mereka bisa membahas banyak hal terkait perasaan sampai perencanaan keluarga. Anak-anak juga memiliki kedekatan emosional, tidak hanya pada umi tetapi juga pada abi. Mungkin masih terlalu dini untuk mengatakan bahwa pasangan ini telah sukses membangun keluarga tanpa kekerasan, tapi setidaknya mereka mau mengupayakan agar situasi seperti ini bisa terus terjaga selamanya.


[1] longgar waktunya

[2]Besok jika kalian punya anak, saya mau lihat caranya mendidik.”

Jumat, 09 Jun 2017 12:39

Pagi itu, Minggu, 27 Februari 2016, saya menuju Desa Ngalang, salah satu desa yang tiga tahun ini menjadi tempat saya belajar tentang keluarga dan masyarakat, desa di mana kebersamaan di komunitas masih sangat lekat dengan nilai-nilai sosial dan kebudayaan. Tradisi gotong royong dan tradisi rasulan[1] berjalan setiap tahun. Tidak hanya itu, masyarakat yang terbuka mempermudah saya berkenalan dan masuk dalam kelompok-kelompok sosial, baik kelompok ibu maupun ayah. Dari sinilah saya kenal warga-warga yang ada di desa ini, salah satunya ibu Tukinah.

Ibu Tukinah adalah perempuan yang saya kenal pada tahun kedua tinggal di Ngalang. Ia memiliki dua anak yang duduk di bangku TK dan SMP. Dua anak bersekolah membuat dia memutuskan untuk bekerja di salah satu perusahaan wig yang ada di Piyungan, Bantul. Ia bekerja mulai pukul 05.30 WIB hingga pukul 18.30 WIB. Situasi ini membuat ia tidak punya banyak waktu untuk keluarga. “Saya melakukan itu demi anak-anak dan untuk ekonomi keluarga,” ungkapnya. Hal ini pun tak menyulutkan ibu Tukinah untuk selalu datang pada pertemuan kelompok ibu-ibu. Ia juga mengusulkan kepada fasilitator agar diskusi dilakukan pada hari Minggu agar dia bisa sharing dan bertemu dengan kawan-kawan yang berasal dari desa yang sama. Motivasi ini berangkat dari situasi keluarga yang, menurutnya, sering cekcok.

Ibu Tukinah lahir di Jambi, Sumatra. Pernikahannya dengan Maryanto membuat ia tak lagi tinggal bersama kakak-kakaknya di sana. Sebagai anak terakhir dari 10 bersaudara, ia lebih banyak bersama kakak-kakanya. Menurut cerita yang didapat Tukinah dari kakak-kakaknya, bapak mereka berprinsip, “Apa yang dikasihkan Tuhan dan dititipkan di perut keluarkan saja semua.” Ibu mereka meninggal pada usia 50 tahun saat melahirkan anak ke-11. Kondisi ini yang membuat ibu Tukinah juga tak ingin punya banyak anak sehingga dia ikut program keluarga berencana.

Selama di Jambi, ia diasuh kakak-kakaknya. Ayahnya menikah lagi dan memutuskan untuk tinggal bersama istri barunya. Tukinah kecil tidak lama tinggal bersama ayahnya. Karena itu pula ia tak mendapatkan kasih sayang dari ayahnya. Bekal perkebunan sawit dari sang ayah membuat hidup mereka tidak begitu mudah dijalani. Mereka makan dan sekolah dari hasil kebun. Mereka hanya mengandalkan sawit untuk hidup. “Berat, Mbak, saat itu saya masih kecil dan tidak ada yang ngajari kita. Jadi, kita mau makan dan sekolah, ya, harus jual kelapa dulu agar bisa jadi duit,” tegasnya. Tak ada yang mendampingi mereka dan memberi kasih sayang. Ibu Tukinah merasa bapaknya tak hadir langsung dalam pengasuhannya.

Saat dewasa, ibu Tukinah bekerja di sebuah pabrik di Jambi. Di sinilah ia mengenal Maryanto dan memutuskan untuk menikah dengannya. Pernikahannya dengan Maryanto membuat ia meninggalkan kota kelahirannya. Hal ini bukan hal yang mudah baginya. Karena tak ingin jauh dari Tukinah, bapaknya sempat tidak setuju. Dibandingkan dengan saudara-saudaranya yang lain, ibu Tukinah memang cukup dekat dengan bapaknya.

Ibu Tukinah memilih untuk hidup bersama keluarga barunya, yakni pasangan yang ia nikahi di Jambi, 15 tahun yang lalu. Empat bulan setelah menikah, ibu Tukinah diboyong suaminya ke Jawa, tepatnya di Dusun Manggung, Ngalang, Gedangsari. Tak mudah baginya untuk beradaptasi di Jawa. Lama hidup di Sumatra membuatnya lebih banyak memegang budaya di sana. Keputusannya menikah dengan Maryanto membuatnya perlu belajar banyak tentang budaya Jawa. Tukinah lebih mudah beradaptasi dengan budayanya dibandingkan dengan bahasanya. “Saya tak bisa bahasa Jawa tapi mengerti jika orang ngomong (bahasa) Jawa,” jelas Tukinah.

Nilai-nilai Jawa tidak jauh berbeda dengan nilai yang dipegang masyarakat Jambi. “Perempuan, ya, di dapur, Mbak, pokoknya yang di belakang, neng mburi. Urusan macak, masak, manak[2]. Itu yang orang-orang bilang. Saya melihat masyarakat sini tak jauh beda dengan (masyarakat) Sumatra.” Pandangan ini membuat Tukinah menurut pada kata bapak, juga suaminya.

Sebagai seorang perempuan yang memutuskan untuk menikah, ia mempunyai harapan yang tinggi terhadap pernikahan itu, yakni hidup bahagia bersama pasangan yang telah dipilihnya. Ia membayangkan keluarga yang indah dan hidup bersama anak-anak yang didambakan, menjadi keluarga sakinah mawaddah wa rahmah seperti janji yang mereka ucapkan di pelaminan kala itu. Namun, kenyataan tak selalu seindah mimpinya. Dalam membangun bahtera keluarga, perjalanan ibu Tukinah penuh liku dan tantangan. Akhirnya, bagi ibu Tukinah, pernikahan adalah belajar tentang kehidupan.

“Plak! Plak! Tangan itu tiba-tiba terhempas di hadapanku. Itu yang pernah terjadi saat kami sedang cekcok, Mbak,” kata ibu Tukinah. Tamparan ini adalah salah satu kekerasan yang didapat Tukinah dari pasangannya. Menurutnya, sang suami berwatak keras, temperamental, dan mudah marah. “Nek marahan kita adu cangkem[3], habis itu barang-barang dibantingi bojoku,” tegasnya. Hal ini juga diungkapkan bapak Maryanto, “Saya orangnya egois, Mbak, temperamental. Nek pas lagi ngamuk, ya, apa yang ada di sekelilingku habis.” Sifatnya yang egois dan mudah marah terhadap masalah tertentu membuat dia biasa melakukan kekerasan terhadap istri. “Tujuh HP habis di tangan pas kalau bertengkar dengan istri,” jelas Maryanto. Ketika anak rewel, ia marah-marah. Sifat itu membuat anak pertamanya tidak begitu dekat dengannya.

Kondisi ini semakin rumit saat Maryanto mempunyai selingkuhan. “Ya, saya marah, Mbak. Perempuan mana yang mau digitukan?” ungkap ibu Tukinah saat kami bertemu di rumahnya, “Sejak saat itu saya tidak pernah mau diajak ngobrol, perilaku suami yang keras dan sering bentak-bentak membuat saya semakin menderita sebagai perempuan. Sekarang, kalau dia marah, ya, saya ikut marah. Kalau dia mukul, ya, saya ikut mukul. Saya tak mau direndahkan. 12 tahun saya menurut dan patuh padanya, tapi apa yang saya dapat? Saya kecewa dan belum bisa memaafkan, Mbak,” cerita Tukinah. Hal ini yang membuat ibu Tukinah ingin memperbaiki keluarga, demi anak-anaknya, “Sebagai bapak dari anak-anakku, saya ingin suami saya berubah.” Makanya ia senang bisa sharing dan terlibat dalam pertemuan ibu-ibu. Ia bisa cerita dan berbagi pengalaman, sekaligus mendapatkan solusi tentang persoalan keluarganya.

Bagi saya, harapan ibu Tukinah adalah harapan seorang perempuan, istri, sekaligus ibu yang menginginkan pasangannya menjadi orang yang lebih baik. Pikirku, “berat mungkin, program yang berjalan kurang lebih setahun bisa mengubah perilaku kekerasan.” Obrolan-obrolan ini menjadi beban sekaligus tantangan bagiku. Saya pun teringat ibu saya yang juga mengalami kekerasan dari bapak. Hal ini yang membuat saya terpanggil menolong perempuan-perempuan yang pernah mengalami kekerasan.

Keinginan ini mungkin bukan hanya keinginan Tukinah tapi juga keinginan banyak perempuan lain yang mengalami hal yang sama. Banyak perempuan yang tidak bisa bercerita, bahkan tidak tahu, bahwa dirinya sedang mengalami kekerasan. Banyak perempuan yang belajar tentang tafsir agama—bahwa laki-laki harus dipatuhi, laki-laki adalah pemimpin utama—sehingga mempengaruhi relasi dengan pasangannya. Hanya sedikit perempuan yang melaporkan kekerasan yang ia alami karena tidak tahu melapor ke mana atau bercerita kepada siapa. Juga anggapan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah urusan ruang privat yang tak patut melibatkan orang lain. Banyak perempuan yang tidak berdaya dan hanya bisa menggantungkan harapan bahwa suatu saat suaminya akan berubah.

Data Rifka Annisa membuktikannya, 90 persen perempuan yang mengalami KDRT kembali kepada pasangannya dengan harapan pasangannya berubah. Kenapa ini bisa terjadi? Karena banyak perempuan yang bergantung secara emosional pada pasangannya. Anggapan bahwa laki-laki adalah pencari nafkah utama, juga mempengaruhi situasi ini. Karena perempuan tidak bekerja, ia tidak bisa hidup tanpa suaminya. Alasan lainnya adalah anak-anak. Ia tak rela anaknya diejek dan ditanya teman-temannya, “Bapakmu mana?” Selain itu, ia tak mau menjadi janda karena stigma negatif terhadap janda. Janda sering dianggap sebagai perempuan penggoda, perempuan yang gagal rumah tangganya. Ia memilih bersama pasangannya meskipun hidup dalam hubungan yang penuh kekerasan.

Berbeda dengan ibu Tukinah, ia mempunyai kesempatan untuk bekerja dan memperkuat ekonomi keluarga. Setelah beberapa kali terlibat dalam kegiatan Rifka Annisa, pandangannya tentang perempuan berubah. Saat ini ia menyadari bahwa perempuan tidak hanya mengurus pekerjaan rumah, ia juga bisa bekerja dan mencari uang untuk meningkatkan ekonomi keluarga. Perempuan sama-sama punya kesempatan untuk mengembangkan diri. “Sebagai perempuan, saya tak mau direndahkan lagi,” tegasnya.

Seperti halnya ibu Tukinah, pak Maryanto juga selalu mengikuti diskusi, bahkan ia datang paling awal. Ia menyadari bahwa ia adalah pelaku kekerasan. Ia ingin mengubah perilaku tersebut sedikit demi sedikit. Kesadaran ini yang menyulut semangatnya untuk belajar dan tak pernah absen mengikuti kegiatan Rifka Annisa.

Awalnya, sebelum mengikuti diskusi, ia merasa tidak ada masalah dengan kekerasan yang ia lakukan. Hal itu wajar ketika terjadi konflik keluarga. Ia pun mempunyai pandangan bahwa sudah menjadi tugas istri untuk melakukan pekerjaan rumah tangga seperti memasak, menyapu, dan mengasuh anak. “Saya tidak pernah membantu istri di dapur,” paparnya, “Ketika istri berangkat bekerja atau sibuk dengan aktivitas di dapur, saya masih di tempat tidur.” Ia beranggapan tugas laki-laki hanya mencari uang.

Kini, ia mulai menyadari bahwa pekerjaan domestik tidak semata-mata tugas istri. “Itu merupakan pekerjaan bersama,” jelas pak Maryanto saat diskusi. Ia sekarang juga lebih dekat dengan anaknya. Kalau dulu ia lebih banyak menolak ketika istri memintanya untuk menjaga anak-anak, sekarang ia sering mengajak mereka bermain dan jalan-jalan. Ibu Tukinah mempertegas hal itu. “Bapaknya sekarang lebih dekat dengan anak-anak,” tegasnya.

Bagi Maryanto, kesadaran ini tidak datang dengan sendirinya. Banyak faktor yang membuat ia berubah, antara lain pasangan yang mau terbuka dan komunikasi yang lebih efektif. Sekarang mereka lebih sering mengkomunikasikan apa pun yang mereka rasakan, baik hal-hal yang disukai maupun tidak disukai pasangan. Ia merasa bahwa hubungan dengan pasangannya kini lebih dekat dan tumbuh rasa saling menghargai untuk membangun relasi yang sehat. Selain oleh pasangannya, Maryanto merasa bahwa perubahan ini juga didorong teman-teman Rifka Annisa, salah satunya Thonthowi selaku fasilitator diskusi kelas ayah di Desa Ngalang. Baginya, proses menyadari perilaku kekerasan berangkat dari proses refleksi yang dilakukan terus-menerus saat diskusi. Menurutnya, Thonthowi sangat berperan dalam proses perubahannya. Untuk mewujudkan itu mereka sama-sama membangun kepercayaan lagi. Meski agak berat bagi ibu Tukinah, ia melakukan ini demi anak-anaknya. Kisah keluarga ini menjadi pembelajaran bagi saya, bahwa seseorang belajar dari orang terdekatnya, belajar menjadi laki-laki dan perempuan dari keluarga, ayah-ibu, tetangga, dan masyarakat di sekitarnya. Akhirnya saya memahami, seseorang bisa menjadi korban sekaligus pelaku kekerasan. Proses ini tidak berdiri sendiri. Demikian yang terjadi pada pasangan Tukinah dan Maryanto, mereka memulai perubahan ini bersama, juga dengan teman, keluarga, dan lingkungan sekitar.


[1] Tradisi perayaan gugur gunung yang dilakukan setiap tahun.

[2] berdandan, memasak, beranak

[3] Kalau lagi marahan, kita beradu mulut

Kamis, 30 Maret 2017 16:04

s.jpg

Hari perempuan Internasional adalah hari yang diperingati untuk merayakan perjuangan kaum perempuan. Memperingati hari perempuan merupakan salah satu bentuk penghargaan bagi sejarah perjuangan perempuan. Kemajuan dunia saat ini yang terlihat begitu pesatnya tidak lepas dari berbagai peran perempuan didalamnya. Banyak kita ketahui adanya pergeseran yang ditunjukkan dengan adanya kemajuan perempuan dalam berbagai aspek. Namun, kemajuan perempuan tersebut berbanding terbalik dengan banyaknya kasus kekerasan pada perempuan yang terjadi. Setiap tahun di Indonesia kekerasan terhadap perempuan terus meningkat, berdasarkan catatan komisi Nasional Perempuan yang dirilis tahun 2017 menyebutkan bahwa terdapat 259.150 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan selama tahun 2016. Hal tersebut menunjukkan tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan belum menjadi perhatian penuh oleh berbagai pihak.

Kemudian ada pun peristiwa lainnya yang terjadi pada 8 Maret 1857 yang kemudian diperingati sebagai hari perempuan sedunia di New York City. Kala itu, kaum perempuan dari pabrik pakaian tekstil mengadakan protes karena apa yang mereka merasakan kondisi kerja yang sangat buruk dan tingkat gaji yang rendah. Para pengunjuk rasa kemudian diserang dan dibubarkan oleh polisi. Kaum perempuan ini kemudian membentuk serikat buruh pada bulan yang sama dua tahun setelah peristiwa tersebut. Di tengah gelombang industrialisasi dan ekspansi ekonomi yang menyebabkan timbulnya protes-protes mengenai kondisi kerja inilah gagasan perayaan International Women’s Day ini tercetuskan.

Namun, sekitar tahun 1910 dan 1920-an, peryaan ini sempat menghilang tanpa alasan yang jelas. Perayaan ini dihidupkan kembali dengan bangkitnya feminisme pada tahun 1960-an. Lalu, pada tahun 1975, PBB mulai mensponsori peringatan Hari Perempuan Sedunia. Seiring berjalannya waktu, peringatan ini semakin menggema karena semakin banyak perempuan-perempuan yang merayakannya. Para perempuan di masing-masing negara mengadakan berbagai acara yang diharapkan dapat memotivasi para perempuan untuk lebih mengembangkan dirinya sesuai dengan bidang yang diminatinya. Di Yogyakarta sendiri masih banyak pembangunan yang dilakukan namun selalu mengacu kepada pembangunan fisik dan infrastruktur, namun pembangunan dari sisi mental dirasa masih sangat kurang terutama dalam pembangunan dan kebijakan yang adil gender. Pada 8 Maret 2017 lalu telah dilaksanakan momentum perayaan hari perempuan sedunia. Salah satunya bertempat di titik nol kilometer Yogyakarta. Acara diawali dengan tarian adaptasi “Jampi Gugat” yang di tarikan oleh perempuan-perempuan yang tengah berkumpul disana. Kegiatan tersebut berlangsung meriah, terlihat para perempuan menunjukkan ekspresi keceriaan mereka.

Salah satu peserta yaitu ibu sopiyah yang berprofesi sebagai buruh gendong di Giwangan, beliau menyebutkan bahwa aksi ini dapat menambah semangat untuk mencari pengakuan dari masyarakat dan perempuan mendapat tempat yang sejajar dengan laki-laki. para peserta yang mengikuti aksi ini tidak hanya perempuan, banyak juga laki-laki yang mengikuti seperti bapak Ahmad asal makasar yang menyebutkan sangat senang dengan acara ini karena beliau dapat melihat kesadaran perempuan akan pentingnya kedudukan perempuan dalam kehidupan. Dalam aksi tersebut terdapat beberapa kegiatan diantaranya penulisan surat 1000 bangau yang diisi oleh peserta para perempuan tentang apa yang diinginkan untuk kemajuan perempuan, dilanjutkan dengan beberapa penampilan mulai dari nyanyian hingga musikalisasi puisi yang bertemakan pembelaan terhadap perempuan. []

44088760
Today
This Week
This Month
Last Month
All
2838
50041
152881
276576
44088760