Cerita Komunitas: Keluarga Tanpa Kekerasan

Written by  Nina Musriyanti Selasa, 04 Juli 2017 14:37

“Saat suami saya nyapu, dikomentarin tetangga, ‘Wah, kok, rajin bener.’ Terus suami saya jawab, ‘Lha wong laki-laki peduli, kok.’ Saya senang sekali dengar jawaban itu.” Kegembiraan bu Winarni tersebut disampaikan pada FGD evaluasi kelas ibu Kulon Progo, 12 Desember 2015. Selama ini, bu Wiwin, demikian dia akrab disapa, menganggap pekerjaan rumah tangga adalah tugas istri. Rutinitasnya mengerjakan tugas-tugas domestik ia lakukan tanpa bantuan suami. Pekerjaan yang ia rasa cukup berat itu masih ditambah mengurus dua anak laki-laki yang masih kecil.

Kesibukan suami mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga membuat bu Wiwin tidak berani meminta bantuannya dalam mengurus rumah tangga. Pikirnya, bukankah sudah demikian tugas istri dan suami dalam keluarga? Kebiasaan masyarakat dan tafsir Al-Quran yang ia pahami juga menyatakan bahwa tugas istri adalah mengurus rumah tangga, sedangkan tugas suami mencari nafkah. Tidak berbeda dengan Wiwin, Abdillah, sang suami, juga berpendapat demikian. Menurutnya, sebagai pemimpin rumah tangga, dia hanya bertugas mencari nafkah agar kebutuhan keluarga tercukupi.

Pandangan bu Wiwin dan pak Abdi adalah pandangan yang lazim berkembang di masyarakat dan itu diyakini sebagai kodrat Tuhan sehingga tidak bisa diganggu gugat. Lewat obrolan dan diskusi, kami mulai membahas apakah ini kodrat Tuhan atau bukan. Sebagai community organizer (CO) atau pendamping masyarakat dan fasilitator diskusi, saya mengajak para peserta membedakan mana yang kodrat, mana yang bukan. Mulai dari sana, peserta memahami bahwa kodrat adalah suatu hal yang diberikan Tuhan dan tidak bisa diubah, sifatnya universal, tak terbatas ruang dan waktu, misalnya laki-laki memiliki penis dan perempuan memiliki vagina. Selain kodrat, ada juga yang disebut gender, yaitu pandangan atau konstruksi masyarakat yang menempatkan laki-laki dan perempuan pada posisi tertentu, misalnya laki-laki pemimpin, sedangkan perempuan orang yang dipimpin. Perempuan lemah dan laki-laki kuat. Padahal, kondisi tersebut belum tentu benar. Pola pengasuhan, kebiasaan, atau wilayah geografis bisa membuat posisi laki-laki dan perempuan berubah. Tidak selamanya laki-laki memimpin atau kuat, demikian juga tidak selamanya perempuan lemah dan tidak bisa memimpin.

Kami berdiskusi sebulan sekali. Biasanya diadakan di balai desa. Malam hari untuk kelas ayah, menyesuaikan dengan jadwal mereka yang mayoritas bekerja pada siang hari. Kelas ibu biasanya dilakukan pada siang hari ketika para ibu sudah lebih selo[1] dalam menjalankan aktivitas mereka.

Pada setiap diskusi, pak Abdi terlihat menyimak dengan tekun. Beliau selalu mencatat dan mengerjakan pekerjaan rumah (PR) yang diberikan pada akhir sesi. PR yang diberikan, misalnya, mempraktikkan hal-hal yang belum pernah dilakukan sebelumnya terkait dengan materi yang dibahas. Banyak pengalaman menarik yang didapat oleh peserta saat mengerjakan PR, termasuk pak Abdi. Pada sesi Manajemen Marah, beliau menceritakan kesulitannya mengendalikan kemarahan, terutama kepada anak. “Biasanya saya marah jika anak tidak mau mandi dan mengaji. Saya memang tidak memukul tapi suara saya selalu tinggi kalau nyuruh anak sehingga anak-anak takut pada saya. Setelah tahu materi ini, saya mencoba mendekati anak. Saya ajak mereka mandi tetapi mereka tidak mau. Bahkan ketika saya berusaha membujuk, mereka langsung lari ke umi-nya. Begitu juga kalau belajar.” Ini juga berkaitan dengan materi pengasuhan, banyak keluarga yang membebankan soal pengasuhan hanya kepada ibu, sehingga tidak ada kedekatan antara ayah dan anak. Padahal di lain sisi, ibu sangat menginginkan anak-anak dekat dengan ayahnya sehingga mereka bisa berbagi peran.

Materi lain yang sangat menarik bagi bu Wiwin dan pak Abdi adalah komunikasi. “Suami saya itu dulunya pendiam. Sekarang, kalau ada sesuatu, dia mulai berkomunikasi, banyak ngobrol,” ungkap bu Wiwin.

           “Dulu, kalau pergi, saya nggak pernah bilang. Ketika ditanya istri, nggak bisa jawab. Dulu, saya berpikir pergi untuk berbuat baik, jadi nggak perlu pamit dan itu nggak disukai oleh istri. Sekarang saya usahakan pamit kalau ke mana-mana,” curhat pak Abdi.

Peserta-peserta lain juga mengatakan bahwa komunikasi yang mereka lakukan selama ini adalah bicara seperlunya. Komunikasi tidak dimaknai sebagai sebuah hal yang penting dalam membangun keluarga. Yang penting sudah bicara. Kalau marah atau jika tidak suka dengan sesuatu, diekspresikan dengan nada tinggi atau kata-kata kasar, atau kadang hanya diam. Masing-masing beranggapan, dengan demikian pasangan sudah tahu apa yang dimaksud. Saya jelaskan, ada beberapa macam komunikasi: komunikasi pasif, ketika kita lebih banyak diam dalam merespons sesuatu; komunikasi agresif, sikap ataupun ucapan yang bisa memunculkan kekerasan; terakhir, komunikasi yang paling disarankan, yaitu komunikasi asertif, komunikasi dua arah sehingga kedua belah pihak bisa mengutarakan dan memahami pesan dan perasaan satu sama lain.

Pak Abdi dan bu Wiwin mempraktikkan komunikasi asertif. Bu Wiwin mencoba menyampaikan perasaan dan keinginannya. Misal, ketika pak Abdi mengajak berhubungan seksual. “Ketika dia pegang kaki saya panas, saya bilang, ‘Saya capek, Bi, kalau pekerjaan rumah tangga mbok bantu, mungkin jadi nggak akan terlalu capek.’ Saya mengungkapkan sejujurnya. Dan, dia tidak tersinggung.”

“Suami mulai mendekati anak, anak dipangku saat diajari membaca. Ketika sudah mulai dekat dengan sang abi, anak juga mulai bisa mengungkapkan keinginannya, ‘Mbok Abi belajar bikin susu yang enak.’ Setelah belajar membuat susu yang enak dan rasanya sama dengan buatan saya, anak jadi suka. Setelah itu, saya merasa pekerjaan saya lebih ringan,” ungkap bu Wiwin.

Dengan metode reflektif, peserta merefleksikan apa yang terjadi dalam kehidupan mereka. Pola pengasuhan yang mereka terapkan dalam keluarga tidak terlepas dari pola pengasuhan yang mereka dapatkan dari orang tua. Cara lama mendidik anak seperti memukul dan memarahi, membuat anak jauh dari ayah mereka. Sosok ayah hanya menjadi “monster” bagi anak. Tidak hanya itu, dalam hal pekerjaan domestik, mereka juga mencontoh dari para pendahulu. Jika ada pekerjaan domestik yang dianggap sebagai pekerjaan istri, kemudian dilakukan oleh suami, sang suami dinilai layak mendapat celaan atau hinaan.

Sebagai keluarga dengan latar belakang agama yang sangat kuat dan pemahaman yang kaku, perubahan yang terjadi menjadi tidak mudah karena masih adanya nilai-nilai lama yang masih tetap diyakini. Belum lagi kondisi masyarakat yang belum memiliki pemahaman yang sama sehingga tekanan sosialnya tinggi. Laki-laki yang melakukan pekerjaan rumah tangga akan dianggap suami takut istri atau bahkan bukan laki-laki.

Di lain pihak, banyak istri yang ingin melakukan pekerjaan rumah tangga bersama-sama. Pekerjaan rumah tangga memang tidak menghasilkan uang seperti bekerja di pabrik atau kantor. Akan tetapi, jika dihitung jumlah jam dan jenis pekerjaannya, penghasilan istri akan jauh lebih banyak dibandingkan dengan hasil pekerjaan suami. Hal ini diamini oleh semua peserta diskusi. Pada diskusi dengan materi Gender, mereka diminta menghitung jumlah pekerjaan yang dilakukan suami dan istri dalam sehari. Sebelum matahari terbit, istri sudah bangun dan mulai menyiapkan segala kebutuhan anak dan suami. Setelah anak berangkat sekolah dan suami pergi bekerja, istri lanjut mencuci piring dan pakaian, menyapu, kemudian belanja. Setelah itu memasak, menjemput anak sekolah, menemani bermain dan belajar sampai malam. Hampir seluruh waktunya dihabiskan untuk mengurusi rumah sehingga ia tidak memiliki kesempatan untuk merawat atau mengembangkan diri, berbeda dengan para suami yang sedari bangun tidur segala kebutuhannya sudah disiapkan oleh sang istri. Ketika bekerja, mereka masih punya kesempatan untuk mencari hiburan, bahkan mengembangkan diri. Saat pulang ke rumah, mereka masih punya kesempatan untuk bersosialisasi atau melakukan aktivitas lainnya.

Menyadari banyaknya beban istri, pak Abdi mulai melakukan pekerjaan rumah tangga. Beliau membantu memasakkan air untuk mandi anak-anak, menemani mereka belajar, juga menyapu halaman.

Sesuk nek kalian nduwe anak, aku arep ndelok piye carane mendidik anak.”[2] Candaan itu disampaikan para peserta di akhir sebuah diskusi. Sebagai pendamping masyarakat, saya dinilai sudah “selesai” dengan semua persoalan yang menjadi topik dalam diskusi sehingga mereka ingin melihat contoh langsung bagaimana menerapkannya dalam rumah tangga. Saya dan suami selalu berbagi tugas pekerjaan rumah tangga. Mencuci piring, menyapu, dan menjemur pakaian itu tugas suami saya. Saya lebih sering memasak dan mencuci pakaian. Karena belum memiliki anak, kami belum memiliki pengalaman dalam mendidik anak.

“Nah, itu yang susah, Mbak. Niatnya nggak marah atau pukul anak tapi pas anak rewel, kita dalam posisi capek, ada masalah, kadang-kadang nggak sadar membentak. Setelah itu menyesal.” Saya selalu memposisikan diri sejajar dengan peserta. Ketika mereka diminta merefleksikan kehidupan mereka, saya pun melakukannya sehingga tidak ada jarak antara kami. Karena itu pula peserta lebih terbuka dan mempercayakan hal-hal yang dianggap rahasia dalam kehidupan mereka untuk diceritakan dalam forum. Kepercayaan tersebut disepakati sejak awal pertemuan, ada aturan di mana semua peserta bisa menceritakan semua pengalamannya dan pembahasannya cukup dalam forum diskusi saja sehingga tidak menjadi gosip di luar forum.

Latar belakang peserta diskusi sangat beragam, baik dari sisi pendidikan, ekonomi, ataupun pengasuhan. Semua itu memperkaya dinamika forum. Tidak semua peserta bisa menceritakan pengalamannya secara mendalam, tetapi pak Abdi dan bu Wiwin selalu antusias menceritakan pengalaman dan perubahan yang mereka alami pada setiap sesi. Ini di luar dugaan saya. Awal bertemu dengan pasangan ini saya mengira mereka akan sulit menerima materi-materi yang akan dibahas di kelas diskusi. Kenyataannya, mereka cukup aktif dan mau mencoba melakukan hal-hal yang ditawarkan.

           Diskusi dua jam di komunitas hanyalah salah satu cara untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa membangun keluarga tanpa kekerasan bisa diciptakan. Lewat tema-tema diskusi, masyarakat diajak untuk mengubah cara pandang dan menciptakan nilai baru. Pembagian kerja dan komunikasi yang baik dalam keluarga akan meminimalisasi terjadinya kekerasan. Setidaknya itu yang dirasakan oleh pak Abdi dan bu Wiwin. Kini mereka bisa membahas banyak hal terkait perasaan sampai perencanaan keluarga. Anak-anak juga memiliki kedekatan emosional, tidak hanya pada umi tetapi juga pada abi. Mungkin masih terlalu dini untuk mengatakan bahwa pasangan ini telah sukses membangun keluarga tanpa kekerasan, tapi setidaknya mereka mau mengupayakan agar situasi seperti ini bisa terus terjaga selamanya.


[1] longgar waktunya

[2]Besok jika kalian punya anak, saya mau lihat caranya mendidik.”

Read 3205 times Last modified on Rabu, 26 Juli 2017 11:40
43884141
Today
This Week
This Month
Last Month
All
3303
37161
224838
221312
43884141