Menilik Machiavelli untuk Menuju Demokrasi yang Bermutu

Written by  Rabu, 09 Oktober 2013 08:18

Nama Niccolo Machiavelli, lekat dengan stigma buruk menghalalkan segala cara untuk mempertahankan kekuasaan. Namun, menurut R William Liddle, justru Machiavelli menyumbangkan sebuah kerangka berharga, yang bisa menjadi pemandu persoalan-persoalan demokrasi abad ini.
Hal itu disampaikan pada diskusi yang diselenggarakan Institute of International Studies (ISS) Jurusan Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada, bekerja sama dengan Yayasan Wakaf Paramadina dan the Asia Foundation pada 28 Januari 2013 lalu.

Menurut Dekan Fakultas Ilmu Sosial Politik, Universitas Gadjah Mada Dr Erwan Agus Purwanto MSi, diskusi salah satunya dilatarbelakangi kurang bermutunya demokrasi yang sudah berjalan. Demokrasi yang dimaksud adalah demokrasi prosedural; yang belum mampu mewujudkan kualitas kehidupan masyarakat, memberikan pelayanan publik secara baik, serta belum bisa mengatasi kesenjangan masyarakat.

Menurut Liddle yang menjadi pembicara utama pada siang itu, selama ini Marx diklaim sebagai pemimpin yang besar. Hal itu diakui oleh Liddle, namun menurutnya Machiavelli lebih baik dari pendekatan Marx; terlepas dari stigma baik atau buruknya Machiavelli. Dalam abad-21, Marx justru tidak banyak membantu dalam memahami demokrasi saat ini.

Selanjutnya Profesor Ilmu Politik di Ohio State Unversity itu menjabarkan kelemahan Marx dan pengikutnya, yaitu yang hanya terfokus pada konsep kekayaan saja. Kekayaan dilebih-lebihkan sebagai satu-satunya sumber daya yang berharga dalam politik. Selain itu, perbenturan kelas dilebih-lebihkan pula, ketimbang peran individu sebagai aktor politik dalam perubahan sosial. Liddle mencontohkan fenomena Jokowi. Dalam kemenangan Jokowi atas petahana Fauzi Bowo, pendekatan perbenturan kasta bukanlah faktor penentu.

Liddle yang akrab disapa Pak Bill itu kemudian menjelaskan kerangka berharga yang ditawarkan oleh Machiavelli, yaitu konsep virtu dan fortuna. Virtu merupakan sumber daya yang dimiliki aktor atau pemimpin yang dengan sadar bertindak untuk mencapai tujuannya. Sedangkan fortuna adalah kans atau peluang.

Untuk menjelaskan lebih jauh, Liddle menjabarkan penerapan teori Machiavelli oleh sejumlah ilmuwan politik, yaitu Richard Neustadt, James MacGregor Burns, John Wells Kingdon, dan Richard J Samuels.

  1.  Neustadt
    Dalam teori Neustadt, sumberdaya atau virtu utama dalam politik adalah kekuatan untuk meyakinkan. Target persuasinya adalah pemerintahan itu sendiri, masyarakat, serta para pemilih melalui pers dan lembaga opini publik. Neustadt meneliti kekuatan persuasi pada tiga presiden, yaitu Roosevelt, Truman, dan Eisenhower.
    Menurut Neustadt, kekuatan untuk meyakinkan meliputi lima dimensi, presiden harus terlibat sepenuhnya; kata-kata harus jelas atau tidak ambigu; pesan disiarkan seluas-luasnya; alat dan sumber daya untuk pelaksanaan harus cukup; serta penerima pesan harus mengakui kekuasaan dan keabsahannya.
    Ketika ingin menegakkan dalam segi toleransi agama misalnya, presiden harus mengikuti lima dimensi di atas. Presiden harus terlibat sepenuhnya, dan memberikan sikap yang jelas atau ambigu, serta dimengerti oleh khalayak.
    b.    Burns
    Sumbangan Burns tentang konsep kepemimpinan tercantum dalam buku Burns, Leadership 1978. Menurut Burns, kepengikutan atau followership tak bisa terpisahkan dari kepemimpinan. Selain itu, Burns juga mengemukakan dua tipe kepemimpinan, yaitu transaksional atau bertukaran serta kepemimpinan yang mengubah bentuk.
    Dalam kepemimpinan transaksional, barang dan jasa ditukarkan dengan dukungan politik. Hal itulah yang umum terjadi. Berbeda dengan tipe kepemimpinan transformatif. Dalam kepemimpinan transformatif, pemimpin dan pengikut dalam pengejaran tujuan moral tinggi bersama-sama, dan terus menerus. Di Indonesia, kepemimpinan transformatif dilakukan Presiden Soekarno sebelum 1949, meski setelah itu gagal memimpin.
    c.    Kingdon
    Kingdon mencoba menjelaskan mengapa ada kebijakan pimpinan yang berhasil menjadi undang-undang, ada yang tidak. Ada lima penemuan terkait hal tersebut, yaitu pertama adanya aktor kentara yang menentukan dalam proses pembuatan kebijakan; penerapan virtu; penerapan fortuna; buka tutup jendela keputusan, dan pentingnya ketidaktentuan maupun ketidakteramalkan dalam proses pembuatan kebijakan yang menyerupai sungai yang mengalir.
    Hal ini dapat kita lihat pada pembentukan KPK di Indonesia. Masalah yang muncul jelas, yaitu korupsi yang menghambat demokrasi. Jendela kesempatan terbuka pada 1998. Sedangkan wiraswastawan kebijakan atau aktor kentara yang ada adalah steering Committee DPR, donor, dan konsultan asing.  Kemudian masalah, kebijakan dan kejadian tersebut sukses pada 2002 dengan terbentuknya KPK.
    d.    Samuels
    Pendekatan Samuels salah satunya studi perbandingan seratus tahun sejarah Italia dan Jepang. Dua negara tersebut sebelumnya terlambat menjadi modern. Dalam sembilan kasus kebijakan, pilihan strategis para politisi terbukti berdampak besar bagi masa depan dua negara. Contoh, pembangunan negara, liberal di Italia di bawah Cavour dan nasionalis otoriter di Jepang di bawah Hirobumi dan Aritomo, pada akhir abad ke-19.
    Terdapat tiga sumbangan Samuels. Pertama, adalah alat mobilisasi. Tiga alat mobilisasi yang dipakai pemimpin alias dimensi-dimensi virtu yang dipakai membeli (buying), menggertak (bullying), serta mengilhami (inspiring). Kedua adalah warisan, atau sisi Fortune. Warisan adalah kendala utama bagi pemimpin berikutnya. Yang ketiga sumbangan dari Samuels adalah ukuran prestasi, yaitu pelonggaran kendala secara meyakinkan.
    Penjabaran Liddle kemudian ditanggapi oleh Mohtar Mas’oed, Guru Besar Bidang Ilmu Hubungan Internasional UGM. Ia menegaskan maksud penjelasan Liddle, bahwa di dalam perbaikan kehidupan demokrasi diperlukan kepemimpinan. Di atas berbagai teori-teori tentang demokrasi, kira-kira apa yang setiap individu bisa lakukan. Jangan karena mendapati kenyataan pendapatan berkapita yang masih rendah, lantas tidak bisa berpikir tentang demokrasi. “Jangan karena belum siap, kita tidak bertindak apa-apa, berbuatlah sesuatu. Berhenti mengeluh, mari bertindak,” jelasnya.
    Dalam bertindak, mesti dibangun dengan penalaran dengan kata lain memakai ilmu. Saat menganjurkan orang yang bertindak, harus punya alasan yang jelas. Alasan yang jelas tersebut dibangun berdasarkan prinsip-prinsip kerja keilmuan. Tidak cukup hanya dengan membuat statement, tetapi masuk ke masyarakat, observasi secara empirik, lihat dengan objektif. Dengan cara-cara seperti itulah kita membuat kesimpulan.

Oleh: Niken Anggrek Wulan

Read 1679 times Last modified on Rabu, 12 Maret 2014 14:40
44128205
Today
This Week
This Month
Last Month
All
1909
31167
192326
276576
44128205