Kamis, 05 Oktober 2017 15:51

Yogyakarta - Berbicara mengenai perdamaian, sebagian orang biasanya mengaitkan dengan sebuah situasi dimana tidak ada perang atau tidak ada konflik. Namun, perdamaian ternyata bisa dimaknai secara berbeda sesuai dengan pengalaman masing-masing. Pemaknaan ulang akan perdamaian ini salah satunya disampaikan oleh Rannisakustik dalam Dialog Khusus program kerjasama Rifka Annisa dan ADI TV yang bertema “Musik untuk Promosi Perdamaian dan Anti Kekerasan”, Selasa (19/9).

Dialog ini menghadirkan dua narasumber dari Rannisakustik, sebuah komunitas seni yang aktif menyerukan kampanye anti kekerasan, yaitu Ramses dan Ahmad Jalidu. Menurut Ramses, perdamaian adalah menahan diri. “Perdamaian tidak mungkin ada kalau tidak ada keadilan. Keadilan bisa dirusak dengan berbagai alasan yang dibenarkan dengan berbagai macam cara,” imbuhnya.

Menurut laki-laki yang juga berprofesi sebagai seniman tersebut, keadilan sendiri bukan sesuatu yang jadi tapi proses yang harus dipelajari. Ia mencoba melihat perdamaian dari hal yang kecil, dari konteks manusiawi misalnya ketika kita belajar dari keakraban hubungan bermasyarakat, dengan keluarga atau tetangga. Untuk melihat perdamaian tidak harus dari sesuatu yang besar tapi dari komunitas kecil. Sebab, menurut ia, perdamaian yang besar akan tercipta dari hal-hal yang kecil.

Menyinggung tentang keterlibatannya dalam promosi perdamaian ini, Ramses mengatakan bahwa Rannisakutik mengajak para musisi dan seniman untuk berkolaborasi dengan aktivis anti kekerasan terhadap perempuan dan anak. “Selama ini kan persoalan perempuan dan anak selalu dikumandangkan dengan cara yang formal, dengan jargon yang terkadang malah diplesetkan dan ditertawakan. Kita tidak menggurui tapi mengajak orang untuk melihat persoalan keseharian,” kata Ramses.

Setiap orang pernah terlibat kekerasan sebagai korban, pelaku atau saksi. Artinya di sekitar kita banyak sekali masalah. Rannisakustik mencoba memperluas jaringan dengan menggandeng seniman-seniman kampung. Pendekatan tersebut berbeda dengan grup musik kebanyakan. Mereka tidak masuk ke media-media besar, tapi justru membuat workshop di kampung-kampung bersama remaja untuk bercerita tentang kekerasan.

Ketika ditanya alasan kenapa memilih strategi seperti itu, Ramses menjelaskan bahwa yang mereka sentuh adalah persoalan yang menyangkut individu, tentang hal pribadinya bukan gagasan yang begitu besar. “Kalau kampanye pelestarian orang hutan, kita menunjuk jauh seolah-olah kita tidak punya persoalan tentang itu. Kalau soal kekerasan siapa sih yang tidak pernah menyakiti orang lain,” jelasnya.

Bekerja Lewat Seni

Rannisakustik sangat jeli melihat peluang seni untuk media promosi. Bagi mereka, seni bekerja secara santun dan menyenangkan. Sebagian besar masyarakat menyukai seni dan mendekati seni dengan perasaan senang dan terhibur. Seni menjadi semacam tirai untuk mempengaruhi dan meningkatkan kesadaran tidak hanya orang lain tapi juga kesadaran diri sendiri.

Meski demikian, ada tantangan tersendiri bagi pemusik untuk teribat dalam kampanye ini. Ada orang yang terkadang menyalahgunakan seni untuk hal-hal yang justru mengarah pada kekerasan, penahlukan, dominasi, dan sebagainya. “Mungkin motif dia belajar seni untuk menahlukan perempuan, itu jadi modus. Ini tantangan besar, menjadi seniman sendiri bukan persoalan mudah. Dalam seni bisa jadi kita juga mengalami persoalan kekerasan,” jelas Ramses.

Ahmad Jalidu yang juga aktif di seni teater, menyoroti persoalan perdamaian berdasarakan pengalamannya. Menurut dia, perdamaian adalah ada perbedaan tetapi tidak ada konflik. Selama ini dia mengamati sangat sulit untuk memastikan bahwa ada perbedaan tapi tidak ada konflik. Terlebih tentang bagaimana mengelola konflik dan mencegah peristiwa kekerasan dalam bentuk fisik.

“Meskipun tidak secara lugas mengatakan jangan ini jangan itu, tapi kita menggambarkan bahwa ini peristiwa yang seharusnya tidak terjadi sehingga kita bisa mencegah dengan cara masing-masing,” ungkap Jali, sapaan akrab Ahmad Jalidu.

Jali mengatakan bahwa refleksi atas pengalaman pribadi menjadi penting. Komunitas mereka mengutamakan membuat lagu dari pengalaman pribadi. Meskipun ada peserta yang mengatakan bahwa ia beruntung karena hidupnya tidak pernah mengalami konflik atau kekerasan, namun ia juga harus menengok kanan kiri. Semua lagu yang dihasilkan Rannisakustik adalah berasal dari peristiwa nyata.

Jali memberikan contoh salah satu lagu yang inspirasinya dari perempuan yang mengalami Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD), kemudian memutuskan untuk membesarkan anaknya sendiri dan tidak menikah dengan pelaku. Mungkin di masyarakat hal seperti itu dianggap kasihan. Padahal kalau menikah, si perempuan belum tentu bahagia karena dia menikah dengan pelaku kekerasan.

Menurut Ramses, mereka banyak dibantu teman-teman aktivis untuk masuk ke masyarakat. Dengan membawakan tema-tema yang akrab dengan keseharian, mereka mengajak masyarakat untuk bicara tentang diri sendiri. Selain itu, mereka juga mengadakan tour ke sekolah-sekolah mulai dari tingkat Sekolah Dasar (SD) dan sekolah menengah (SMP dan SMA). Mereka juga menghelat kampanye di kampus-kampus misalnya dalam bentuk diskusi musikal.

“Kita pilih tema yang cocok dengan mereka misal kekerasan dalam pacaran, relasi sehat, dan lain-lain. Yang dikampanyekan adalah nilai-nilai universal tentang perdamaian dan berbagi. Selain itu bergaul sehat, dan mencegah kekerasan seksual. Dan bagaimana menanggulangi ancaman kekerasan seksual,” imbuh Ramses.

Setiap anggota Rannisakustik menulis lirik lagu. Ini adalah sebuah statement atau pernyataan sikap atas isu tertentu. Lalu mereka berbagi pengalaman masing-masing. Seperti satu hal yang diceritakan oleh Jali tentang mengapa kekerasan itu sering dilakukan oleh laki-laki?

Menurut dia, laki-laki itu banyak tekanan, baik dari budaya maupun dari pemahaman agama. Laki-laki itu kepala rumah tangga, harus mencari nafkah, dan harus kuat. Kalau ada genteng bocor ya laki-laki harus bisa memperbaiki. Motor rusak juga. Setiap laki-laki dituntut jadi Superman. Laki-laki dituntut harus menjadi kuat, sehingga ia berusaha menunjukkan itu.

Menanggapi tentang perempuan yang sering dikambinghitamkan dalam kasus perkosaan lantaran dianggap memakai pakaian seksi, Ramses menanggapi bahwa masyarakat kita masih sering melemparkan kesalahan pada pihak korban. Menyalahkan korban (victim blaming) masih kerap dilakukan sebagai pembenaran atas pelaku kekerasan.

“Bahkan kambing pun bisa jadi korban kekerasan seksual. Jadi ini bukan soal pakaian. Sehingga persepsi semacam itu dibentuk,” jelas Ramses.

Membangun Budaya Anti Kekerasan

Kekerasan terjadi di segala tingkat masyarakat, bisa terjadi pada siapapun dan kapan pun. Rannisakustik belajar dari Rifka Annisa bahwa kasus kekerasan dari dulu sampai sekarang sama banyaknya. Bedanya, sekarang lebih banyak yang berani melawan dan melaporkan. Bukan hanya di kota besar, tapi juga di pelosok.

Berbicara lebih luas tentang tantangan perdamaian di negeri ini, Ramses melihat euforia demokrasi di sisi lain dikutuk, tapi di sisi lain juga dirayakan. Sebagai contoh tentang kebebasan di media sosial. Banyak praktik yang justru memperkeruh perdamaian. Provokasi kekerasan, ancaman dan tindakan perundungan sarat dilakukan melalui media ini.

Selain itu, yang  tidak boleh dilupakan juga dalam bencana alam dan konflik sosial misalnya, pihak yang paling banyak dirugikan adalah perempuan dan anak. Ketika perempuan dan anak mendapat ancaman sosial, seringkali kita sebagai individu abai apalagi negara.

Jali menambahkan bahwa seringkali ketika yang dikampanyekan perdamaian, tidak ada yang menolak. Tapi kalau tentang kekerasan terhadap perempuan, itu menjadi sangat sulit. Banyak sekali orang yang tidak setuju. “Kami mengajak masyarakat memahami bahwa kekerasan tidak kita inginkan terjadi pada diri kita dan orang terdekat kita. Kita bisa cegah dengan cara masing-masing,” kata Jali.

Dalam membuat lagu bertemakan anti kekerasan terhadap perempuan dan anak, Rannisakustik tidak menentukan target tertentu seperti penjualan dan sebagainya. Bagi Ramses yang penting lagu-lagu tersebut bisa tersebar dan dinyanyikan oleh banyak orang. Mereka membuat lagu, mengunggah di blog, You Tube, dan media sosial lain. Lagu-lagu Rannisakustik bebas diunduh, diganti atau disesuaikan liriknya dengan pengalaman masing-masing, diubah bahkan dibajak. Mereka ingin lagu tersebut dimainkan dimanapun, oleh siapapun dan bisa disebarluaskan.

“Saya sih pengennya lagu-lagu Rannisakustik bisa dinyanyikan di bus-bus kota oleh pengamen,” pungkasnya.

44056373
Today
This Week
This Month
Last Month
All
4043
17654
120494
276576
44056373