Citra Kekerasan pada Perempuan di Media

Written by  Minggu, 02 Maret 2014 07:54

Oleh:Megafirmawanti

Perempuan dan laki-laki adalah entitas yang seharusnya saling mengisi. Keduanya dihadirkan untuk saling melengkapi kekurangan satu dengan yang lain. Namun sangat disayangkan, hari ini telah terjadi diskriminasi dimana satu pihak merasa lebih superior dibanding pihak lainnya. Dalam hal ini, laki-laki yang merasa sebagai seorang superior, meyakini stigma yang telah lama berlaku pada masyarakat Indonesia bahkan secara universal di dunia, bahwa perempuan itu adalah kaum terbelakang yang tempatnya hanyalah diseputar dapur, sumur, dan kasur.

Konstruksi sosial atas perempuan seperti diatas pada akhirnya melahirkan tindakan-tindakan kekerasan. Kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan tidak lagi sebatas kekerasan fisik, melainkan kekerasan yang merusak mental perempuan itu sendiri.

Fakta membuktikan, berdasarkan catatan dari Komnas Perempuan bahwa pada tahun 2012, telah ditemukan 216.156 kasus kekerasan terhadap perempuan. Kasus-kasus tersebut terjadi pada berbagai ranah. Yaitu, ranah personal dimana kekerasan terjadi pada mereka yang mempunyai hubungan darah, ranah komunitas yaitu kekerasan yang terjadi pada mereka yang tidak punya hubungan darah tetapi mempunyai intensitas komunikasi yang tinggi seperti pembantu dengan majikan, ataupun pada ranah negara dalam artian pelaku kekerasan adalah aparatur negara dalam kapasitas sedang menjalankan tugas. Data tersebut cukup memberikan pengetahuan dan perlu menjadi perhatian, bahwa perempuan sampai hari ini masih menjadi objek kekerasan dengan berbagai bentuknya.

Waktu terus berputar dan teknologi semakin menunjukan taringnya. Kekerasan pada perempuan pada akhirnya tidak hanya dilakukan oleh seorang maskulin, tetapi terjadi pada institusi media yang seharusnya tidak berpihak pada siapapun. Netralitas yang tadinya menjadi salah satu prinsip jurnalistik saat ini diabaikan dan bahkan menuju pada hal yang berlawanan. Media, pada beberapa sisi justru menjadi pelaku kekerasan terhadap perempuan. Hal ini terjadi tanpa disadari dan menggerogoti sisi psikologis perempuan itu secara perlahan. Salah satu sisi media yang berperan pada kekerasan adalah melalui iklan.

Perempuan merasa frustasi dengan kulitnya yang hitam serta badannya yang gemuk. Berbagai cara dilakukan untuk mendapatkan kulit putih dan tubuh yang langsing. Ketika suatu saat kami berbincang, diketahuilah bahwa sumber kegelisahannya adalah dari iklan-iklan di TV yang menampilkan sosok perempuan yang langsing dan putih.

Berbagai kosmetik dicoba untuk mendapatkan kulit yang putih. Berbagai cara diet dilakukan untuk mendapatkan tubuh yang langsing. Namun yang ada hanyalah frustasi yang semakin menjadi dikarenakan ketidakberhasilan kosmetik dan diet yang dilakukan.

Fenomena kegelisahan tersebut hanyalah secuil gambaran bahwa iklan dengan kekuatan mengkonstruksinya dapat menimbulkan kegelisahan pada seseorang. Dalam hal ini, perempuan adalah komoditas yang sangat mudah untuk dijadikan lahan bisnis. Keindahan fisik seorang perempuan menjadi aset yang berharga untuk dipertontonkan, dengan tidak memperhitungkan efek psikologis yang akan dirasakan oleh target audiens iklan itu sendiri yang notebenenya adalah juga seorang perempuan.

Satu hal yang tidak kalah menyedihkan bahwa efek psikologis yang dimaksudkan adalah, kegelisahan berkepanjangan yang berdampak pada interaksi sosial. Frustasi yang dialami dan kegelisahan yang dirasakan karena tayangan-tayangan iklan tersebut menghadirkan pemikiran bahwa tidak adanya penerimaan masyarakat terhadap sosok perempuan yang hitam dan gendut. Hal ini mengakibatkan seseorang menarik diri dari lingkungan sosialnya dan memilih untuk sibuk dengan dunianya sendiri.  

Iklan disebut-sebut sebagai agen kekerasan karena efek psikologis yang tidak disadari memunculkan kegelisahan pada kalangan tertentu. Disitulah letak kekerasan yang tidak disadari. Kekerasan psikis. Kekerasan jenis ini menyebabkan menurunnya kepercayaan diri, memunculkan rasa takut, serta hilangnya kemampuan untuk bertindak.

Melihat fenomena kegelisahan seperti diatas serta dampak yang terjadi, maka tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa media –dalam hal ini adalah iklan– merupakan agen kekerasan terhadap perempuan. “The agent of woman violence”.  

Melihat fakta-fakta yang telah dijelaskan sebelumnya, kekerasan terhadap perempuan membutuhkan usaha keras dalam penyelesaian kasus-kasusnya. Karena, seperti telah dijelaskan bahwa kekerasan yang terjadi dewasa ini tidak hanya sekedar, fisik, melainkan telah merambah pada ranah psikis yang pada dasarnya lebih berbahaya daripada sekedar kekerasan dalam bentuk fisik. Jika media yang kita sebut sebagai agen kekerasan terhadap perempuan tidak mengindahkan tayangannya dengan menghilangkan simbol kekerasan didalamnya, maka yang sangat perlu dilakukan adalah menumbukan kesadaran bermedia agar perempuan-perempuan Indonesia cerdas dan cermat dalam menikmati sajian media. []

Read 2228 times Last modified on Rabu, 12 Maret 2014 14:02
44082774
Today
This Week
This Month
Last Month
All
6729
44055
146895
276576
44082774