Kartini Menangis (sumber: http://zidniklopedia.blogspot.com) Kartini Menangis (sumber: http://zidniklopedia.blogspot.com)

Cita Kartini: Perempuan Merdeka, Menjalin Relasi Setara Tanpa Paksaan Tanpa Ketakutan

Written by  Sartika Intaning Pradhani Kamis, 30 April 2015 14:50

Cita Kartini terhadap kaumnya adalah kemerdekaan. Kaum perempuan yang merdeka, kaum perempuan yang dapat menentukan sendiri pilihan-pilihan dalam hidupnya tanpa adanya paksaan atau ketakutan.

Kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia adalah ketika didengungkan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Namun, hingga 2015 ini ternyata belum sepenuhnya perempuan Indonesia merdeka. Sumber data Rifka Annisa WCC menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2014, ada 21 (dua puluh satu) perempuan yang mengalami kekerasan dalam pacaran, perempuan yang belum bebas dari kekerasan.

Kekerasan dalam pacaran adalah fenomena kekerasan terhadap perempuan yang sangat memprihatinkan. Fakta kekerasan dalam pacaran menunjukkan bahwa ternyata perempuan rentan terhadap kekerasan bukan hanya dalam lingkup keluarga, namun dalam hubungan pacaran. Hubungan pacaran yang seyogyanya bertujuan untuk mengenal secara lebih dekat antara laki-laki dan perempuan sebelum memasuki hubungan pernikahan, ternyata malah menjadi arena konflik yang berujung pada tindakan kekerasan.

Bercermin pada pendampingan klien Rifka Annisa yang mengalami kekerasan dalam pacaran, tidak jarang ditemui klien yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan akibat pemaksaan hubungan seksual oleh pacar. Bermula dari kekerasan seksual ini, klien kemudian dinikahkan dengan pacar. Klien berharap akan ada perubahan perilaku dari pacar setelah menikah, namun ternyata tidak. Setelah menikah bukan hanya kekerasan seksual, namun juga kekerasan fisik dan juga psikis. Itulah mengapa penting bagi perempuan untuk mengenali apa itu kekerasan dalam pacaran. Setelah mengenali apa itu kekerasan dalam pacaran, sebagai perempuan yang merdeka, tentunya kita dapat membebaskan diri dan sahabat-sahabat kita dari kekerasan tersebut.

Awal dari kekerasan dalam pacaran adalah perasaan tidak nyaman. Apabila perempuan sudah merasa tidak nyaman dalam suatu hubungan, maka sampaikanlah. Jangan pernah menduga atau merasa orang lain akan tahu apa yang membuat kita merasa tidak nyaman tanpa menyampaikan hal tersebut. Itulah mengapa komunikasi asertif sangat penting dalam suatu hubungan.

Dampak dari kekerasan dalam pacaran bagi perempuan sangat kompleks, terutama pada kasus kehamilan tidak diinginkan. Berbeda dengan laki-laki yang tidak mengalami kehamilan, perempuan yang mengalami kehamilan tidak diinginkan bukan hanya gelisah karena hamil, namun juga perasaan malu dan kekhawatiran menjadi orangtua tunggal pada saat ia tidak siap.

Belum lagi ditambah dengan fakta yang menunjukkan bahwa perempuan yang mengalami kehamilan tidak diinginkan sebagai akibat kekerasan dalam pacaran ketika dilakukan penyelidikan oleh kepolisian, ternyata tidak terbukti ada kekerasan. Temuan polisi karena hubungan tersebut didasari pada rasa suka sama suka. Padahal, tidak ada kesetaraan dalam hubungan. Apalagi jika disertai ingkar janji dari salah satu pihak yang kemudian merugikan pihak lain.

Belajar dari fakta tersebut, penting bagi perempuan untuk bersikap kritis. Penting juga bagi perempuan untuk mempunyai kemerdekaan pemikiran bahwa hubungan antara laki-laki dan perempuan adalah hubungan kesetaraan. Hubungan sebagai partner yang setara, bukan relasi subordinasi antara yang dominan dan yang patuh.

Ketika pacar berperilaku kekerasan dan tidak menunjukkan perubahan perilaku; suka mengancam untuk bunuh diri atau menyebarkan berita kita secara tidak baik, maka berpikirlah ulang tentang hubungan tersebut. Tentunya sebagai perempuan merdeka sebagaimana cita-cita Kartini, kekerasan apapun terhadap perempuan tidak dapat ditolerir. Perempuan yang merdeka harus dapat mengatakan stop terhadap segala macam bentuk kekerasan terhadap dirinya atau terhadap orang lain. Sudah saatnya perempuan bangkit dari relasi tidak setara atas nama cinta atau pun janji manis. Karena pada dasarnya, di balik perempuan yang kuat adalah dirinya sendiri. Diri yang merdeka, yang berani menentukan hidupnya sendiri tanpa rasa takut dan paksaan. (*)

*) Penulis adalah relawan di Divisi Pendampingan Rifka Annisa. Dapat dihubungi melalui email Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya..

 

Read 2835 times Last modified on Kamis, 31 Maret 2016 20:47
43817608
Today
This Week
This Month
Last Month
All
4263
22837
158305
221312
43817608