Print this page

Body Shaming Dimana-mana

Written by  Aziza Mahanani Senin, 30 Juli 2018 12:37
Rate this item
(3 votes)

Kurang dari sebulan sebelum penayangannya, serial terbaru Netflix, berjudul “Insatiable” mengundang kontroversi. Muncul sebuah petisi penolakan penayangannya yang telah ditandatangani oleh lebih dari 120.000 orang, dalam kurun waktu 5 hari setelah trailernya dirilis di akun YouTube Netflix pada 20 Juli 2018 lalu. Petisi ini diinisiasi oleh Florence Given, seorang seniman feminist asal Inggris. Lalu mengapa banyak sekali orang yang menolak penayangan serial ini?

Trailer “Insatiable” menceritakan kisah remaja perempuan bernama Patty yang menjadi korban bullying karena dianggap gemuk. Namun Patty menjadi dipuja dan berencana untuk balas dendam setelah tubuhnya menjadi lebih kurus. Florence dan orang-orang yang mendukung petisi tersebut mengkritik trailer yang seolah mendukung body-shaming atau dalam kasus ini lebih tepat dikatakan sebagai fat-shaming. Trailer menunjukkan stereotipe perempuan berbadan gemuk hanya akan dihargai setelah tubuhnya menjadi lebih kurus.

Dari dalam negeri, masyarakat kembali dihebohkan dengan sebuah video kontroversial. Video tersebut tidak lain berisi tentang ceramah Ustadz Hanan Attaki yang menyebutkan bahwa berat perempuan shalihah tidak lebih dari 55 kg. Pernyataan tersebut disampaikan dengan menjadikan Aisyah sebagai contoh. Pernyataan tersebut sudah termasuk ke dalam body shaming. Bukan hanya mengomentari berat badan, pernyataan Sang Ustadz juga seolah menjadikan berat badan sebagai tolak ukur ketaatan seseorang dalam beragama.

Jadi, apa yang sebenarnya dimaksud dengan Body shaming?

Body-shame didefiniskan oleh Kamus Cambridge sebagai “untuk mengkritik seseorang berdasarkan bentuk, ukuran, maupun penampilan tubuhnya”. Body-shaming merupakan sebuah kultur yang telah lama dipraktekkan dalam masyarakat. Meskipun perlakuan tersebut dapat terjadi pada laki-laki maupun perempuan, namun dalam praktiknya perempuan lebih sering menjadi sasaran bagi body shaming. Hal tersebut didukung oleh adanya “standar kecantikan” bagi perempuan yang berkembang di masyarakat.

Bukan hanya mengolok teman yang berbadan gemuk, dengan mengolok teman yang berbadan kurus, kulit yang lebih gelap, kulit yang lebih terang, terlalu tinggi, terlalu pendek, bahkan sampai mengolok bekas jerawat, bekas luka, tanda lahir, dan sebagainya berarti kita telah terlibat menjadi pelaku body shaming. Segala bentuk kritik karena seseorang tidak memenuhi standar fisik tertentu termasuk dalam kategori body shaming. 

Kalimat-kalimat seperti “Diet dong biar gak jomblo terus”, “Udah dekil, item, idup lagi”, “Lengan kamu kecil banget kayak kurang makan” atau “Paha kamu gede banget kayak buldozer” sering diucapkan orang-orang di sekitar yang membuat perempuan kehilangan kepercayaan dirinya. Berbagai usaha seperti mengonsumsi obat-obatan, suntik kecantikan, sampai diet ketat yang bahkan menimbulkan eating disorder seperti anoreksia dan bulimia dijalani perempuan untuk masuk dalam standar kecantikan yang diciptakan masyarakat.

Iklan-iklan produk kecantikan yang menjadikan model-model papan atas sebagai bintangnya memberikan gambaran tidak masuk akal bagi para perempuan untuk mencapai standar kecantikan tertentu. Bahkan terkadang apa yang ditampilkan ke publik sudah masuk proses editing. Tanpa disadari, usaha pemilik produk untuk menarik konsumen justru menciptakan krisis kepercayaan diri bagi perempuan. 

Bukan hanya berdampak bagi kepercayaan diri, body shaming juga berdampak pada masalah kejiwaan, deskriminasi upah, deskiriminasi penerimaan pekerjaan dan promosi, serta deskriminasi dalam kesempatan pendidikan.[i] Seringkali kita melihat lowongan pekerjaan dengan salah satu syarat “berpenampilan menarik”. Meski berpenampilan menarik dapat memiliki banyak arti, umumnya mengandung standar yang tidak dapat dipenuhi orang-orang dengan bentuk dan penampilan tubuh tertentu.

Dengan melakukan Body shaming,  berarti kita merasa memiliki hak untuk melihat orang lain sebagai obyek. Body shamers umumnya merasa memiliki hak untuk menilai dan mendorong perubahan penampilan bagi orang lain. Geram akan hal tersebut, banyak golongan menggalakkan gerakan atau kampanye melawan body shaming, di antaranya:

Choose Beautiful adalah sebuah kampanye media sosial yang digalakkan oleh Dove, sebuah perusahaan produsen produk-produk kecantikan. Kampanye dimulai dengan percobaan di mana Dove menyediakan 2 pintu di 5 kota, yaitu Shanghai, San Fransisco, London, Sao Paulo, dan Delhi. 2 pintu tersebut bertuliskan “beautiful” dan “average” dan perempuan-perempuan yang ingin melewati pintu harus memilih dengan menilai dirinya. Dove mendorong perempuan-perempuan di dunia untuk “memilih” menjadi cantik, bagaimanapun penampilannya karena perempuan tidak memerlukan persetujuan orang lain untuk merasa cantik.[ii]

 #TheySaid adalah sebuah hashtag yang dipakai banyak perempuan di sosial media untuk membagikan kisah mereka tentang pengalaman menerima komentar-komentar pedas dari body shamers. Berawal dari tweet Oiselle Sally Bergesen, founder dari Athletic Wear Company, yang berbagi kisah mengenai komentar pedas yang dilontarkan Ayahnya saat ia masih berusia 12 tahun. Hashtag tersebut kemudian berkembang dengan munculnya hashtag #SheReplied yang mendorong perempuan-perempuan yang menjadi korban body shaming  untuk bersuara dan membalas komentar pedas body shamers.[iii]

What’s Underneath Project adalah sebuah gerakan yang dimulai oleh StyleLikeU, sebuah blog yang aktif mengkampanyekan body positivity. What’s Underneath adalah project yang berisi tentang interview-interview yang dilakukan oleh orang-orang yang telah dipilih. Interview dilakukan dengan narasumber yang hanya memakai pakaian dalam diminta untuk bererita tentang kisah-kisah paling pedih dalam hidupnya. Idenya adalah untuk membuat mereka menerima dirinya masing-masing, karena style bukan apa yang dipakai, namun apa yang dilakukan dan siapa dirinya sebenarnya, yaitu dalam penerimaan diri sendiri.[iv] 

Perlu diingat bahwa standar kecantikan merupakan hasil konstruksi dari masyarakat itu sendiri. Itulah mengapa standar kecantikan selalu berubah dari masa ke masa. Yang disebut perempuan cantik di tahun 1920-an dengan apa yang dianggap cantik di abad ini sudah sangat jauh berbeda. Semakin perempuan menuruti standar tersebut, semakin perempuan akan cenderung kehilangan identitasnya guna memuaskan masyarakat. Diperlukan kesadaran dari pelaku maupun korban body shaming agar praktik body shaming dapat dihentikan.

Menjadi gemuk bukan berarti sakit. Menjadi kurus bukan berarti kurang makan. Kesehatan seringkali tidak tergambar dalam penampilan fisik. Ciri fisik tiap perempuan memang berbeda satu sama lainnya. Sudah saatnya kita mendukung satu sama lain untuk sehat dan menjaga diri, bukan dalam kungkungan standar kecantikan masyarakat, namun untuk menjadi versi terbaik dari diri kita. Semua itu dapat terjadi dengan memulai untuk menerima orang lain dan mencintai diri kita sendiri apa adanya.

 

Aziza Mahanani

Mahasiswa Prodi Hubungan Internasional Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta

-------------------------------

[i] NAAFA, Size Descrimination Consequenses are Real, https://www.naafaonline.com/dev2/the_issues/index.html

[ii] Dove Choose Beautiful, https://www.dove.com/uk/stories/campaigns/choose-beautiful.html

[iii] Alanna Vagianos, Powerful Hashtag Highlights the Body Shaming Comments Women Hear in a Lifetime, https://www.huffingtonpost.com/entry/powerful-hashtag-highlights-the-body-shaming-comments-women-hear-in-a-lifetime_us_592ed613e4b0540ffc836bf8

[iv] Fiona Luddy, The What’s Underneath Project, https://www.theodysseyonline.com/whats-underneath-project

 

Disclaimer: Opini dalam tulisan ini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak merepresentasikan sudut pandang Rifka Annisa secara keseluruhan.

Read 3226 times