Print this page

Budaya Catcalling (Pelecehan Seksual)

Written by  Selasa, 30 Januari 2018 10:52
Rate this item
(1 Vote)

Mendengarkan siulan saat berjalan ke atas tangga di samping area konstruksi tidak pernah menjadi hal yang diinginkan oleh perempuan dimanapun. Dipanggil dengan kata “sayang” atau “neng” juga tidak akan membuat seorang perempuan merasa nyaman. Diamatinya tubuh seorang perempuan oleh segerombolan laki-laki saat sedang menunggu datanya bis kota, tidak akan membuat perempuan itu ingin menikahi salah satu dari lelaki hidung belang tersebut.

Catcalling atau pelecehan seksual terjadi di seluruh penjuru dunia, dan mendapatkan definisi dari Kamus Oxforda sebagai “siulan keras atau komentar bersifat seksual yang dilontarkan oleh seorang pria kepada perempuan yang melewati nya”. Laki-laki yang melakukan catcalling bersikeras untuk mendapatkan perhatian dari seorang perempuan dengan harapan mereka dapat melakukan hubungan seksual dengan perempuan tersebut. Percobaan ini telah terbukti 99,9% tidak pernah berhasil; tetap saja, hal ini tidak mencegah seorang pria untuk melakukan hal tersebut.

Malah sebaliknya, sebagian besar laki-laki tidak pernah mendapatkan catcalling oleh perempuan. Seorang laki-laki yang berjalan di stasiun kereta dengan muka cemberut tidak akan pernah diminta untuk senyum oleh wanita yang dilewatinya. Dan laki-laki tidak akan pernah mendapatkan perkataan mengenai tubuhnya atau mendengar apa yang dilakukan seorang perempuan tersebut kepadanya tanpa persetujuan lelaki tersebut. Seaneh-anehnya situasi ini terlihat, tapi situasi ini telah mencerminkan bagaimana bentuk pelecehan ini adalah berdasarkan gender.

Meningkatkan Kesadaran

Perempuan yang menjadi korban catcalling, maupun itu di suatu jalanan yang ramai di pagi hari sekalipun ataupun pada lorong yang gelap di malam hari, tidak pernah membuat perempuan tersebut nyaman atau baik. Hal seperti itu menyeramkan dan memalukan. Berbagai macam bentuk usaha untuk meningkatkan kesadaran terhadap hal ini telah  bermunculan dari tahun-tahun sebelumnya:

Stop Telling Women to Smile adalah sebuah pergerakan yang dicanangkan oleh seniman asal New York bernama Tatyana Fazlalizadeh. Untuk melawan pelecehan seksual berbasis gender, Ia memutuskan untuk meningkatkan kesadaran dengan seri seni di ruang publik. Tatyana bertemu dengan perempuan-perempuan yang telah menjadi korban komentar-komentar seksual yang tidak dinginkan dari laki-laki, dan Ia menawarkan mereka apakah ada yang ingin mereka sampaikan ke laki-laki semacam itu. Kata-kata dicetak dengan huruf kapital di bawah gambar-gambar wanita yang menjadi korban dan dipampangkan di jalana

This is What it Feels Like adalah proyek yang diciptakan seniman asal California bernama Terra Lopez. Pengunjung-pengunjung di pameran akan berjalan melewati lorong yang redup dan akan mendengarkan rekaman dari 100 wanita yang menjadi korban. Tingkatan pelecehan dan obyektivitas perempuan berbeda-beda dari “Apakah kamu mempunyai pacar?” dan “Boleh aku ikut denganmu?” sampai yang lebih menyeramkan dan berbentuk ancaman eksplisit, seperti “Aku akan menidurimu” dan “Aku ingin memperkosa mu.” Semua pernyataan telah disampaikan sebagaimana adanya oleh perempuan-perempuan yang berpartisipasi pada proyek ini.[2]

 

DearCatCallers adalah sebuah akun instagram dengan 400 ribu pengikut yang dimiliki oleh Noa Jansma yang berumur 20 tahun, seorang mahasiswa dari Amsterdam. Ia memutuskan untuk mengambil foto dengan laki-laki yang telah melakukan catcalling terhadapnya selama satu bulan. Ide ini dipantik oleh sebuah diskusi yang Ia ikuti di tempat perkuliahannya, dimana semua lelaki dalam kelas Filsafatnya mengatakan bahwa mereka tidak mengetahui isu ini.[3] Semua gambar diambil dengan persetujuan dari laki-laki yang ada di dalam foto tersebut. Sejak 1 Januari 2018, pelecehan seksual di jalanan dapat dipidana sampai dengan 190 Euro di Negara Belanda.[4]

 

 Memidanakan Pelaku Catcalling

Argentina: Di Argentina, pelaku catcalling yang telah terbukti membuat komentar-komentar seksual terhadap tubuh orang lain, dapat diproses secara hukum. [5] Hukum yang juga memidanakan orang-orang yang melakukan pelecehan seksual dalam bentuk: pengiriman gambar kemaluan mereka tanpa adanya persetujuan, kontak fisik yang tidak dinginkan, mengikuti seseorang di jalanan dan pemaparan yang tidak senonoh juga dapat dipidana.[6] Denda 60$ atau pelayanan masyarakat dapat diberi kepada pelaku-pelaku kejahatan ini. [7]

Perancis: Menteri Kesetaran Gender Perancis, Marlene Schiappa, sedang mengusahakan terbitnya undang-undang yang dapat memidanakan pelaku pelecehan seksual jalanan. Undang-undang ini dapat memungkinkan polisi di Perancis untuk menahan orang yang melakukan hal-hal seperti catcalling.[8] Saat ini Marlene Schiappa masih dalam proses menggodok undang-undang ini. [9]

Belgium: Pada tahun 2014, Belgium mengundangkan peraturan yang dapat memberi pidana denda hingga 1,000 Euro untuk orang yang melakukan “(...) Sebuah sikap atau pernyataan yang telah jelas berniat untuk mengekspresikan penghinaan untuk satu atau lebih orang yang berbeda gender dengan dasar gender mereka atau untuk membuat mereka tampak lebih inferior atau merendahkan dimensi seksual mereka dengan cara yang merupakan penyerangan terhadap harga diri mereka”.

Contoh-contoh diatas ditujukan untuk mengakhiri budaya catcalling. Baik usaha kreatif dalam bentuk proyek ataupun langkah-langkah hukum yang tersedia untuk memperbaiki situasi di seluruh dunia. Ini menunjukkan bahwa catcalling sudah ewajarnya dianggap sebagai tindak pidana, dan semua pelakunya juga seharusnya diproses secara hukum sesuai dengan peraturan peradilan pidana yang berlaku pada tiap negara.

Memutarkan Meja

Kenapa itu sangat mengakar dalam struktur masyarakat kita bahwa perempuan seperti tidak bisa melakukan apa pun terhadap catcalling dan laki-laki berfikir biasa saja untuk memperlakukan perempuan seperti itu atau bahkan mewajarkan hal tersebut. Tampaknya salah satu solusi yang mudah akan hal itu adalah pelarangan perempuan untuk pergi sendiri. Tetapi itu sama saja menyalahkan korban dan menyangkal akan hak asasi manusia. Argumen itu sama juga seperti menyalahkan korban perkosaan. Kata-kata seperti “kenapa kamu pakai baju seperti ini”, “kan kamu baik-baik saja”, “kenapa kamu keluar malam-malam adalah cara berpikir yang salah dan menyangkal hak asasi manusia. Semestinya laki-laki yang melakukan kejahatan itulah yang harus diubah, bukan korban. Seorang pencuri akan diminta oleh polisi untuk mengembalikan uang curian, berhenti mencuri di masa depan dan menghadapi konsekuensi perbuatannya. Tak seorangpun akan berfikir orang yang di rumah “mempertanyakan uang yang dicuri” karena uang disimpan di dalam rumah atau perlindungan keamanan tidak bagus.

Akhiri Ketika Itu Bermula

Budaya Catcalling harus diubah dan laki-laki harus menggerti dan mengakui hal yang mereka lakukan salah dan mereka harus menyampaikan itu ke teman-teman, tetangga, keluarga dan rekan. Pendidikan harus mulai sejak dini di di sekolah dan pemerintah harus menyediakan pelatihan. Meskipun hukum yang mengatur tentang catcalling akan sulit ditegakkan, upaya untuk menangani kasus tersebut  bisa menjadi salah satu tanda untuk perubahan. Pelecehan seksual di jalan mungkin masih jauh dibandingkan dengan kejahatan dari perkosaan, tetapi itu akan memulai objektifikasi, lelucon seksis, menekankan pelabelan berbasis gender yang akan mengarah pada pelecehan, ancaman, dan pelecehan verbal.[10] Hal tersebut adalah bentuk kekerasan psikologis dan itu menghalangi perempuan untuk merasakan kehidupan nyaman setiap hari dan memperkuat struktur kekuasaan yang timpang. Berbicara tentang “Budaya Catcalling” sedini mungkin dapat mencegah kejehatan yang lebih berbahasa di masa yang akan datang.

Pesan Penulis : Hai Catcaller, ketika kamu melecehkan perempuan di jalan, dia juga seorang anak, ibu, sepupu, saudara, isteri atau sahabat orang lain. Kalau orang yang kamu cinta mengalami hal seperti ini, bagaimana perasaanmu? Berhentilah melakukan pelecehan.

 

Ditulis oleh oleh Julian Martin, mahasiswa di Fakultas Hukum UGM dan Malin Klinski, mahasiswa di Fakultas Fisipol, UGM.

Ilustrasi gambar oleh Malin Klinski

 

[1]  http://stoptellingwomentosmile.com/About

[2] Hatch, Jenavieve. Moving art project puts men at the receiving end of catcalling. 02.09.2017. Huffington Post.

[3] Thiele, Sarah. Wir müssen das nicht hinnehmen. Süddeutsche Zeitung Magazin. 06.10.2017

[4] Hosie, Rachel. Meet the woman who takes selfies with street harassers. The Independent. 05.10.2017

[5]Brigida, Anna-Cat. “You Can Now Get Fined for Street Harassment in Argentina.” Broadly, 7 Dec. 2016, broadly.vice.com/en_us/article/7xz94z/you-can-now-get-fined-for-street-harassment-in-argentina.

[6] “Sexual Harassment: Cat-Callers Face Fines in Buenos Aires.” BBC News, BBC, 8 Dec. 2016, www.bbc.com/news/world-latin-america-38252462.

[7] Ibid.

[8] Bell, Melissa, and Bryony Jones. “Minister on Catcalling Law: Some Men Still Say 'It's French Culture'.” CNN, Cable News Network, 19 Oct. 2017, edition.cnn.com/2017/10/19/europe/harassment-law-france/index.html.

[9] Lowe, Josh. “France Could Ban Catcalling as It Sets out to Define and Criminalize Street Harassment.” Newsweek, 20 Sept. 2017, www.newsweek.com/street-harassment-catcalling-ban-france-668069.

[10] 11th principle consent, the rape culture pyramid, Versions 3 & 4 created by Ranger Cervix & Jaime Chandra, Based on Version 2 created by Kate Seewald of ActionAid / Safe Cities for Women

Original Concept by Ranger Cervix

Read 2628 times