Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak: Keadilan Restoratif untuk Siapa?

Written by  Sartika Intaning Pradhani Rabu, 08 April 2015 09:33

Sepanjang tahun 2014, Rifka Annisa Women Crisis Center telah mendampingi lima anak yang mengalami kekerasan seksual dengan pelaku anak di Daerah Istimewa Yogyakarta. Semua kasus kekerasan seksual tersebut diselesaikan secara diversi.  Diversi merupakan pengalihan peyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.

Ketentuan diversi diatur dalam Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak Nomor 11 Tahun 2012. Undang-undang tersebut adalah upaya Indonesia sebagai negara pihak dalam Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) untuk mengatur prinsip perlindungan hukum terhadap anak. Konsekuensinya, Indonesia mempunyai kewajiban untuk memberikan perlindungan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.

Berdasarkan UU tersebut, diversi wajib diupayakan pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri.  Selain itu, diversi hanya dapat dilaksanakan ketika ancaman pidananya di bawah 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan perbuatan pengulangan.

Diversi dalam Realitas Sosial

Pada kelima kasus perbuatan cabul yang ditangani oleh Rifka Annisa sepanjang 2014, berdasarkan Pasal 82 UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, kasus tersebut diancam dengan hukuman pdana penjara minimal 3 (tiga) tahun dan maksimal 15 (lima belas). Meskipun ancaman pidananya lebih dari 7 (tujuh) tahun, penyidik tetap menyelesaikan kasus tersebut melalui diversi karena penyidik berpendapat bahwa pelakunya adalah seorang anak, sehingga kasus tersebut seyogyanya diselesaikan melalui jalan diversi.

Berdasarkan pengalaman pendampingan terhadap kelima korban tersebut, Rifka Annisa menemukan bahwa upaya diversi justru terkesan mengutamakan hak-hak pelaku. Pelaku mendapatkan rehabilitasi dari lembaga atau instansi pemerintah sebagai anak yang berhadapan dengan hukum, tetapi proses pemulihan bagi korban belum terpenuhi atau belum menjadi fokus utama. Sehingga, prinsip pemenuhan keadilan bagi korban justru tidak menonjol dalam proses diversi tersebut.

Sebagai contoh adalah kasus pencabulan terhadap seorang anak yang pelakunya anak. Korban dan pelaku adalah tetangga. Berdasarkan kesepakatan diversi, pelaku akan dibina di Panti Rehabilitasi selama enam bulan. Dalam waktu tersebut pelaku tetap bersekolah dan beberapa kali pulang ke rumah. Bagi korban, hal ini tentu amatlah berat. Belum lagi pulih dengan traumanya, korban terpaksa menghadapi kemungkinan untuk berjumpa lagi dengan pelaku. Di sisi lain, keluarga pelaku tidak menunjukkan perasaan bersalah. Terlebih apabila keluarga pelaku adalah orang yang mempunyai kuasa di kampung tersebut.

Dari cerita tersebut, pada prakteknya keadilan restoratif seakan-akan berat sebelah. Diversi dilaksanakan untuk mementingkan pemenuhan hak pelaku anak dibandingkan pemenuhan keadilan untuk korban anak. Seharusnya, keadilan restoratif dapat menjadi jembatan pemenuhan keadilan bagi korban, karena pihak korban dilibatkan dalam proses pencarian keadilan. Namun sayangnya, korban tidak selalu merasa keadilannya dipulihkan karena proses diversi melibatkan pihak-pihak yang  tidak selalu berperspektif korban.

Perspektif korban
Perspektif yang mengutamakan kepentingan korban dalam penyelesaian perkara melalui diversi sangatlah penting. Sebab, tanpa adanya perspektif yang berpihak pada kepentingan korban, keadilan restoratif yang didesain untuk memperhatikan hak anak, justru gagal untuk mengenali posisi dan kerugian yang diderita korban yang juga berusia anak.

Pada prakteknya, pendekatan keadilan restoratif melalui diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak perlu disikapi kritis. Memang, korban dan pelaku usia anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang dan juga perlu mendapatkan perlindungan dari keluarga, masyarakat, dan negara. Namun, perlu dilihat, apakah upaya tersebut justru membuat korban menjadi korban kembali dan pemenuhan keadilannya tidak tercapai.

Pada akhirnya, meskipun dalam praktiknya saat ini diversi belum sepenuhnya mengembalikan rasa keadilan bagi korban, ke depan diharapkan proses diversi dapat dilakukan dengan lebih memiliki keberpihakan pada korban. Selain itu, proses ini juga diharapkan dapat benar-benar menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak pelaku atas tindakan yang telah dilakukannya. []

 

*) Penulis adalah relawan Divisi Pendampingan Rifka Annisa. Dapat dihubungi melalui email Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Read 3945 times Last modified on Kamis, 31 Maret 2016 20:46
43887920
Today
This Week
This Month
Last Month
All
7082
40940
228617
221312
43887920